Mubadalah.id – Jika kita mencermati ayat-ayat kesaksian, sesungguhnya ada benang merah yang bisa ditarik. Yakni bahwa masalah kesaksian bukanlah soal pembedaan gender, melainkan soal integritas dan kapabilitas.
Buktinya, untuk urusan keimanan dan spiritualitas yang sangat personal antara makhluk dan Khaliknya, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Juga dalam urusan rumah tangga (sumpah li’an) di mana suami dan istri masing-masing dipandang sama nilai kesaksiannya di mata hukum.
Hanya dalam hal yang diasumsikan perempuan kurang memiliki akses terhadap dunia tersebut dibanding laki-laki (seperti akses ke dunia perdagangan di masa lalu), kesaksian perempuan tidak sama dengan laki-laki.
Ketika zaman sudah berubah dan akses menuju dunia perdagangan sudah sama antara laki-laki dan perempuan, dan sistem sudah dibuat sedemikian rupa canggih, transparan dan bisa dipertanggungjawabkan, tentu tidak relevan lagi memperbincangkan rasio 2:1.
Bukan berarti umat Islam meninggalkan ayat al-Qur’an. Melainkan ada cara lain yang bisa kita tempuh untuk menjamin terwujudnya tujuan ayat itu sendiri. Al-Qur’an pun tidak melarang perkembangan seperti itu karena al-Qur’an bukan kitab suci yang anti perkembangan budaya manusia.
Dengan memperhatikan ayat-ayat yang ada, kesaksian sesungguhnya lebih berdasarkan pada faktor kapabilitas dan integritas, bukan faktor jenis kelamin.
Jika perempuan kapabel dan integritasnya diakui, kesaksiannya tidak perlu dipertanyakan. Bahkan jika ia bersaksi seorang diri.
Bukti nyata dari hal ini adalah ketika Rasulullah Saw menerima kesaksian seorang perempuan yang datang bersaksi bahwa dua orang calon mempelai yang akan menikah adalah anak-anak sesusuannya.
Mendengar kesaksian ini, Rasulullah langsung membatalkan rencana pernikahan tersebut. Rasulullah menerima kesaksian seorang perempuan yang beliau percaya integritasnya dan memiliki kapabilitas. Serta kapasitas untuk memberi kesaksian karena ia adalah pelaku langsung. Peristiwa ini terabadikan dalam Shahih Bukhari. []