Mubadalah.id – Dr. (Hc) KH. Husein Muhammad atau yang akrab disapa dengan Buya Husein, adalah ulama perempuan Indonesia yang lahir di Cirebon pada tanggal 9 Mei 1953.
Selain aktif mengampanyekan pesan-pesan kesetaraan gender dalam Islam, gagasan beliau tentang toleransi juga sangat keren dan banyak dikutif oleh para aktivis keberagaman. Salah satu buku beliau yang pupuler adalah buku yang berjudul “Toleransi Islam, Hidup Damai dalam Masyarakat Plural”.
Dalam buku tersebut, Buya Husein Muhammad mengartikan toleransi (tasamuh) sebagai suatu sikap mental dan cara bertindak yang tidak memaksakan kehendak terhadap orang yang tidak sejalan dengan keyakinan dan pemikiran dirinya.
Dalam taraf yang lebih tinggi, toleransi adalah sikap menghargai dan menyambut liyan (Al -Akhar), dengan hangat meskipun berbeda dengan dirinya.
Gagasan ini menurut saya sangat penting untuk dipraktikkan, sebab perbedaan dan keberagaman itu merupakan fitrah manusia. Di mana di Indonesia sendiri, latar belakang masyarakatnya sangat beragam, mulai dari suku, budaya, tradisi, agama dan adat, semuanya berbeda.
Untuk itu, sebagai masyarakat plural, bertoleransi pada orang yang berbeda itu sangatlah penting. Sebab hanya dengan sikap itu lah, kita bisa mewujudkan kehidupan yang damai dan setara.
Selain itu, saya juga menyelami makna toleransi ala Buya Husein melalui bukunya yang lain, yaitu buku “Islam Tradisional yang terus Bergerak”.
Pluralisme bukan menyamakan agama
Dalam Ada “Islam Tradisional yang terus Bergerak” beliau menyampaikan bahwa ada sebagian orang yang menganggap bahwa mengakui pluralisme, toleransi (tasamuh), dan dialog antar agama sama artinya dengan mengakui kebenaran agama lain.
Sebagian orang memaknai pluralisme dimaknai sebagai menyamakan semua agama atau bahkan sama dengan sinkretisme (mencampuradukkan keyakinan agama.
Padahal menurut Buya Husein, pandangan ini tentu kita tolak bukan hanya oleh Islam, tetapi juga oleh pemeluk semua agama. Sikap Islam dalam hal ini adalah jelas, Agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku.
Pengakuan atas pluralisme, toleransi, dan dialog antar agama sesungguhnya hanya berarti mengakui fakta dan realitas adanya agama-agama yang dipeluk oleh umat manusia.
Pengakuan atas pluralisme dan toleransi antar umat beragama adalah penghargaan kepada pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya masing-masing. Jadi dengan pandangans seperti ini, kita enggak boleh lagi tuh mengkafir-kafirkan atau menganggap orang yang beda keyakinan dengan kita sebagai kelompok sesat.
Melindungi Semua Manusia
Sebab, Tuhan-lah yang membuat agama-agama itu eksis, hidup, dan tuhan pula yang melindungi tempat-tempat peribadatan mereka. Hal ini tergambar dalam firman Allah QS. Al Hajj ayat 40 yang berbunyi:
وَلَوْلَا دَفْعُ ٱللَّهِ ٱلنَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَٰمِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَٰتٌ وَمَسَٰجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا ٱسْمُ ٱللَّهِ كَثِيرًا ۗ وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِىٌّ عَزِيزٌ [٤٠]
Artinya: “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain. Tentulah telah roboh biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak menyebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Hajj [22]:40).
Ayat ini sesungguhnya adalah pernyataan bahwa Allah melindungi tempat-tempat ibadah, supaya agama-agama tersebut tetap eksis.
Oleh karena itu, melalui uraian di atas menguatkan saya bahwa toleransi itu tidak sama dengan mencampuradukan agama-agama. Tetapi justru toleransi adalah menghormati dan menerima keberadaan agama yang orang lain peluk.
Dengan penerimaan ini, kita jadi bisa lebih menghormati, empati dan menghargai perbedaan di lingkungan kita. Entah itu beda agama, suku, budaya, tradisi dan yang lainnya. []