Mubadalah.id – “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, kalimat dalam pembukaan UUD 1945 tersebut harusnya sudah jelas menjadi dasar mengapa sebagai Bangsa Indonesia kita mengutuk dengan tegas tindakan Zionis Israil.
Penjajahan di atas tanah Palestina kembali memanas sejak awal Oktober tahun ini, dan menimbulkan banyak kecaman masyarakat yang masih punya nurani dari berbagai belahan dunia. 5 November lalu, ribuan Masyarakat Indonesia lagi-lagi menunjukkan keberpihakannya kepada Palestina dalam aksi damai bela Palestina di monas.
Meski demikian, ironisnya masih ada beberapa Masyarakat Indonesia yang belum paham kenapa harus sebegitunya membela Palestina. Beberapa hari yang lalu saya menemukan jawaban lucu di postingan instagram dalam menghadapi masyarakat yang demikian. Katanya: “sebagai bangsa yang juga pernah dijajah, harusnya sudah paham dong harus membela yang mana?”
Selain atas nama agama, Bangsa Indonesia secara umum membela Palestina atas nama kemanusiaan. Lalu sedalam apa sebenarnya hubungan romantisme antara Indonesia-Palestina?
Melihat Hubungan Indonesia Palestina
Hubungan Indonesia-Palestina telah terjalin sejak berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu. Belakangan ini barangkali semakin sering kita dengar cerita sejarah tentang kontribusi Palestina dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mendapatkan dukungan dari Palestina.
Mufti Besar Palestina saat itu, Muhammad Amin Al-Husaini turut memberi pengakuan atas kemerdekaan Indonesia dalam PBB pada tahun 1947.
Jika kita tarik ke belakang, ternyata dukungan ini berawal sejak tahun 1931. Yakni ketika seorang pemuda Indonesia yang sedang berkuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia diminta oleh Mufti Besar Palestina, Sayyid Amin Al-Husaini untuk mengikuti Muktamar Islam Internasional di Palestina sebagai wakil umat Islam Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Mufti Besar Palestina meminta Mudzakkir untuk hadir di muktamar tersebut bukan saja sebagai peserta, tetapi juga memiliki peran cukup signifikan. Yakni menjadi Sekretaris Muktamar mendampingi Sayyid Amin Al-Husaini.
Kesempatan itu lalu Mudzakkir manfaatkan untuk lebih mengenalkan Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Ia meminta dukungan muktamar bagi perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Bahkan ketika hari itu kekuasaan Belanda sedang kokoh-kokohnya seperti gunung.
Dukungan Palestina terhadap Kemerdekaan Indonesia
Itulah kenapa ketika Indonesia kemudian dikuasai Jepang, Mufti Sayyid Amin Al-Husaini memberikan dukungan atas janji Jepang yang akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Segera sesudah mendengar janji PM Jepang, Mufti Palestina mengirim telegram kepada PM Koiso. Di mana antara lain menyampaikan penghargaan atas janji PM Jepang itu, dan menyampaikan kepada Jepang bahwa sekalian kaum Muslimin di dunia sungguh benar-benar memperhatikan nasib Indonesia.
Mengingat hal itu, sebagai Bangsa yang beradab tentunya kita tak akan melupakan jasa-jasa Palestina, lalu menutup mata melihat penderitaan yang sedang menimpa mereka. Presiden Soekarno dalam piadatonya tahun 1962 menyatakan dengan lantang: “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”
Dukungan ini terus berlanjut hingga saat ini, baik dari rakyat maupun pemimpin Bangsa Indonesia. Pada tahun 2022 lalu, Presiden Indonesia, Joko Widodo melakukan kunjungan ke Palestina. Di mana kunjungan ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk terus mendukung perjuangan Rakyat Palestina.
Kudus Terinsipirasi dari Al Quds
Kita tarik lebih jauh lagi, tercatat dalam sejarah akan kerinduan Bangsa Indonesia terhadap Al-Quds, Palestina, sejak ratusan tahun lalu. Pada zaman Kerajaan Demak hadir seorang pendakwah, bernama Syaikh Ja’far Shodiq atau yang lebih akrab kita kenal dengan Sunan Kudus yang berasal dari Palestina.
Beliau pada akhrinya menjadi salah satu wali songo yang berkontribusi dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa. Sunan Kudus membangun masjid di sebelah utara Kota Demak. Di mana pada saat itu terkenal dengan nama Kota Tajung pada tahun 956 H atau 1530 M, dan masjid tersebut kemudian ia beri nama Masjidil Aqsha.
Bahkan dalam prasasti pendirian masjid bertuliskan: “Telah dibangun Masjidil Aqsha fil Quds”. Sunan Kudus pun beralasan memberi nama tersebut karena meniru apa yang ada di Palestina. Yaitu masjidil Aqsha di Kota Al-Quds. Sehingga pada akhirnya, beliau mengubah nama kota Tajung menjadi Kota Kudus, dan masjid tersebut sekarang lebih terkenal dengan nama Masjid Menara Kudus.
Nama Kudus sendiri terinspirasi dari Al-Quds, yang telah menyesuaikan dengan lidah Masyarakat Jawa dengan pengucapan yang lebih mudah, yakni “Kudus”. []