Mubadalah.id – Isu tentang disabilitas memang cukup mencuat lantaran efektivitas media sosial yang menampilkan segelintir prestasi yang mereka capai. Kesadaran yang semakin toleran juga menjadi faktor utama atas prinsip keberagaman dan kesetaraan.
Selain itu ada upaya bersama untuk lebih mengapreasiasi peran disabilitas. Yakni dengan membuka akses serta ruang yang inklusif dan setara. Hal itu cukup menarik, sehingga semakin meyakinkan bahwa penyandang disabilitas memiliki kelebihan yang bahkan mungkin lebih kreatif dan cerdas dari kebanyakan orang.
Sebuah Postingan yang Membuka Kesadaran
Prestasi-prestasi yang tercapai itu memang sangat mengagumkan. Hanya saja bagiku pribadi ada satu postingan penyandang disabilitas di instagram yang lebih menggugah. Yaitu seorang autisme yang tubuhnya bergerak tidak teratur tengah menjalankan salat di Masjid.
Sebagaimana autisme pada umumnya, matanya melirik-lirik ke berbagai arah, kakinya yang tidak mampu menopang tubuhnya terlihat hendak tumbang. Tangannya yang panjang menekuk-nekuk bergerak tak karuan. Saraf ototnya yang memang tidak lurus membuat gerakan salatnya nampak kacau. Tapi jelas-jelas dia sedang beribadah.
Postingan itu mengingatkan kenangan saat mengajar anak-anak santri yang baru belajar tentang rukun salat. Kita juga tentunya mengenal rukun salat, syarat sah salat, fardhu salat, dan hal-hal yang membatalkan salat yang diajarkan di madrasah-madrasah maupun lembaga kepesantrenan.
Umumnya, kitab Safinah an-Najah menjadi rujukan utama sebagai dasar pembelajaran untuk memahami salat. Termaktub dalam kitab tersebut bahwa rukun shalat itu ada 17. Takbiratul ihram menjadi rukun yang kedua setelah niat. Namun tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa rukun itu harus dibarengi dengan mengangkat kedua tangan.
Sontak saja hal itu membuatku refleks bertanya pada anak-anak, “Lalu bagaimana orang yang tidak punya tangan? Apakah dia batal karena tidak mengangkat tangan?” Mulanya anak-anak itu bingung, namun setelah melihat lagi teks dalam kitab, mereka menjawab mantap, “Tidak batal.” Ya, tidak batal karena jawabannya ada pada fashal selanjutnya, tentang kesunahan mengangkat kedua tangan (يُسَنُّ رَفْعُ الْيَدَيْنِ).
Karena mengangkat tangan saat takbir itu sunnah, maka bagi orang yang tak memiliki tangan tidak terkena hukum taklif. Lantaran sunnah juga, tak heran jika kemudian tata cara mengangkat tangan dalam takbiratul ihram lintas madzhab berbeda-beda.
Kemungkinan Lain bagi Ibadah Disabilitas
Kenangan itu merambah pada pikiranku yang rupanya sadar dan mulai memikirkan kemungkinan ibadah bagi penyandang disabilitas lain. Tapi sebelumnya, tulisan ini hanyalah naskah yang menyitir sedikit dalil ringkas dan ringan. Sehingga bisa saja terbuka bagi pemikiran atau rujukan yang lebih kritis dan dalil yang ketat.
Tulisan ini tercipta sebagai bentuk kesadaran akan peran penyandang disabilitas yang sama-sama membutuhkan anugerah dan beriman kepada Tuhan-Nya.
Tulisan ini juga hadir dari hati yang terenyuh saat melihat orang-orang yang ‘berbeda’ beribadah dengan caranya dan dengan segala keterbatasannya. Sehingga, tujuan adanya tulisan ini tak lain dan tak bukan sebagai pengingat bagi diri sendiri.
Kenangan itu kemudian menjadikanku kritis akan beberapa hal terkait gerakan salat penyandang disabilitas. Bagi mereka yang tidak punya kaki, tidak punya tangan, autisme, hingga down sindrome tentunya mendapatkan rukhshah atau keringanan dalam beribadah. Untuk tunawicara dia akan kesulitan melafadhkan bacaan salat dengan fasih. Tetapi melafadhkan itu sunnah (وَالتَّلَفُّظُ بِهَا (اَلنِّيَّةُ) سُنَّةٌ), yang terpenting niat di dalam hati.
Mereka yang salatnya tidak sanggup berdiri karena tidak memiliki kaki, boleh dengan duduk. Berwudhu bagi yang tidak mempunyai tangan, cukup membasuh bagian yang umumnya terdapat tangan. Sampai pada autisme atau down sindrome yang melafalkan adzan misalnya, tentunya intonasi yang keluar tidak jelas, namun masih bisa dimaklumi.
Adanya Rukhshah bagi yang Memiliki Keterbatasan
Pada kasus orang autisme tersebut, kita kemudian ingat tentang hal-hal yang membatalkan salat. Salah satunya adalah bergerak lebih dari 3 gerakan sekalipun karena lupa (وَثَلَاثِ حَرَكَاتٍ مُتَوَالِيَاتٍ وَلَوْ سَهْوًا).
Tentu saja penyandang autisme dan down sindrome, lantaran saraf otot dan tubuhnya yang bergerak lebih banyak akan mengakibatkan banyak gerakan-gerakan yang bukan gerakan salat. Karenanya, apakah salat orang tersebut batal?
Kita mengenal kata rukhshah. Dengan rukhshah atau keringanan itu, jika kita membawanya pada yang lebih dalam, yakni penyandang autis yang salatnya bergerak-gerak, atau bagi disabilitas lain yang sekiranya ada hal membuatnya batal, salatnya masih bisa dimaklumi.
Itu dasar rujukan dari kitab tipis Safinah an-Najah. Tentu saja ada banyak rujukan lain yang membahas tentang keringanan penyandang disabilitas dalam beribadah. Salah satunya firman Allah Swt. pada ayat berikut:
يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْۗ
“Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya.” {QS. al-Baqarah (2): 286}.
وَجَاهِدُوْا فِى اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهٖۗ هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ
“Berjuanglah kamu pada (jalan) Allah dengan sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama.” {QS. al-Hajj (22): 78}
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَۖ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.” {QS. al-Baqarah (2): 185}
Itulah mengapa kemudian Islam menjadi agama yang ramah. Islam sangat memperhatikan kebutuhan umatnya sampai sedetail itu. Bagi mukallaf yang tidak mampu shalat sambil berdiri, boleh dengan duduk. Tidak bisa duduk, boleh sambil memiringkan tubuh ke arah kiblat.
Jika tidak bisa shalat sambil miring maka boleh dengan berbaring. Hingga pada keringanan yang paling mengharukan, yaitu jika semuanya tidak bisa boleh hanya hati saja yang menjadi isyarat manusia masih hidup dan beribadah.
يُصَلِّى الْمَرِيضُ قَائِمًا إِنِ اسْتَطَاعَ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ صَلَّى قَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَسْجُدَ أَوْمَاً وَجَعَلَ سُجُوْدَهُ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوْعِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّي قَاعِدًا صَلَّى عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْمَنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّي عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْمَنِ صَلِّ مُسْتَلْقِيًا رِجُلُهُ مِمَّا يَلِي الْقِبْلَةَ . (رواه البيهقي والدارقطني عن علي بن أبي طالب)
Islam yang Ramah Disabilitas
Aku baru menyadari sedalam ini bahwa Islam mengatur sedemikian rupa kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi pada mukallaf, salah satunya bagi penyandang disabilitas. Ada banyak kewajiban dan rukun yang memiliki keringanan atau rukhshah. Ini sebagai wujud Islam ramah disabilitas
Ada juga hukum-hukum qath’i yang mengandung pengampunan-pengampunan, sehingga jelaslah bahwa Islam adalah agama yang secara rinci lengkap dengan balasan dan akibatnya namun masih memiliki kelonggaran bagi mereka yang tidak mampu atau memiliki keterbatasan fisik maupun intelektual.
Para Imam Mujtahid zaman dahulu pun memikirkan dengan matang sebelum memutuskan hukum. Mereka mempertimbangkan bagaimana shalat bagi yang tidak memiliki tangan, kaki, tidak bisa melihat, dan keterbatasan lainnya. Sehingga terciptalah rukhshah bagi yang memiliki keterbatasan dengan frasa ‘Bagi yang Mampu’. Dengan begitu maka jelaslah bahwa Islam, dalam fikihnya merupakan ketentuan hukum yang sangat fleksibel.
Karenanya, aku pribadi sangat terharu dengan disabilitas yang melaksanakan ibadah di tempat umum meski keterbatasannya bisa saja menghadirkan polemik.
“Dia tidak sempurna, tapi dia tidak melupakan pencipta-Nya.”
“Tuhan menciptakannya berbeda, namun dia tetap mensyukuri perbedaannya itu.”
Begitulah komentar-komentar atas postingan tersebut.
Postingan-postingan penyandang disabilitas tentu menjadi pengingat agar kita yang memiliki anggota tubuh lengkap selalu bersyukur tanpa henti. Sebagai seseorang yang mampu beraktivitas tanpa keterbatasan apapun seharusnya lebih bersemangat dalam menjalankan ibadah.
Nasihat itu tentunya mengkhususkan untuk diriku sendiri. Yang kemudian membuka mataku dan membuka hatiku agar lebih terbuka dan memaklumi setiap apa-apa yang dilakukan oleh penyandang disabilitas. Termasuk soal ibadah yang memiliki aturan nan ketat. Menanggapi pemikiranku sendiri, aku jadi memahami soal spiritualitas disablititas yang mempunyai tempat khusus, yakni tempat keringanan, pemakluman, ampunan, dan pemaafan.
Titik kesadaran itu menjadikanku juga memahami kembali soal 4 tingkatan tasawuf dalam Islam: Syari’at, Tarekat, Makrifat dan Hakikat. Jika kemudian ada yang menganggap ibadah penyandang disabilitas menabrak aturan syari’at, maka Islam yang maha memudahkan dapat membawanya pada tingkatan yang melibatkan hati, yakni tingkatan tertinggi bernama hakikat. Wallahu a’lam. []