“Karena toleransi tidak cukup hanya diajarkan, toleransi harus dialami dan dirasakan.”
Mubadalah.id – Kalimat ini sering diungkapkan oleh Ayu Kartika Dewi dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan isu toleransi. Bahkan kata-kata ini juga menjadi tagline gerakan SabangMerauke.
Pada 2019 aku bertemu dengan Ayu Kartika Dewi, yang biasa aku panggil Kak Ayu. Waktu itu kebetulan ia menjadi salah satu narasumber dalam pelatihan Muslimah For Change yang aku ikuti. Kegiatan ini terselenggara oleh Wahid Foundation.
Ini adalah perjumpaan pertamaku dengan Kak Ayu. Dalam sesi itu ia bercerita tentang pentingnya mengenalkan anak-anak muda pada isu toleransi. Menurutnya kondisi toleransi di Indonesia masih sangat memprihatinkan, apalagi di kalangan anak-anak muda.
Hal ini berangkat dari pengalaman Kak Ayu ketika menjadi seorang guru sekolah dasar di Desa Papaloang, Halmahera Selatan, Maluku Utara pada tahun 2010. Selama di sana, Kak Ayu melihat kenyataan soal intoleransi dan konflik dalam masyarakat Indonesia.
Perjumpaan Kak Ayu dengan masyarakat di Desa Papaloang ini ternyata membawanya bersentuhan dengan bayang-bayang permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan setempat.
Melansir dari Magdalene.co, salah satu anak didik Kak Ayu masih mengalami traumatik akibat kerusuhan antar-dua kelompok agama yang terjadi di Ambon pada tahun 1999. Padahal, pada saat ia mengajar di Maluku, keadaan sudah damai dan dua kelompok yang terlibat konflik sudah berikrar damai.
Bayang-bayang Konflik Masa Lalu
Namun ternyata, bayang-bayang masa kelam itu justru masih menjadi mimpi buruk bagi anak didiknya.
“Suatu ketika seorang murid datang dan bilang, ‘Bu Ayu kita harus hati-hati, kerusuhan su dekat.’ Terus saya tanya, ‘Memang kerusuhannya di mana?’ ‘Di Ambon ibu, kita harus hati-hati.’,” ujar Ayu, pada saat wawancara dengan jurnalis Magdalene.co (11/08/2019).
Dalam beberapa berita yang aku baca, kepulauan Maluku memang memiliki sejarah kelam perpecahan dalam masyarakat. Pada 1999 kerusuhan antar umat Islam dengan umat Kristen terjadi di wilayah Ambon dan menimbulkan banyak korban.
Bahkan dari konflik tersebut, mucul kampung Islam dan kampung khusus agama Kristen. Luka-luka bekas kerusuhan tersebut bukan hanya terlihat dari puing-puing gereja dan masjid yang terbakar saja. Tapi juga generasi muda Ambon dan Maluku Utara menjadi asing dan enggan untuk bertemu dengan orang yang berbeda agama.
Dari pengalaman di Maluku ini, mendorong Kak Ayu untuk mengabdikan diri pada isu keberagaman dan toleransi setelah kembali ke Jakarta.
Tahun 2013, Kak Ayu mendirikan SabangMerauke, sebuah program pertukaran pelajar antar daerah di Indonesia. Yakni untuk menanamkan nilai toleransi, pendidikan, dan keindonesiaan.
Dalam program tersebut, para peserta yang merupakan siswa sekolah menengah pertama selama tiga minggu tinggal dengan keluarga yang berbeda agama. Selain itu berinteraksi dengan teman-teman Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Setelah kembali ke daerahnya, mereka harapannya menjadi duta perdamaian di daerah masing-masing.
Mengenal Gerakan SabangMerauke
SabangMerauke adalah organisasi di bawah Yayasan Seribu Anak Bangsa Indonesia yang bergerak untuk mendorong generasi muda merayakan dan melindungi keragaman melalui interaksi positif, diskusi konstruktif, dan kontribusi aktif.
Gerakan SabangMerauke deklarasi secara resmi pada 28 Oktober 2012 di tiga kota yang berbeda (Jakarta, Bogor, Tanjung Pinang). Yakni bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, oleh ketiga co-foundersnya, yaitu Aichiro Suryo Prabowo, Ayu Kartika Dewi, dan Dyah Widiastuti.
Nama SabangMerauke sendiri berasal dari akronim “Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali”. Sesuai namanya, SabangMerauke memfasilitasi program pertukaran pelajar dengan tujuan membuka cakrawala anak-anak Indonesia untuk memahami pentingnya pendidikan dan menanamkan nilai kebhinekaan.
SabangMerauke memiliki tiga nilai yang selalu mereka anut. Pertama toleransi, yaitu berpikiran terbuka, penuh kasih (berempati dan menjunjung rasa solidaritas), serta rendah hati. Kedua pendidikan, memiliki semangat belajar dan rasa ingin tahu yang tinggi, gigih, serta berintegritas. Dan ketiga adalah ke-Indonesiaan yaitu bangga menjadi orang Indonesia, adil, dan memiliki jiwa kepemimpinan.
Pada 2013, Ayu dan co-foundersnya yang lain mulai membawa 10 Anak SabangMerauke ke Jakarta untuk mengikuti serangkaian program yang mereka mulai dari 29 Juni – 14 Juni 2013.
Sepuluh Anak SabangMerauke (ASM) datang dari sembilan kota berbeda untuk merepresentasikan 5 agama yang berbeda. Yaitu Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Selama masa pertukaran ini, anak-anak tinggal bersama keluarga angkat yang berbeda agama yang mereka sebut dengan Famili SabangMerauke (FSM). Selain itu ASM juga dibimbing oleh kelompok mahasiswa yang tergabung dalam Kakak SabangMerauke (KSM).
Tinggal Bersama Keluarga Beda Agama
Banyak kegiatan yang mereka lakukan selama program pertukaran SabangMerauke. Kegiatannya antara lain berkunjung ke rumah ibadah Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Khonghucu. Selain itu, mereka juga diajak untuk berkunjung ke museum, belajar memasak makanan khas Nusantara, menonton penampilan lagu-lagu dan tarian khas Indonesia.
Semua kegiatan ini semuanya bertujuan untuk memperkenalkan keberagaman yang ada di Indonesia. Sehingga anak-anak ini bisa tahu bahwa perbedaan dan keragaman itu hal biasa dan nyata.
Ada hal unik yang aku dengar dari Kak Ayu waktu itu, Kata Kak Ayu pengalaman-pengalaman anak-anak yang ikut program pertukaran ini selalu membuatnya geleng-geleng kepala. Pasalnya sebagian besar dari mereka pasti merasa takut untuk tinggal bersama keluarga yang beda agama.
Apipa misalnya, seorang anak remaja yang lahir dan besar di lingkungan mayoritas muslim. Saat pertama kali datang ke rumah orang tua asuhnya, dia merasa takut dan gugup. Kebetulan dia ditempatkan di keluarga Cina Krsiten.
Menurut cerita Kak Ayu, Apipa takut berinterasi dengan keluarga asuhnya, karena selama ini dia selalu mendengar bahwa orang Cina apalagi Kristen, adalah orang yang jahat dan bisa mempengaruhinya untuk berpindah agama.
Perasaan takut yang Apipa alami ini ternyata juga terasa oleh banyak anak-anak SabangMerauke yang lain. Rata-rata mereka merasa takut dan khawatir ketika akan tinggal dengan keluarga yang berbeda agama dengannya.
Menurut Kak Ayu ketakutan dan prasangka buruk terhadap agama dan suku yang berbeda ini menandakan bahwa masalah intoleransi di Indonesia belum juga membaik.
Oleh karena itu, menurut Kak Ayu menanamkan nilai-nilai toleransi pada anak muda itu tidak cukup dengan membuat acara-acara yang hanya menjual embel-embel milenial saja. Tetapi bagaimana melibatkan mereka secara langsung dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan isu perdamaian dan toleransi. Tinggal bersama keluarga beda agama misalnya.
Memperluas Gerakan Toleransi melalui Program Milenial Islami
Pada 2017, Kak Ayu melihat bahwa narasi konservatisme dan radikalisme terus meningkat di kalangan anak muda. Karena khawatir dapat mengancam gerakan intoleran di kalangan anak muda, kemudian Kak Ayu mendirikan Milenial Islami.
Program ini mendorong narasi perdamaian di kalangan anak-anak muslim, terutama generasi milenial berusia 18-15 tahun. Salah satu tujuan program ini adalah untuk mendorong anak muda mengenal pandangan Islam yang moderat, ramah dan damai.
Program ini secara praktik berbeda dengan gerakan SabangMerauke, namun memiliki tujuan yang sama. Yaitu menanamkan nilai-nilai toleransi di kalangan anak muda. SabangMerauke membentuk pertukaran pelajar untuk belajar toleransi. Sedangkan Milenial Islami menggunakan jalur daring di media sosial dan offline dengan cara road show ke universitas dan kampus di Indonesia untuk membumikan pandangan Islam yang moderat.
Kak Ayu dalam sesi wawancara dengan tim jurnalis Magdalene.co menjelaskan bahwa salah satu penyebab kurangnya rasa toleransi dalam masyarakat adalah adanya ketimpangan pendidikan anak bangsa. Menurutnya, institusi pendidikan saat ini masih belum maksimal dalam mengajarkan arti dari keberagaman dan toleransi.
Pendidikan di Indonesia sampai saat ini belum mengajarkan anak didiknya untuk berpikir kritis dan berempati.
Padahal menurut Kak Ayu dua hal ini penting untuk diajarkan, supaya anak dapat memilah-milah informasi yang benar di era arus informasi yang sangat cepat ini dan juga mereka bisa punya rasa empati pada pengalaman dan persoalan orang yang berbeda dengannya.
Di sisi lain, Kak Ayu juga meyakini bahwa toleransi itu tidak cukup hanya diajarkan, namun harus dirasakan langsung oleh anak-anak muda. Oleh karena itu, ruang perjumpaan semacaman gerakan SabangMerauke dan Milenial Islami harus terus kita lakukan.
Dengan begitu, menurut Kak Ayu, anak-anak muda penting banget untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bisa mempertemukan mereka dengan orang-orang yang beragam. Entah itu beda agama, suku, ras, budaya ataupu yang lainnya. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa empati serta pemahaman bahwa perbedaan itu adalah anugerah Tuhan yang harus kita rawat, dan kita jaga bersama. []