Mubadalah.id – Pandemi covid-19 yang terjadi pada tahun 2020 telah menyebabkan berbagai perubahan dalam relasi keluarga, terutama yang berkaitan dengan isu gender. Yaitu peran laki-laki dan perempuan yang bergeser pada peningkatan aktivitas yang terpusat di rumah. Hal itu bisa terjadi karena menurut Kamilia Hamidah, dalam konteks pandemi ini, pertahanan pertama dalam menghadapi pandemi adalah keluarga dan masyarakat, baik itu dari sisi ekonomi, sosial maupun kesehatan.
Covid-19 tidak menimbulkan horor dan teror seandainya laju infeksinya tidak sangat tinggi. Horor dan teror yang terbawa berkaitan dengan kecemasan eksistensial bahwa setiap nyawa dapat hilang karena kehadiran virus ini di dalam tubuh. Pandemi akibat covid-19 telah menghadirkan dunia berbeda dari yang selama ini kita kenal.
Untuk pertama kalinya bangsa-bangsa di dunia sedang berada dalam keadaan darurat global. Dan untuk pertama kalinya pula manusia memiliki media digital global yang memobilisasi masyarakat internasional dengan cepat. Tampaknya seperti kebetulan bahwa jejaring sistem digital sebagai infrastruktur komunikasi telah tersedia. Ketika pandemi ini pecah, mengharuskan manusia hampir di seluruh dunia untuk meninggalkan komunikasi dan pertemuan-pertemuan tatap muka.
Dengan cara ini, Covid-19 memaksa populasi global untuk segera berevolusi menjadi manusia digital, sehingga dengan ketahanan keluarga inilah sebagai faktor yang dapat memperkuat modal sosial masyarakat untuk menghadapi dampak yang ditimbulkan oleh virus covid-19. Sementara itu dalam kultur masyarakat Indonesia, agama dan segala tradisi yang muncul dari ekspresi keberagamaan adalah juga menjadi sesuatu yang penting.
Peran Media Membentuk Opini Publik
Di sisi lain, kita harus mengakui media punya peran penting dan sangat berpengaruh dalam pembentukan opini publik di masa pandemi. Artikel ini akan membahas tentang peran media dalam upaya resiliensi perempuan di tengah pandemi. Bagaimana karakter kepenulisan artikel di Mubadalah.id dan Rahma.id membangun opini relasi gender di masa pandemi Covid-19.
Sebagaimana yang terungkap dalam artikel Tatang Sudrajat dan Leni Rohida yang menjelaskan bahwa media massa dapat menggiring opini tentang covid-19, agar masyarakat tidak merasakan kepanikan berlebih. Selain menjalankan fungsinya yang penting media massa juga harus mampu memberikan angin segar melalui informasi yang tersajikan.
Tidak ada lagi pemberitaan atau informasi yang sensasional tidak berguna dan tidak bermakna. Kini media massa harus menyajikan segala macam informasi yang berdasarkan fakta dan data yang relevan, serta penting kita saring terlebih dahulu sebelum tersebarluaskan.
Maka, kita sepakat agar menjadi konsumen yang cerdas dan paham akan seluruh informasi yang tersebar di media. Kita juga harus mampu memilih dan memilah informasi yang datang. Sebab, pembentukan opini publik sangat terpengaruh oleh media. Oleh karena itu sangat penting adanya saringan informasi di media, sehingga masyarakat akan menerima informasi yang memang bisa kita pertanggungjawabkan kebenarannya.
Situasi Perempuan di Tengah Pandemi Covid-19
Dalam salah satu berita, Kompas menurunkan artikel tentang situasi perempuan di tengah pandemi covid-19. Situasi tersebut menyebabkan jurang sosial dan persoalan yang sebelumnya ada menjadi semakin nyata. Salah satunya yakni tentang relasi timpang berbasis gender yang menyebabkan perempuan menghadapi kerugian berbeda dan berlapis dibandingkan dengan laki-laki.
Karena peran gender pada pengasuhan, perempuan berada di garis depan terpapar SARS-CoV-2. Virus pemicu Covid-19, sekaligus memikul beban berlipat ganda dari kebijakan penanganan netral gender. Beban ini terutama hadir di rumah tangga yang kini menjadi ruang dominan seluruh aktivitas di masa pandemi seiring kebijakan kerja dan belajar dari rumah.
Media dan Perempuan
Dewi Candraningrum dalam ulasannya di Jurnal Perempuan memetakan tiga isu utama yang harus menjadi perhatian dalam menyikapi kesenjangan ini, yaitu pertama isi media. Kedua, infrastruktur dan akses pada media yang beragam. Ketiga, Pendidikan, pelatihan, lapangan pekerjaan dan organisasi media dalam level pengambil keputusan.
Untuk menyangkal isu isi media, pertama adalah dengan kebutuhan mendasar atas kaidah-kaidah isi yang adil gender, dengan mengurangi sampai dengan menghilangkan pengggambaran-penggambaran yang bias gender, seksis, misoginis, dan stereotype atas perempuan dan laki-laki.
Kedua, menciptakan penggambaran yang positif dan unik, dan beragam atas perempuan. Dalam persentasi penggambaran seksis perempuan merupakan objek paling dominan yang terpakai sebagai alat jual. Hal ini dapat kita dekonstruksi dengan deskripsi alternatif yang menyediakan ruang konteks yang lebih subjektif, yakni perempuan yang membawa agensinya sendiri. Bukan diobjekkan secara paksa di dalam industri media.
Ketiga, dengan menyediakan banyak ruang untuk mengkampanyekan hak-hak perempuan. Keempat, media kita arahkan pada penyebaran nilai-nilai perdamaian, non diskriminasi, penghormatan dan keadilan sosial, ekonomi, politik dan ekologis.
Lalu menyangkut hal yang kedua terkait penyediaan infrastruktur yang dapat memberikan perempuan akses pada media sesuai dengan kebutuhannya serta mengembangkan komunikasi yang menguntungkan.
Ketiga, menyangkut pendidikan, pelatihan dan perkembangan karir. Isu utama adalah dengan mendidik anak-anak perempuan dalam penggunaan media digital. Melayani lebih banyak perempuan dalam komunikasi dan teknologi digital yang bersifat popular dan masal.
Selain itu membawa perempuan pada level pengambil kebijakan dalam industri media dan institusi-institusi pemerintahan dalam Kementerian Informasi dan Komunikasi untuk ikut mengubah dan mentransformasi status-quo di dalamnya.
Ketika sampai pada ruang kenyataan, yang tersedia dalam konten media massa adalah kenyataan yang suram dan pahit. Internet sebagai sumber daya publik, tidak sungguh-sungguh mempromosikan tiga isu utama kesenjangan laki-laki dan perempuan di ruang media digital.
Motif untuk mencari keuntungan telah mendominasi ruang publik yang seharusnya bebas dari sesuatu yang bersifat seksis, misoginis dan rasis. Motif atas keuntungan ini merupakan aliran media yang bersifat satu arah yang menutup kemungkinan kekayaan dari sumber definisi dan pencitraan serta representasi dari sesuatu yang lain.
Peran Media Keislaman Perempuan
Dalam menghadapi situasi tersebut, peran media keislaman perempuan berusaha mendiskusikan berbagai hal nyata yang perempuan hadapi sehari-hari ketika berhadapan dengan pandemi. Banyak perempuan segera harus bekerja rangkap “multi-tasking”, yakni kemampuan untuk mengerjakan dua atau lebih pekerjaan secara bersamaan, di luar peran tradisionalnya sebagai istri dan ibu.
Hal ini bukan tanpa alasan. Evelyn Reed menuliskan bahwa sejak sejarah awal umat manusia terbentuk hingga saat ini pembagian kerja antar jenis kelamin diyakini telah menjadi pembagian antara suami dan istri dalam keluarga. Suami keluar untuk bekerja, sedangkan perempuan tinggal di rumah untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak.
Pendapat lain dari tokoh fungsionalis struktural Talcott Parsons mengatakan bahwa keluarga memegang peranan kunci dalam mempertahankan stabilitas masyarakat. Karena dalam konsep keluarga proses sosialisasi berlangsung, dan peran serta nilai sosial yang berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan sistem sosial diajarkan pada anggotanya.
Dalam keluarga inilah posisi perempuan kita tempatkan. Parsons beranggapan bahwa struktur internal ini antara lain terwujud dalam segregasi peran atas dasar jenis kelamin, di mana satu sisi ada peran instrumental yang mengurus hubungan antara keluarga dan masyarakat lebih luas, yang dijalankan oleh laki-laki.
Sementara di sisi lain ada peran ekspresif yang mengurus struktur internal dan fungsi-fungsi dalam keluarga yang dijalankan oleh perempuan. Namun kondisi tersebut berbanding terbalik ketika Pandemi Covid-19 terjadi. Tidak sedikit yang tiba-tiba perempuan harus menjadi kepala keluarga dengan mengambil alih tugas-tugas suaminya dalam mencari nafkah, setelah suaminya terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK.
Banyak yang tiba-tiba terpaksa menjadi guru, guru ngaji bagi anak-anaknya, sekretaris, perawat, dan ragam beban baru lainnya. Perempuan pun menjelma seperti “ibu perkasa” yang harus serba tangkas.
Di sisi lain, dalam kondisi tersebut, kehadiran internet sebagai sumber baru rujukan keislaman, paling tidak muslim urban, memancing perhatian banyak pihak untuk terlibat aktif dalam memproduksi konten keislaman di internet, baik melalui laman dan media sosial. Bagaimana wajah Islam Indonesia ke depan sangat ditentukan oleh penyedia konten keislaman digital. (bersambung).