Mubadalah.id – “Lisan lebih tajam daripada pisau” adalah satu di antara banyak kata mutiara sederhana tentang bahaya lisan yang mungkin sudah sering kita dengar. Ya, memang lisan itu sangat-sangat berbahaya bila kita tak mampu mengontrolnya. Sebaliknya, menjaga lisan juga akan sangat bermanfaat bila kita mampu mengendalikannya. Semua itu tergantung pada orangnya.
Ibarat pisau, tentu saja pisau akan bermanfaat bila dipegang oleh koki. Beragam masakan yang lezat akan berhasil ia buat melalui bantuan pisau. Namun, bila dipegang penjahat, pisau berdampak mengerikan. Bisa saja membahayakan dan melukai orang lain.
Oleh karena lisan yang Allah SWT anugerahkan kepada kita ini punya dua sisi. Kita harus betul-betul berhati-hati dalam menggunakannya. Kita mesti melatih diri agar mampu mengendalikan lisan dan mengunakannya untuk hal-hal positif dan mendatangkan manfaat.
Guna melatih hal ini, sebenarnya kita tidak perlu bingung atau pusing mencari cara. Kita ambil saja langkah sederhana yang sangat-sangat mungkin bisa kita lakukan. Salah satunya ialah kita mulai dengan tidak mencela makanan.
Mungkin hal ini terkesan sepele, namun tak semua orang mampu melakukannya. Logikanya, bila dengan makanan (benda mati; tak bisa membalas omongan) saja tak dapat mengontrol lisan, tentu lisan kita akan lebih sulit kita kontrol bila dihadapkan dengan manusia (benda hidup; bisa membalas omongan). Maka, yuk mari kita menjaga lisan kita mulai dengan tidak mencela makanan!
Makanan Menjadi Sumber Energi
Mengapa harus makanan? Karena, selain benda mati yang tak bisa membalas omongan kita, makanan merupakan salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan manusia di dunia ini. Dengan mengonsumsi makanan, manusia akan mendapatkan asupan nutrisi yang tubuh perlukan, kemudian terolah menjadi energi. Sehingga, manusia menjadi bertenaga dan dapat melakukan berbagai aktivitas dalam kehidupannya dengan lancar.
Kalau kita mau merenung, kita akan merasa berdosa sekali bila masih saja gemar mencela makanan. Lhawong makanan tidak salah apa-apa, tidak berkata apapun yang menyakiti hati kita, dan justru memberikan manfaat yang besar bagi tubuh kita, tapi kok malah kita ‘tega’ mencelanya? Ada apa dengan hati kita?
Lebih lanjut, mempunyai makanan yang lezat dan layak kita makan juga merupakan suatu nikmat yang besar dari Allah SWT. Demikian ini sebab tidak semua dari kita memiliki nasib seperti ini. Jangankan makan makanan lezat, dapat makan setiap harinya saja sudah menjadi kebahagiaan tersendiri bagi beberapa kalangan.
Maka dari itu, ketika mendapatkan suguhan makanan, kita wajib mensyukurinya dengan sikap penerimaan yang baik. Dan tentu ini perlu latihan menjaga lisan.
Di antara wujud sikap penerimaan yang baik terhadap makanan yang tersuguhkan kepada kita adalah dengan tidak mencela makanan, bagaimana pun rasanya. Sebagai seorang muslim, kita tidak diperkenankan untuk mencela makanan.
Sekalipun rasa dari makanan tersebut agak kurang ‘bersahabat’ di lidah kita atau bahkan tidak sesuai dengan selera kita. Sebab, makanan merupakan rezeki dari Allah SWT yang harus kita syukuri dan tidak boleh dicela.
Teladan Nabi Muhammad Saw
Dalam perihal ‘menghargai’ makanan, kita mesti meniru keteladanan dari sang Baginda Nabi Muhammad SAW. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqolaniy dalam Kitab Bulugh Al-Maram (hlm. 321) menuturkan hadits berikut:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: مَا عَابَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ طَعَامًا قَطُّ، كَانَ إِذَا اشْتَهَى شَيْئًا أَكَلَهُ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْه).
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata: Rasulullah SAW tidak pernah mencela makanan sama sekali; jika tertarik (suka) dengan suatu makanan, maka beliau akan memakannya, dan bila tidak suka dengannya, beliau meninggalkannya.” (HR. Muttafaq Alaih).
Mengacu pada hadis di atas, Imam Ash-Shon’aniy dalam Kitab Subulus Salam Syarah Bulugh Al-Maram, (3/235) menjelaskan syarah hadits di atas sebagai berikut:
(وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: «مَا عَابَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ طَعَامًا قَطُّ كَانَ إذَا اشْتَهَى شَيْئًا أَكَلَهُ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ». مُتَّفِق عَلَيْهِ) فِيهِ إخْبَارٌ بِعَدَمِ عَيْبِهِ ﷺ لِلطَّعَامِ وَذَمِّهِ لَهُ فَلَا يَقُولُ هُوَ مَالِحٌ أَوْ حَامِضٌ أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ، وَحَاصِلُهُ أَنَّهُ دَلَّ عَلَى عَدَمِ عِنَايَتِهِ ﷺ بِالْأَكْلِ بَلْ مَا اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ، وَمَا لَمْ يَشْتَهِهِ تَرَكَهُ، وَلَيْسَ فِي تَرْكِهِ ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ عَيْب الطَّعَامِ.
Artinya: “Dalam hadits ini terdapat informasi tentang ketidakpernahan Nabi SAW mencela makanan dan menjelek-jelekkannya. Beliau tidak pernah mengatakan “makanan ini terlalu asin”; “makanan ini terlalu masam”, atau sejenisnya. Walhasil, hadits ini menjadi dalil tentang ketiadaan sikap penjagaan Nabi SAW terhadap makanan tertentu, melainkan beliau akan memakan makanan yang beliau suka, dan beliau akan meninggalkan makanan yang tidak beliau suka. Dan sikap beliau meninggalkan suatu makanan tertentu (yang tidak disukai) tidaklah menjadi dalil akan keharaman memakan makanan tersebut.”
Menjaga Lisan terhadap Makanan
Dari penjabaran di atas, kita tahu bahwa Nabi kita sejak dulu telah mencontohkan sekaligus memberikan suri tauladan. Yakni tentang bagaimana seharusnya sikap seorang muslim ketika mempunyai atau disuguhi makanan. Kalau suka, silakan dimakan, dan kalau tidak suka, ya cukup kita tinggalkan. Artidnya tidak perlu kita makan, dengan tanpa mencela. Begitulah adab yang Baginda Nabi ajarkan, dan seyogyanya kita teladani.
Kita harus ingat bahwa dalam satu piring makanan yang kita makan, itu ada jerih payah banyak pihak. Ikan dari nelayan, nasi dan sayurnya dari petani, dan seterusnya. Bila kita mencela makanan, di samping bisa menyakiti perasaan orang lain, kita juga tergolong sebagai orang yang tidak bersyukur terhadap nikmat yang Allah SWT berikan.
Melalui tulisan ini, penulis mengajak pembaca untuk lebih hati-hati dalam menjaga lisan. Sikap ini bisa kita mulai dengan tidak mudah mencela makanan. Makanan apapun, dari siapapun, dan bagaimana pun rasanya itu. Sebab, mencela makanan merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan dan jelas haram hukumnya.
Dengan ini, semoga kita semua ke depan dapat menjadi pribadi yang baik dan semakin berakhlakul karimah. Di mana salah satu wujudnya adalah mampu menjaga lisan. Hal itu bisa kita latih dengan mulai tidak mudah mencela makanan. Wallahu a’lam. []