Mubadalah.id – Kiai dipahami oleh masyarakat sebagai sebutan bagi seorang yang progresif, yang telah menguasai ilmu-ilmu agama dengan basis kitab-kitab klasik yang umumnya ditulis sekitar abad pertengahan.
Pada umumnya, kiai adalah keluaran dari pesantren dan pengikut organisasi keagamaan yang dicap tradisional dan konservatif: Nahdlatul Ulama (NU). Namun, orang segera harus mengubah pandangan sinis tersebut ketika membaca pandangan kiai yang satu ini: KH. AM. Sahal Mahfudz. (Baca juga: Imam Asy-Syafi’i: Pendiri Madzah Fiqh Pernah Belajar Ilmu Barat)
Dalam sebuah tulisan pengantarnya atas buku Kritik Nalar Fiqh NU, Kiai Sahal mengatakan, rumusan fiqh siyasah (fiqh politik) klasik biasanya menempatkan kelompok non muslim sebagai warga kelas dua. Bukan sebagai entitas yang sederajat dengan kaum muslimin.
Saya rasa pandangan demikian harus mulai kita ubah. Sebab, pandangan ini selain bertabrakan dengan gagasan demokrasi modern juga bertentangan dengan ide negara bangsa (nation-state) seperti Indonesia.
Profesionalisme, kemampuan, dan kapabilitas mestinya yang menjadi pilihan utama, bukan muslim atau tidak muslim dan bukan pula laki-laki atau perempuan. (Baca juga: Perjuangan Masyarakat Kampung Cijoho Mendapatkan Hak atas Tanahnya)
Ini sungguh merupakan pandangan yang sangat progresif, sangat maju, kalau tidak mau mengatakan liberal, dari seorang kiai terkemuka yang bersahaja dan arif. Kiai Sahal adalah Rais ‘Aam Syuriah PBNU. Dan NU ke depan agaknya membutuhkan kiai-kiai seperti ini lebih banyak lagi. []