Mubadalah.id – Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang harus keduanya pegang teguh. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 1, “Hai orang-orang beriman penuhilah janji-janjimu…“
Bahkan dalam Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari Uqbah bin Amir ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya perjanjian yang paling wajib keduanya tunaikan adalah perjanjian yang menjadikan halalnya hubungan kelamin bagi kalian (perjanjian perkawinan).”
Semua hal yang membawa kebaikan dalam keluarga khususnya yang berorientasi pada kemaslahatan istri yang ia perjanjikan. Mengapa istri? karena biasanya para istri lah yang lebih rentan terhadap pelanggaran hak dalam keluarga.
Dalam kitab-kitab fiqh, contoh-contoh isi perjanjian perkawinan hampir seluruhnya mengarah pada kemaslahatan istri. Misalnya, suami harus memenuhi nafkah standar, tidak mengusir istri dari rumah tinggal mereka apapun alasannya, tidak melarang istri melakukan aktivitas positif.
Lalu tidak melarang istri berhubungan dengan keluarga dan teman-temannya, dan sebagainya. Ini tidak aneh, karena filosofi perjanjian pernikahan itu sendiri pada hakekatnya adalah untuk memberi manfaat dan perlindungan kepada istri.
Filosofi itu pula membuat sebagian fuqaha berpandangan bahwa tidak bersedia dimadu bisa dan boleh menjadi isi perjanjian perkawinan yang wajib dipenuhi suami, karena manfaat hal ini kembali ke istri.
Di antara sahabat Nabi dan fuqaha yang berpendapat demikian adalah Khalifah Umar bin khatab Sayyidina bin Abi Waqqash, Amru bin ‘Ash.
Juga termasuk Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Thawus, al Awza’i, Ishaq dan sebagian ulama mazhab Hambali. Pendapat ini semakin hari semakin banyak orang-orang ikuti karena kemaslahatannya semakin mereka rasakan.
Syarat ini tidak mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, karena pada dasarnya perempuan diberikan pilihan untuk poligami atau monogami.
Ketika perempuan sudah memilih dan menjadikannya sebagai syarat dan janji perkawinan, maka laki-laki yang menjadi suaminya terikat dengan janji itu. Karena poligami adalah pilihan, maka tidak bersedia bukan berarti mengharamkan yang dihalalkan Allah.
Sehingga syarat tidak mau dipoligami tidak bertentangan dengan hadis Nabi yang mengatakan, “Orang muslim terikat dengan syarat (janji) yang mereka buat, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” (HR. Turmudzi).
Hukum Positif
Dengan mengadopsi pemikiran fiqh Islam yang sudah berkembang sejak zaman sahabat Nabi, perjanjian perkawinan ditetapkan dalam hukum positif Indonesia.
Pasal 29 (UU perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974) memberikan peluang yang luas untuk melakukan perjanjian perkawinan meliputi apa saja sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum dan kesusilaan.
Prosedurnya, perjanjian perkawinan didaftarkan kepada dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan yakni KUA bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi non-muslim.
Pasal 29 UU perkawinan ini lebih jelas secara rinci dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 45-52. Hanya saja KHI lebih banyak mengatur masalah percampuran dan pemisahan harta perkawinan. Yang intinya pemisahan atau pencampuran harta pencarian masing-masing tanpa menghilangkan kewajiban suami memberi nafkah keluarga (pasal 47 ayat 2 dan pasal 48 ayat 1). Sementara hal-hal lain belum merincinya.
Ini bisa kita maklumi mengingat KHI yang telah sah melalui Inpres nomor 1 tahun 1991 itu sendiri tidak bersifat final. Melainkan dinamis dan terus bisa berkembang seirama dengan penuntutan problematik yang kian kompleks. []