Mubadalah.id – Kita tentu sering mendengar tentang kisah Isra Mikraj. Di mana Rasulullah melakukan perjalanan spiritual dari Masjidil Haram di Mekah menuju Masjidil Aqsa di Yerusalem pada malam hari. Perjalanan spiritual Rasulullah pada malam 27 Rajab ini terabadikan dalam al-Quran Surat al-Isra ayat 1:
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ١
“Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Melansir dari https://quran.nu.or.id, pada awal Surat al-Isra ayat 1 ini, Allah Swt. menyatakan kemahasucian-Nya dengan firman “subhana.” Tujuannya agar manusia mengakui kesucian-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak dan meyakini sifat-sifat keagungan-Nya yang tiada tara.
Ungkapan itu juga sebagai pernyataan tentang sifat kebesaran-Nya yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam, dengan perjalanan yang sangat cepat. Allah swt memulai firman-Nya dengan subhana dalam ayat ini. Lalu di beberapa ayat yang lain, sebagai pertanda bahwa ayat itu mengandung peristiwa luar biasa yang hanya dapat terlaksana karena iradah dan kekuasaan-Nya.
Dengan penegasan sifat Allah Swt. di awal ayat, tentu saja renungan Isra Mikraj ini adalah peristiwa yang luar biasa, agung, dan magis. Selain itu tidak mudah tergambarkan dengan logika manusia, namun amat mudah bagi Allah Swt..
Peringatan isra Mi’raj dan Ceramah Agama yang Masih Tidak Berpihak pada Perempuan
Setiap tahunnya, umat Islam memperingati peristiwa Isra Mikraj dengan berbagai kegiatan. Ada yang mengadakan pengajian, dengan menceritakan kisah Rasulullah dan apa saja yang beliau lihat selama perjalanan malam Isra Mi;raj itu.
Lalu ada pula yang memeriahkan dengan mengadakan lomba-lomba keagamaan. Tak ketinggalan, beberapa orang menikmatinya dengan cara hening dengan memperbanyak ibadah di akhir bulan Rajab ini.
Beberapa pengajian yang diadakan dan menceritakan perjalanan Rasulullah tak luput dari cerita empat golongan perempuan yang masuk neraka. Di antaranya perempuan yang suka mengumbar aib orang lain, perempuan yang suka berzina, perempuan yang kufur terhadap suami, dan perempuan yang suka bercampur baur pergaulan dengan lawan jenis.
Alih-alih memberikan kisah yang tidak memberikan stigma negatif, kisah isra’ Miraj terus berulang dengan pola yang sama setiap tahunnya di berbagai forum dakwah–online maupun offline. Di masjid maupun media sosial, kerap hanya memberikan peringatan serta meminta perempuan untuk menjaga diri dari perbuatan buruk.
Padahal jika kita telisik ulang latar belakang kejadian Isra Mikraj ini, kita akan berhadapan dengan kisah mulia perempuan yang setia dan berkontribusi besar dalam kehidupan Rasulullah Saw., yaitu Khadijah r.a. Maka, dengan menarik ke latar belakang peristiwa ini, kita akan mengerti bahwa kisah Isra Mikraj menyimpan makna yang lebih dalam tentang perempuan.
Khadijah dan Tahun Dukacita
Peristiwa Isra Mikraj bermula atas kesedihan mendalam Rasulullah yang ditinggal wafat oleh pamannya, Abu Thalib. Begitu terluka hati Nabi kehilangan seorang keluarga dekat yang telah mengasuhnya sejak kepergian kakeknya, Abdul Muthalib. Abu Thalib, di mata Rasulullah bukan hanya sesosok paman biasa. Dia telah menjelma ayah, sahabat, sekaligus pelindungnya.
Ketika Nabi Muhammad mulai menjalankan dakwah Islam dan menghadapi kerasnya tantangan, ancaman, bahkan permusuhan orang kafir Quraisy, maka Abu Thalib-lah orang yang ‘pasang badan’ paling depan untuk melindungi Rasulullah. Ia pula yang mengajak Rasulullah berniaga sejak umur 12 tahun. Karena perniagaan tersebut, Rasulullah akhirnya bertemu Khadijah.
Tak lama berselang, belum kering luka atas wafatnya sang paman, perempuan yang telah menjadi partner dan kekasih hidup Rasulullah pun turut berpulang ke rahmatullah. Betapa semakin patah hati Nabi dengan kehilangan dua orang yang amat ia sayangi, dan dalam waktu yang berdekatan pula.
Khadijah binti Khuwailid, sang kekasih Rasulullah yang amat beliau cintai. Khadijah adalah perempuan independen yang memiliki jabatan dan kekayaan, serta terpandang dalam masyarakat.
Bersama Khadijah, Rasulullah pertama kalinya memperoleh wahyu. Khadijah lah yang menyelimuti Rasulullah dan meneguhkan hati suaminya itu. Khadijah lah yang kemudian mengajak Rasul dan menceritakan peristiwa yang terjadi kepada pamannya, Waraqah bin Naufal. Dia adalah seorang pendeta yang pertama kali mengimani dan percaya dengan kenabian Rasulullah.
Peran Khadijah dalam Perjalanan Dakwah Rasul
Khadijah pula yang memiliki peran luar biasa dalam mendukung perjalanan dakwah Rasulullah Saw. Baik dari segi materi dan dukungan psikologis. Tak sekalipun Khadijah meninggalkan Rasulullah ketika beliau dimusuhi oleh banyak orang. Tak sedetik pun terbetik dalam pikiran Khadijah untuk mundur dan membenci suaminya, karena penderitaan yang ia alami setelah menikah dengan Rasulullah.
Bahkan suatu ketika, Rasulullah pulang dari rumah dan mendapati Khadijah sedang menyusui Fatimah, di mana yang keluar bukanlah air susu melainkan darah. Karena Khadijah sangat kelaparan, tak sekalipun perempuan mulia ini mengeluh atas keadaan.
25 tahun Khadijah membersamai Rasulullah. Khadijah memberikan anak-anak yang membanggakan hati dan menyejukkan jiwa. Menemani Rasulullah dari masa-masa sulit hingga Islam mulai memperlihatkan cahayanya.
Karena dedikasi dan cinta yang luar biasa itu, kepergian Khadijah membuat hati Rasulullah berselimutkan luka dan kesedihan yang amat pekat serta dalam. Setelah wafatnya sang paman dan istrinya yang sangat beliau sayangi, Rasulullah memperoleh ujian yang keras dari orang kafir Quraisy yang semakin berani menekan Rasulullah.
Bahkan kini mereka tak lagi sungkan menghina sampai menyakiti Rasulullah secara fisik. Hingga saat datang ke Thaif untuk berdakwah, Rasulullah diolok-olok dan dilempari bebatuan. Saking sedihnya atas peristiwa kehilangan demi kehilangan serta ujian berat tersebut, tahun itu dinamakan sebagai tahun duka cita (‘amul huzni). Yakni sebuah tahun yang sangat gelap dan penuh duri bagi Rasulullah Saw.
Isra Mi’raj Sebagai Tasliyah bagi Rasul dan Renungan bagi Kita
Dengan kekuasaan Allah Swt., Rasulullah diberangkatkan untuk sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, yang kini kita sebut sebagai Isra Mikraj. Setelah perjalanan Isra Mikraj ini pulalah, Allah memerintahkan untuk menjalankan salat lima waktu bagi Rasulullah dan umat Islam.
Dalam perjalanan ini pula, Allah menunjukkan kekuasaannya. Allah menegaskan bahwa hanya Ia yang patut disembah, tak ada Tuhan kecuali Ia, Tuhan Yang Abadi dan tak akan mengalami kematian.
Perjalanan Isra Mikraj setelah memberikan kita kesadaran bahwa, sebesar apa pun cinta yang kita punya terhadap apa yang kita miliki hari ini, tak akan menghilangkan ketetapan bahwa segala yang ada di dunia ini adalah kefanaan semata.
Rasulullah sangat mencintai paman dan istrinya, namun keduanya adalah milik Allah. Demikian pula apa yang kita miliki hari ini, harta benda, keluarga, dan jabatan, tak ada yang bisa kita pertahankan selama-lamanya.
Peristiwa Isra Mikraj juga memberikan kita pemahaman baru, bahwa selayaknya manusia biasa, Rasulullah juga memiliki hari-hari yang berisi oleh duka. Tiap-tiap kita tak pernah berlepas dari masa sulit maupun susah. Isra Mikraj mengajari kita agar tak berlama-lama larut dalam putus asa dan kesedihan. Seberat apapun hidup yang kita jalani, kita harus selalu percaya bahwa Allah akan selalu ada dan memberikan jalan keluar dari kesedihan tersebut.
Memberikan Penafsiran yang Mubadalah kepada Perempuan dari Perjalanan Isra’ Mikraj
Setelah membaca ulang kisah Khadijah yang amat setia pada Rasulullah Saw. dan membandingkan dengan kisah-kisah para perempuan penghuni neraka yang bertolak belakang dengan sifat Khadijah. Ada semacam ketimpangan besar dalam pemahaman keagamaan yang menganggap bahwa perempuan adalah penghuni neraka terbanyak.
Hidup di Indonesia dan melihat langsung banyak sekali perempuan yang memberikan dukungan luar biasa terhadap suami dalam bekerja, berkarya dan berbuat baik. Sehingga membuat penulis rasanya sangat tidak terima jika narasi negatif masih melekat dan terus meminta perempuan menjadi pihak yang harus banyak berbenah.
Karenanya, kita memerlukan penafsiran yang lebih ramah dan adil terhadap perempuan. Jika dalam kisah Isra Mi’raj yang terperlihatkan adalah perempuan yang masuk neraka adalah karena mengumbar aib, tidak bersyukur atas kebaikan pasangan, berzina, dan ikhtilat. Maka bukan tidak mungkin laki-laki juga melakukan keburukan-keburukan tersebut.
Sejatinya, kisah perempuan yang masuk neraka karena perbuatan buruk tersebut, tidak sedang menunjukkan bahwa memang perempuan banyak berperilaku buruk. Melainkan bahwa seseorang masuk neraka karena sifat-sifat buruk yang melekat pada dirinya. Jika perempuan kita anggap sebagai penghuni neraka terbanyak, ini sangat tidak adil mengingat bahwa jumlah laki-laki yang memiliki sifat buruk pun tak sedikit.
Menarik ke belakang kisah Khadijah dan Rasulullah, pun kita dapat belajar untuk menjadi pasangan yang terus mendukung, saling bersetia dan tetap bertahan bahkan di titik nadir pasangan. Khadijah adalah cerminan perempuan surga dengan segala kemandirian, kehebatan, kecerdasan, dan kebaikan yang ia miliki.
Maka bukan tak mungkin bagi perempuan masa kini yang independen dan berkarya, serta setia pada pasangannya untuk mudah melangkah masuk ke dalam surga. Sebagaimana yang Khadijah r.a. teladankan.
Spirit Islam yang berlandaskan rahmatan lil ‘alamin sesungguhnya sedang mengajak kita untuk memaknai peristiwa dan kejadian dari sejarah atau yang terjadi hari ini. Yakni dengan cara pandang yang lebih hati-hati, positif, dan tentu saja adil terhadap siapa saja, termasuk perempuan. []