Mubadalah.id – Pada masa Nabi Muhammad Saw, banyak para sahabat perempuan memainkan peran politik yang cukup berpengaruh, pada saat kemelut emosional menghinggapi hampir seluruh sahabat Nabi SAW setelah Perjanjian Hudaibiyyah. Perjanjian yang bagi segenap sahabat saat itu, dianggap merendahkan dan melecehkan eksistensi umat Islam pada saat itu.
Nabi SAW menerima perjanjian itu, sementara para sahabat berdiam diri, menolak atau paling tidak menyiratkan ketidak setujuan mereka.
Umar ra sendiri mendatangi Nabi SAW, dan bertanya: “ Bukankah engkau Nabi Allah”. “Ya!”, jawab Nabi SAW. “Bukankah kita berada pada agama yang benar, dan mereka yang sesat”. “Ya!”. “Kenapa kita harus menerima penghinaan dengan perjanjian ini?!!”, “Aku utusan Allah, dan aku tidak akan pernah menyalahi pertintah-Nya dan aku yakin Dia akan menolongku.”
Sebagai simbol penerimaan terhadap perjanjian tersebut, Nabi SAW memerintahkan para sahabat untuk memotong unta dan mencukur rambut kepala. Tetapi tidak satupun dari sahabat Nabi yang tergerak mengikuti perintah Nabi SAW, karena perasaan terpukul dan sedih yang sangat berat.
Ummu Salamah ra
Nabi SAW mengulangi perintah kepada para sahabat sampai tiga kali. Tidak satupun yang beranjak bangun memenuhi perintah. Nabi pun marah dan masuk ke tenda Ummu Salamah ra. dengan penuh kemarahan. “Ada apa?” tanya Ummu Salamah ra.
“Orang-orang Islam akan binasa, karena tidak mengikuti perintahku,” jawab Rasul.
“Ya Rasul, janganlah menyalahkan mereka. Kesedihan sedang menghimpit perasaan mereka, sama seperti yang engkau rasakan ketika harus menerima perjanjian itu. Mereka sangat berat kalau harus pulang tanpa bisa memasuki kota mereka Mekkah. Lebih baik, engkau keluar saja dan tidak perlu berbicara dengan siapapun. Lakukanlah apa yang ingin engkau perintahkan, Engkau sembelih untamu dan engkau cukur rambutmu. Jika mereka melihat engkau melakukan hal itu, pasti mereka akan mengikuti apa yang engkau lakukan”, Ummu Salamah ra. menyarankan.
Persis seperti yang dikatakan Ummu Salamah ra., semua sahabat pada akhirnya bisa menerima dan mengikuti apa yang dilakukan Nabi SAW. (Riwayat Bukhari dan Abu Dawud, Ibn al-Atsir, Jami’ al-Ushul, IX/207-222. no. hadis: 6098. lihat juga Amin Duwaidar, hal. 464).
Dari paparan beberapa catatan sejarah dan teks hadis ini, terlihat betapa para sahabat perempuan awal Islam telah memerankan kiprah politik yang cukup penting. Apalagi jika melihat latar belakang sosial mereka yang awalnya tidak diperhitungkan sama sekali oleh masyarakat Arab Jahiliyah. Memang kiprah mereka masih sederhana, tetapi setidaknya bisa disimpulkan bahwa peran politik perempuan adalah bukan langkah haram dalam Islam.
Dengan melihat peran para perempuan awal “Islam ini, banyak pihak pada akhirnya mengakui bahwa kiprah politik bukan persoalan jenis kelamin, tetapi persoalan tanggung jawab bersama untuk memperbaiki kehidupan sosial. []