• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Melihat Konsep Diri Muslimah Bercadar yang Sebenarnya, Terbebas dari Konstruksi Media

Terlepas dari cara kita menampilkan identitas kita sebagai muslimah, sudah sepatutnya kita saling menghormati pilihan muslimah lain

Alivia Nuriyani Syiva Alivia Nuriyani Syiva
04/01/2024
in Personal
0
Muslimah Bercadar

Muslimah Bercadar

843
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Menggunakan cadar bagi sebagian muslimah merupakan langkah yang lebih dalam dari berhijab. Bercadar juga menjadi konsekuensi logis dari proses belajar agama Islam yang semakin dalam mengenai hakikat perempuan.

Meskipun hukum menggunakan cadar sendiri masih menjadi perdebatan di kalangan umat muslim. Hal ini wajar karena di Indonesia sendiri fenomena berhijab juga baru mendapatkan perhatian semenjak era pasca reformasi.

Akan tetapi, masalah muncul ketika para muslimah bercadar ini mendapatkan berbagai stigma negatif di dalam masyarakat meskipun mereka berada di negara mayoritas muslim seperti Indonesia. Cadar juga seringkali erat dengan penggambaran opresi terhadap perempuan.

Eksklusivitas mereka juga terkadang membawa dampak penolakan dari masyarakat atas kehadiran mereka. Belum lagi, diskriminasi yang mereka dapatkan terjadi di lingkungan kerja, sekolah, bahkan di sektor pelayanan publik.

Mereka juga seringkali mendapatkan stigma negatif seperti dikaitkan dengan golongan Islam garis keras, dianggap sebagai istri teroris, atau yang paling parah adalah orang melabeli mereka sebagai teroris itu sendiri yang identik dengan bom bunuh diri.

Baca Juga:

Tafsir Sakinah

Islam Menolak Kekerasan, Mengajarkan Kasih Sayang

Kisah Ibunda Hajar dan Sarah dalam Dialog Feminis Antar Agama

Menyemarakkan Ajaran Ekoteologi ala Prof KH Nasaruddin Umar

Namun, dilansir dari sebuah penelitian berjudul “Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim”,  para muslimah bercadar yang menjadi informan penelitian sama sekali tidak sesuai dengan stigma yang beredar di masyarakat.

Para muslimah bercadar yang menjadi objek penelitian mengaku jika mereka tidak pernah mengalami kecanggungan komunikasi dengan tetangganya. Akan tetapi memang kebanyakan waktu memang mereka yang terlebih dahulu memulai percakapan. Mereka juga mengaku tetap melaksanakan sosialisasi dan komunikasi dengan tetangganya atas dasar ukhuwah islamiyah.

Mereka juga ternyata terbuka untuk menerima tamu baik yang tidak bercadar, tidak berhijab, atau bahkan berbeda agama dalam rangka dakwah agama.

Stigma Terorisme hanya Konstruksi Media Massa

Adanya stigma negatif dalam masyarakat membuat muslimah bercadar kerapkali menemui hambatan dalam kehidupan sosialnya. Informan mengaku diskriminasi yang terjadi pada mereka adalah label terorisme dan pengikut aliran sesat. Bahkan pernah orang memanggil mereka dengan sebutan ninja.

Terkait stigma terorisme yang melekat pada muslimah bercadar, mereka juga menyangkal stigma negatif tersebut. Menurut mereka, stigma terorisme yang melekat pada mereka hanyalah konstruksi media massa.

Bahkan, mereka sendiri tidak setuju dengan adanya narasi bahwa terorisme merupakan jihad seorang muslim. Menurut mereka, muslim masih dapat melakukan jihad melalui banyak hal seperti bekerja dan belajar.

Konsep Diri yang Sebenarnya dari Muslimah Bercadar

Jika melihat lebih dalam penelitian tersebut, muslimah bercadar tidaklah sesuai dengan stigma-stigma negatif dalam masyarakat tadi. Mereka seakan eksklusif dan tertutup karena bedasar pada prinsip mengenai narasi sebaik-baiknya perempuan adalah perempuan yang berada di rumah.

Mereka juga meyakini jika menggunakan cadar bukan sekadar konsep perlindungan perempuan yang mereka seseuaikan dengan Al Quran dan hadits, melainkan juga bentuk dari ketaqwaan yang mereka implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Muslimah bercadar lebih memfokuskan kehidupan mereka untuk mencari bekal kehidupan akhirat. Dunia hanya mereka anggap sebagai fasilitas menuju kehidupan yang lebih kekal nantinya.

Atas dasar prinsip dan konsep diri ini pula, mereka menyatakan menggunakan media komunikasi untuk hal yang bermanfaat saja. Mereka juga membatasi pembicaraan melalui telepon dengan orang yang bukan muhrimnya atas dasar keyakikan jika suara juga merupakan aurat.

Mereka juga menilai televisi adalah media massa yang lebih banyak mudharatnya sehingga mereka hanya menonton acara berita dan menolak keras sinetron apalagi infotainment.

Terlepas dari cara kita menampilkan identitas kita sebagai muslimah, sudah sepatutnya kita saling menghormati pilihan muslimah lain. Para muslimah bercadar ini juga menjawab dengan bijak ketika ditanya terkait pendapat mereka terhadap muslimah yang belum memakai cadar atau bahkan belum berhijab,

Kita tidak memaksa orang, hidayah bukan kita yang kasih. Tetapi dari Allah. Kita hanya (membantu) dengan kasih sayang. Dalam salat kita selalu mendoakan orang agar mendapat hidayah, agar bisa di surga bersama-sama. []

Tags: cadarCadar Garis Lucuidentitasislamkonstruksi mediaMuslimahmuslimah bercadarstigma negatif cadar
Alivia Nuriyani Syiva

Alivia Nuriyani Syiva

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID