Sudah hampir 2 bulan, kita semua #dirumahsaja dalam upaya memutus penyebaran virus Covid-19. Sudah banyak yang membahas tentang virus ini. Maksudnya, pertanyaan 5 W + 1 H terkait virus ini sudah banyak dibicarakan oleh semua kalangan. Para ahli medis, pakar ekonomi, sosial, politik, agamawan, aktivis sosial dan kemanusiaan, serta hampir seluruh masyarakat dunia, tak terkecuali tentunya adalah pemerintah Indonesia.
Hingga akhirnya pada 13 April 2020 lalu, Presiden Jokowi menetapkan virus Covid-19 ini sebagai bencana Nasional. Data yang saya dapatkan dari WHO, secara global, saat ini sudah ada 213 Negara yang terkena Covid-19, dengan jumlah 2.883.603 jiwa yang terkonfirmasi sementara ada sebanyak 198.842 jiwa yang meninggal dunia.
Di Indonesia sendiri, setiap harinya juga terus mengalami kenaikan angka tersebut. Hari ini hingga saya menuliskan catatan ini update terkait Covid-19 adalah sudah ada sebanyak 9.096 orang yang positif Corona, 1.151 diantaranya sembuh, sementara sebanyak 765 meninggal dunia.
Indonesia tidak tinggal diam. Dalam hal ini pemerintah Indonesia sudah mengambil beberapa langkah sebagai upaya memutus penyebaran virus Covid-19 ini. Diantaranya adalah lebih memilih menerapkan sosial distancing (pembatasan sosial atau jaga jarak) bukan lockdown.
Lalu menekankan PSBB (Pembatasan sosial berskala besar), kemudian belakangan, yang sepertinya masih ramai diperbincangkan juga tentang larangan mudik. Karena perbedaan arti mudik dan pulang kampung itu sendiri. Terlepas dari itu, jauh-jauh hari sebelumnya masyarakat sudah sering diberi himbauan untuk selalu mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, dan himbauan menjaga kesehatan lainnya.
Semua orang sesungguhnya terkena dampak dari adanya virus ini. Terutama dalam hal ekonomi. Himbauan pemerintah untuk #dirumahsaja itu walau bagaimanapun memberatkan sekaligus menyulitkan. Terutama untuk golongan masyarakat yang ekonominya kelas menengah ke bawah.
Bagi mereka para pekerja harian, yang hanya bisa makan dari hasil kerjanya pada hari itu lalu habis pada hari itu juga. Lalu besoknya harus menjalani hal yang sama. Atau masyarakat yang memang karena tuntutan pekerjaan masih tetap harus keluar rumah.
Atau pernahkah kita bayangkan para pedagang yang biasa berjualan di sekolahan SD, SMP, atau SMA kini mereka semua otomatis kehilangan mata pencahariannya itu karena sekolah dan lembaga pendidikan lain sudah diliburkan. Akhirnya, banyak dari mereka yang “banting setir”, “serabutan” mencari pekerjaan baru, atau tetap bekerja sebagaimana biasanya. Bukan semata-mata tidak mentaati pemerintah.
Tetapi, keadaan yang memaksa demikian. Karena mereka tahu walau bagaimanapun mereka masih punya tanggung jawab untuk kehidupan keluarganya sehari-hari. Meski dengan keadaan yang menyulitkan di atas. Berbeda dengan kalangan yang katakanlah ekonominya itu menengah ke atas. Mungkin mereka masih bisa hidup dan menghidupi keluarganya meski tanpa bekerja untuk beberapa bulan ke depan. Mereka masih punya tabungan, simpanan, atau bekal serta persiapan penuh untuk menjalani hari-hari selama #dirumahsaja.
Tetapi, beruntung pemerintah juga paham dan bisa membaca apa yang akan terjadi pada masyarakat bawah. Banyak kabar baik yang kita dapatkan baik dari pemerintah pusat atau beberapa daerah.
Mereka mulai memberikan kebijakan tentang pembebasan tagihan listrik, bantuan berupa sembako dan uang tunai, bahkan beberapa pejabat rela tidak mengambil gajinya dan ditashorufkan untuk masyarakat yang terdampak corona. Belum lagi, banyak kegiatan sosial berupa bantuan donasi dari beberapa orang, tokoh, atau lembaga sosial dan kemanusiaan. Itu dalam hal ekonomi.
Lalu, dalam hal pendidikan. Karena pendidikan adalah salah satu tolak ukur keberhasilan suatu bangsa. Itu bisa dilihat, entah untuk masa sekarang atau demi mempersiapkan para generasi unggul anak bangsa di masa mendatang. Maka tentunya hal ini juga mendapat sorotan dan perhatian khusus dari pemerintah.
Kebijakan pertama yang mungkin membahagiakan bagi para siswa meski tetap saja tidak terlalu mengesankan adalah tidak adanya ujian nasional (UN) bagi siswa kelas akhir. Sedangkan bagi adik kelasnya disibukkan dengan tugas dari guru setiap harinya. Meski saya dengar dari beberapa tetangga, tugas-tugas itu pada akhirnya untuk orang tua juga sehingga seakan-akan orang tuanya sekolah lagi. Begitu katanya.
Sementara bagi para mahasiswa mulai disibukkan dengan adanya kegiatan kuliah online. Walaupun, tetap saja banyak pro-kontra antara dosen dan mahasiswa tersebut. Problemnya sama, mereka para mahasiswa merasa lebih banyak tugas, bukannya materi dalam kuliah online tersebut. Belum lagi, kebutuhan kuota, pulsa, sinyal dan hal pendukung lain yang memberatkan sebagian mereka.
Lebih lanjut, demikian juga lembaga pendidikan yang lain dalam hal ini pesantren. Pesantren juga mau tidak mau terkena dampak dari adanya virus Covid-19 ini. Hampir semua pesantren santrinya terpaksa dipulangkan. Akhirnya, bulan ramadhan kali ini yang sudah menjadi tradisi pesantren adanya kegiatan “pengajian pasaran”. Kini pengajian pasaran itu hijrah ke “pengajian online”.
Yah, hari-hari ini medsos mulai ramai dengan pengajian online. Di mana-mana banyak para Kyai, Ibu Nyai, Ustadz, Ustadzah, Gawagus, Nawaning, (sebutan untuk putra-putri Kyai di Jawa) di berbagai pondok pesantren mulai menyelenggarakan kegiatan ngaji online tersebut.
Bagi saya pribadi, ini bukanlah hal yang buruk. Bahkan suatu kemajuan dan memang sudah saatnya para ahli agama itu terjun ke dunia medsos. Karena tidak bisa dipungkiri, saat ini umat atau dalam bahasa lain warganet kita juga lebih banyak menghabiskan waktunya di sana.
Sampai-sampai, para santri dan para alumni pesantren khususnya atau masyarakat pada umumnya agak kebingungan dengan jadwal ngaji tersebut. Karena ada saja yang kemudian jadwalnya itu bentrok antara pengajian yang satu dengan pengajian yang lain.
Oleh karena itu semua, sesungguhnya banyak dampak buruk yang kita rasakan dari adanya Covid-19 ini. Namun, seorang mukmin sejati adalah seorang yang ketika mendapat musibah ia bersabar dan ketika mendapat ni’mat ia bersyukur. Begitulah kira-kira pesan Nabi dalam salah satu haditsnya.
Kita tahu bahwa dalam setiap peristiwa atau musibah itu Allah juga menurunkan hikmah bersamaan setelahnya. Yah, wujud hikmah itu akan kita ketahui setelah kita berhasil bersabar dan tetap bersyukur dalam menghadapi musibah tersebut.
Seperti sekarang ini, seyogyanya kita berhenti mengeluh, marah-marah, saling menyalahkan dan tindakan lain yang tidak penting. Karena itu semua tidak ada faedahnya kecuali hanya menghabiskan energi kita yang sudah lemah ini. Sekarang, mari kita coba menerima terlebih dahulu segala peristiwa ini sebagai seorang hamba Allah. Karena bagaimanapun juga memang demikianlah yang terjadi.
Kita memang tidak pernah menghendaki sesuatu yang buruk terjadi pada kita. Tetapi jika memang Allah sudah berkehendak siapa yang bisa menolak?
“أنا أريد ، انت تريد ، والله فعال لما يريد ”
Lalu setelah itu, mari kita bersama memilah hikmah apa yang dapat diambil dari musibah ini. Beberapa sebenarnya sudah saya paparkan di atas. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, bagi para orang tua, bisa berkumpul penuh dengan anak-anaknya di rumah. Lebih dari itu, diantara mereka akhirnya bisa saling memahami emosional masing-masing. Hal itu semua, mungkin akan sulit didapatkan sebelumnya. Jika bukan karena adanya Covid-19 dan himbauan di rumah saja.
Kedua, bagi para pekerja harian atau masyarakat kelas menengah ke bawah pada umumnya, mereka akhirnya mungkin lebih kreatif dan menemukan “keahlian” baru. Karena tuntutan di atas, akhirnya mereka tetap bisa hidup dan menghidupi keluarganya dengan “keahlian” baru tersebut. Yah, mungkin sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Namun pada akhirnya mereka punya “keahlian” baru yang mereka dapatkan saat berjuang melawan pandemi Covid-19 ini.
Ketiga, bagi para pelajar, mungkin akhirnya mereka sadar bahwa sekolah itu sesungguhnya menyenangkan. Mereka bisa bertemu teman, guru, dosen dan belajar dengan bahagia setiap hari. Karena, mesti saja saat ini mereka sudah cape dengan rutinitas yang ternyata lebih membosankan tersebut.
Keempat, bagi para agamawan, akhirnya mereka melek dan mau terjun ke media sosial. Sehingga dampak positifnya hari-hari ini medsos penuh dengan pengajian. Baik yang berupa video, audio, atau mulai bertebaran juga artikel-artikel yang berhasil dituliskan para santri dari hasil ngaji tersebut.
Secara umum, kita akhirnya bisa mengerjakan berbagai hal yang sebelumnya mungkin sulit untuk dikerjakan. Lebih dari itu, kita bisa menemukan hikmah itu pada diri kita masing-masing bersama orang-orang dan lingkungan yang ada di sekitar kita. Sehingga pada akhirnya marilah kita bersyukur karena Allah sudah berjanji barangsiapa yang bersyukur maka Allah akan menambahkan nikmatnya.
Hikmah itu sesungguhnya wujud lain dari nikmat Allah. Maka bukankah lebih baik lagi, jika kita bukan hanya bersabar karena tertimpa musibah tapi kita bisa bersyukur atas musibah tersebut. Wa Allahu A’lam. Terakhir, ada satu pesan yang saya dapatkan tadi pagi dari postingan salah satu Rois Syuriah PBNU KH. Afifuddin Muhadjir. Beliau berkata :
” الجوارح تعمل والقلوب تتوكل”
“Raga terus bekerja dan hati tak henti tawakal”.
Demikianlah semoga musibah ini segera berakhir. Bersamaan dengan itu, kita juga tetap terus berikhtiar, bekerja dibarengi dengan hati yang selalu tawakal dan berdoa. Sebagaimana pesan di atas. Aamiin. Wa Allahu A’lam. []