Mubadalah.id – Efek lebaran, beberapa kawan membuka percakapan pola asuh anak – istilah yang populer: parenting. Tidak terlalu buruk, kiranya mempelajari pengasuhan anak sejak dini. Selain membantu kesiapan mental, juga kematangan teori pola asuh.
Berbicara teori pengasuhan anak, memang mengalami kemajuan literatur dengan landasan penelitian ilmiah. Hanya saja kembali kepada fokus yang bersangkutan. Misal saya, kendatipun tidak menutup mata akan perkembangan tersebut, pedoman yang mendominasi tetap literatur keislaman. Minimal, dalam nilai-nilai statis yang hendak diajarkan ke anak. Seperti pentingnya keimanan versi agama saya.
Imam al-Ghazali, meski bukan ilmuan spesialis parenting, beliau mengulas persoalan pola asuh anak cukup komprehensif. Menghabiskan sekitar 3 lembar dalam volume tiga kitab Ihya Ulumiddin. Lebih dari itu, sebagian nilai-nilainya masih relevan.
Parenting Tanggung Jawab Bersama
Pertama-tama Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa pengasuhan anak (parenting) merupakan hal yang paling krusial dan urgent. Sebab, anak merupakan amanah Tuhan yang dimandatkan pada setiap keluarga. Anak – sebagai sosok manusia – memiliki sifat dasariah fitrah yang bisa menerima kecenderungan buruk atau baik.
Oleh karena itu, orang tua, baik ayah ataupun ibu, sebagai lingkungan yang paling kecil dan dekat wajib bertanggung jawab atas kembang-tumbuhnya anak (Ihya Ulumiddin, 3/72).
Imam al-Ghazali menyitir sebuah ayat yang artinya, “Wahai orang orang beriman hendaknya kau lindungi dirimu sendiri dan keluargamu dari sengatan api neraka” (QS. Al-Tahrim ayat 6).
Menurut tafsirnya Imam al-Ghazali,
وَمَهْمَا كَانَ الْأَبُ يَصُونُهُ عَنْ نَارِ الدُّنْيَا فَبِأَنْ يَصُونَهُ عَنْ نَارِ الْآخِرَةِ أَوْلَى
“Bila bapak (orang tua) akan melindungi anaknya dari sengatan apu dunia maka lebih utama lagi menolong anaknya dari api neraka”. (Ihya Ulumiddin, 3/72).
Meski beliau menegaskan bapak, tetapi dalam parenting bisa dipahami sebagai tanggung jawab bersama yaitu orang tua. Penerapan pola asuh anak sebagai tanggung jawab bersama; ibu dan bapak bisa kita lihat dari ungkapan beliau;
وليكن الأب حافظاً هيبة الْكَلَامِ مَعَهُ فَلَا يُوَبِّخُهُ إِلَّا أَحْيَانًا وَالْأُمُّ تُخَوِّفُهُ بِالْأَبِ وَتَزْجُرُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ
“Hendaknya ayah itu punya karisma bersama anaknya sehingga tak perlu menghardik anaknya kecuali dalam kondisi tertentu. Pun, ibu menakuti anaknya dengan ayah seraya menghindarkan anaknya dari hal negatif” (Ihya Ulumiddin, 3/73).
Spirit atau poin dari ungkapan tersebut menguatkan bahwa harus ada kerja sama antara ibu dan bapak dalam mengasuh anak, tidak hanya ibu ataupun hanya bapak.
Parenting, dalam gagasan al-Ghazali, bukan hanya mengembangkan tumbuh anak secara lahir melainkan juga memupuk kesehatan secara batin. Lahir dan batin inilah yang menjadi paradigma orang tua untuk memerhatikan dalam pengasuhan anaknya. Oleh karena itu, pengasuhan dalam hal tersebut sesungguhnya mulai sejak dalam kandungan.
Titik Mulai Pengasuhan Anak
Dalam kandungan, selain ibu mengonsumsi makanan sehat secara medis untuk mengembangkan “jasmani” anaknya, juga mesti sehat secara syariat: halal dan tayyib guna memastikan rohani anaknya. Inilah titik mulai pengasuhan anak.
Berlanjut pada fase kelahiran, tentu konsumsi bayi utama adalah susu. Dalam hal ini, Imam al-Ghazali menandaskan:
بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يُرَاقِبَهُ مِنْ أَوَّلِ أَمْرِهِ فَلَا يَسْتَعْمِلُ فِي حَضَانَتِهِ وَإِرْضَاعِهِ إلا امرأة متدينة تأكل الحلال فإن اللبن الحاصل من الحرام لا بركة فيه
“Ketahuilah: cara mendidik anak harus sejak awal. Maka hendaklah perempuan yang religius dan makanannya halal yang mendidik dan menyusui. Sebab, susu yang dihasilkan dari hal yang tidak sehat (haram dan tak bergizi) maka tidak ada berkah di dalamnya”. (Ihya Ulumiddin, 3/72).
Dalam fase penyusuan ini, Imam al-Ghazali hendak menitikberatkan pentingnya susu yang berkualitas. Susu yang berkualitas tentu berkelindan dengan ibu yang sehat. Sehingga secara tidak langsung pula, Al-Ghazali, menuntut agar ibu itu sehat baik secara jasmani maupun mental atau rohani. Selain itu, juga perlu menyusui secara ekslusif – sebagai proses penyusuan yang paling ideal selama tidak ada halangan.
Dalam masa kandungan dan menyusui hendaknya suami hadir dan memastikan kesehatan istri berikut anaknya sebagai jewantahan dari pertanggung jawaban bersama dalam parenting.
Setelah itu, berlanjut ke masa pertumbuhan awal. Imam al-Ghazali mengingatkan orang tua agar mendukung anak yang menunjukkan gejala positif, rasa malu misalnya. Atau mengarahkan anaknya pada hal-hal yang positif bila anak tampak ke arah negatif seperti rakus.
Teori Perintah dan Kebenaran Objektif Dalam Pengasuhan Anak Pasca Penyusuan
Dua kecenderungan itu berangkat dari paradigma sintesis bahwa manusia memiliki sifat fitrah sehingga bisa menginput dua unsur utama: negatif dan positif – berbeda dengan Thomas Hobbes (1588-1679 M) yang mengajukan tesis bahwa unsur utama manusia adalah sifat buruk (negatif), atau Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778 M) yang menawarkan anti-tesa bahwa sifat dasariah manusia adalah baik (positif).
Masih tuturan al-Ghazali, hendaknya orang tua mengarahkan anaknya agar mengambil makanan dengan tangan yang kanan, mengucap basmalah sebelum makan, makan hidangan yang di hadapannya, tidak mendahului orang lain. Tidak tergesa-gesa saat makan, dan tidak mandang sinis akan menu makanan, pun orang yang makan.
Seabrek perintah dan larangan itu bukan disodorkan begitu saja kepada anak – atas otoritas orang tua yang punya tanggung jawab mendidik. Tapi harus pakai strategi; sosialisasi dan dialog dengan anak. Dalam hal strategi, menarik memasuki kajian Mustofa Akyol ketika mengilustrasikan teori hukum dengan pedagogi.
Ketika anak, kata Akyol, tiba-tiba mengambil mainan saudaranya, maka orang tua ada dua opsi. Pertama, melarang anaknya mengambil mainan saudaranya karena orang tua itu melarang. Kedua, melarang anak itu dengan mendiskusikan dan menjelaskan konsekuensi buruk yang akan datang – bukan karena larangan orang tua.
Opsi pertama itu lalu familiar dengan teori “perintah/larangan” yang mana terkesan diktator. Pokoknya bapak/ibu melarang itu, memerintahkan ini. Titik. Sementara opsi kedua, merepresentasikan teori “kebenaran objektif” yang muaranya demokratis dengan menjelaskan konsekuensi bila melanggar larangan atau tidak taat perintah (Mustofa Akyol, I’adatu Fathi al-‘Uqul al-Muslimah; Audatun Ila al-Aqli Wa al-Hurriyah wa al-Tasamuh).
Husn al-Ta’dib: Prinsip Parenting ala Imam al-Ghazali Yang Tak Lekang Zaman
Dua teori itu hanya strategi bagaimana orang tua membimbing anaknya. yang namanya strategi maka harus mempertimbangkan efektifitas. Baik pakai teori pertama, pun yang kedua. Ada saat-saatnya, orang tua itu menggunakan teori pertama, dan perlu pula yang kedua, tutup Mustofa Akyol.
Lepas dari itu, apapun strategi dan teori yang akan dipakai maka harus tidak boleh lepas dari prinsip parenting ala Imam al-Ghazali sebagai berikut.
وَإِنَّمَا يُحْفَظُ عَنْ جَمِيعِ ذَلِكَ بِحُسْنِ التَّأْدِيبِ
“Hanya saja menjaga anak dari semua keburukan itu harus dengan didikan yang baik”. (Ihya Ulumiddin, 3/72).
Inilah prinsip mendidik anak-anak. Prinsip “Husn al-ta’dib” sangat relevan untuk dijadikan patokan dalam mengasuh anak yang tak akan lekang dengan gilasan zaman. Saat mengarahkan anak pada hal yang positif, atau melarang dari hal negatif mesti mempertimbangkan “Husn al-Ta’dib” yang bisa kita realisasikan dengan melihat situasi dan kondisi. Baik situasi yang meliputi fisik dan psikologi anak, maupun situasi-kondisi sosio-lingkungan. Sehingga bisa menerapkan strategi apa yang pas dan mengena dalam parenting.
Memilih Strategi Parenting dengan Prinsip Husn al-Ta’dib
Dulu, di zaman al-Ghazali sesuai amatan beliau terhadap parenting di zamannya yang efektif adalah lebih mendidik dengan cara teori perintah tanpa menjelaskan sebab akibatnya. Misalkan beliau menggambarkan:
ويقبح عِنْدَهُ كَثْرَةُ الْأَكْلِ بِأَنْ يُشَبَّهَ كُلُّ مَنْ يُكْثِرُ الْأَكْلَ بِالْبَهَائِمِ وَبِأَنْ يُذَمَّ بَيْنَ يَدَيْهِ الصَّبِيُّ الَّذِي يُكْثِرُ الْأَكْلَ وَيُمْدَحُ عِنْدَهُ الصَّبِيُّ الْمُتَأَدِّبُ الْقَلِيلُ الْأَكْلِ
“Memvonis buruk makan berlebihan di hadapan anak dengan cara menyamakan setiap orang yang suka makan berlebihan dengan hewan, dan mencela orang-orang yang sering makan dengan porsi lebih. Serta memuji anak-anak yang makannya sesuai porsi” (Ihya Ulumiddin, 3/73).
Namun demikian, strategi parenting sendiri berkembang seiring perkembangan zaman dan perubahan nilai etik. Zaman sekarang, mendidik dengan teori perintah (baca: diktator) mulai usang, dan lebih mengena dengan cara yang demokratis. Misalnya, melarang makan dengan porsi yang berlebihan tidak dengan cara mencela orang-orang sebagaimana narasi Imam al-Ghazali.
Melainkan mensosialisalisasikan dan menjelaskan akibat yang akan timbul bahwa makan dengan porsi yang lebih bisa mengundang penyakit sehingga badannya tidak sehat dan seterusnya. Tetapi, apapun strateginya mesti mengejewantahkan prinsip “husn al-ta’dib” dalam parenting ala Imam al-Ghazali. []