Azizah Sriwedari Imam, bukan nama taman di Jawa Tengah atau nama kolam ya teman. Tapi, nama Sriwedari memang terinspirasi dari sana. Mohamad Imam ayah dari Nyai Wedari memang terinspirasi memberikan nama anaknya dari nama taman di Jawa Tengah tersebut. Nyai Sriwedari, merupakan ulama perempuan di Banyuwangi, Jawa Timur (1964-2015). Terlahir dari seorang ibu yang masih memiliki keturunan darah biru bupati ke-5 Kabupaten Banyuwangi.
Nyai Sriwedari lahir pada 22 Mei 1945, dari pasangan Muhammad Imam dengan RA. Melokowati, putri dari adik kandung Bupati ke-5 Banyuwangi. Jika dilihat secara genealogi sangat memungkinkan bahwa Nyai Wedari memiliki darah seorang pemimpin.
Terlahir di sebuah desa bernama Bangorejo, di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur yang saat itu belum ada lembaga pendidikan untuk anak-anak, akhirnya Nyai Wedari mendirikan Taman Kanak-kanak di Desa Bangorejo untuk pertama kalinya, ia juga pelopor berdirinya Yayasan pendidikan Khadijah di Banyuwangi saat itu. Kedekatannya dengan Nyai Sholihah Wahid mengantarkan Nyai Wedari aktif dalam program-program Muslimat NU.
Ketua Muslimat NU Cabang Banyuwangi tahun 1988-1989 ini, tidak hanya berhenti di tingkat Cabang, karirnya dimulai dari Anak Cabang, Pimpinan Cabang, Pengurus Wilayah Jawa Timur hingga Pengurus Pusat Muslimat NU.
Ketika Usianya sudah berkepala empat, ia dilamar oleh seorang duda, Mustasyar PBNU sekaligus anggota DPR RI, yaitu K.H. Achmad Sjaichu. Pengasuh Pondok Pesantren Al Hamidiyah, Depok. Setelah menikah dengan K.H Achmad Sjaichu, bakat Sriwedari tetap ia kembangkan sebagai penceramah perempuan. Didukung oleh suaminya yang merupakan ketua Ittihadul Mubaligh tingkat Internasional, relasi Nyai Wedari mampu menembus taraf Internasional.
Pada era tahun 1960-an perempuan masih disinyalir harus tunduk dan patuh akan peran 3UR (Dapur, Kasur dan Sumur). Namun tidak dengan Nyai Wedari, karena ia memahami bagaimana ibunya seorang Raden Ageng, maka ia memilih untuk tidak terkungkung dalam budaya wingking.
Ia membuktikan kepada keluarga dan masyarakatnya, bahwa perempuan mampu menjadi seorang pemimpin dari golongan manapun. Terlebih terdapat dukungan dari orang-orang terdekat, seprti keluarga, suami dan masyarakatnya. []