• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Tentang Ibu dan Omelannya

Kita terus memikirkan dan berdoa agar ibu tetap mengomel. Mengomel artinya sayang

M. Baha Uddin M. Baha Uddin
22/10/2024
in Personal
0
Tentang Ibu

Tentang Ibu

804
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Akhir 2022 silam, di cangkruk Randhu Jembagar, Teras, Boyolali, obrolan demi obrolan terucap. Yuditeha, sastrawan pendiri komunitas Kamar Kata, menuturkan bahasan buku barunya Kamus Kecil untuk Pendosa (2022).

Buku berisi kumpulan puisi menyoal pengalaman berhubungan dengan Tuhan dan sesama. Pada bahasan sebuah puisi, Yuditeha mengucap, “… kalau ada ibu yang diam saja, tidak mau bicara, itu adalah seburuk-buruknya ibu.” Kalimat masih membutuhkan penjelasan (mungkin) panjang. Orang bakal tak terima, bahkan marah, mendengarnya.

Di rumah, sedari kecil, kita karib dengan omelan, larangan, dan imbauannya. Mimi, biasa saya menyebutnya, sering kali menjadi tokoh utama ketegangan di rumah. Kala anak nakal, ia bakal menegur, mengingatkan, hingga memarahinya. Tatapan tajam berupa isyarat peringat hingga patah kata keluar dari mulutnya menjadi konsumsi sehari.

Pengisahan Ingatan

Periwayatan omelannya membuat pelbagai kisah di ingatan anak. Ibu itu mesti keseringan ngomel demi mengisi hari-hari tumbuh anak. Ia menjadi peran vital bagi pengisahan suasana latar keluarga. Omelannya di kemudian hari bakal mewujud kisah terceritakan. Kadang omelan itu menjadi sarana pengenangan kita kelak saat rindu dan kangen pada ibu.

Di balik tuturan omelan terselip doa-doa. Doa terbungkus lewat petuah dan amarah. Kasih sayangnya konon tak tergantikan apapun. Omelan itu bentuk kepedulian kala anaknya nakal dan bandel. Benar kata Yuditeha, diamnya itu buruk. Artinya—bisa jadi—diamnya itu pertanda tak lagi peduli tingkah laku dan pari polah anaknya.

Baca Juga:

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

Bentuk ketakpedulian dengan cara diam itu mengerikan. Ibu perlu turut campur dalam kesejarahan anak dan keluarganya. Tuturan teranggap sebagai pepatah sakti. Selepas sembahyang, tengadah tangannya melangitkan doa-doa. Dalam periwayatan keluarga, selain menjadi penyangga keharmonisan, ia mesti memiliki peran menjadi pengomel.

Ibu Terpuisikan

Mendiang Joko Pinurbo berkali-kali menulis puisi bertema ibu. Satu di antaranya terhimpun dalam buku Haduh, aku di-follow (2013). Ibu terbingkai di bait puisi mewujud kasih sayang, amarah, dan omelan. Bahkan sesekali beradu peran mesra bersama ayah, orang terkasihnya.

Puisi membawa hantaran kita pada sosok ibu peduli sekaligus pengomel. Jokpin, sapaan akrab Joko Pinurbo, menulisnya: Ibu menghapus garis nasib di/ telapak tanganku dengan ujung/ lidahnya. Puisi mengingatkan saat tangan kita belepotan sehabis memegang makanan. Lumatan lidahnya memberi pelajaran agar kita tak menyisakan makanan. Sosoknya itu ngomel sekaligus memberi pesan mendalam.

Pengakraban kita pada sosok ibu berhak mendapat perenungan berkepanjangan. Omelannya kadang memberi usaha efek jera. Agara anaknya berpikir untuk tak mengulangnya. Kita bahkan mengira omelan dan segala omongannya sering merepotkan telinga. Di kamar tidur kitab akrab dengan omelannya berbunyi, “Bangun! Jam segini baru bangun, mau jadi apa kamu?”.

Di kasur, ibu memberi petuah terbungkus omelan. Ia ingin kita lekas terbangun, menepi dari limpahan kenyamanan empuk kasur. Atau kita pernah terduduk berjam-jam hanya untuk mendengar omelannya. Omelan itu bagian dari pelajaran tak tersodorkan di kamus sekolah.

Sosok yang Berdoa dan yang Mengomel

Dunia ibu penuh dengan kejutan. Kita menanggapinya dengan ketakut-khawatiran. Tayangan sinetron pun turut campur memberi pandangan. Jiwanya kadang mendapat ketokohan protagonis atau antagonis. Peran itu senyatanya terjadi di kehidupan nyata. Bahkan peran berat mesti terjalaninya ialah menjadi orang tua memiliki anak bandel dan nakal seperti kita.

Kita kembali ingat bait puisi Jokpin di buku masih sama: Kasih ibu lebih keras/ dari kasih batu,/ lebih lembut dari kasih/ susu. Puisi membawa hapalan kita pada lirik sebuah lagu berjudul Kasih Ibu gubahan SM. Mochtar. Lagu berbunyi: Kasih ibu kepada beta/ Tak terhingga sepanjang masa/ Hanya memberi tak harap kembali/ Bagai sang surya menyinari dunia.

Puisi dan lagu membungkus ketulusan kasih sayang ibu. Namun kita malah mengartikannya dengan omelan dan kecerewetan. Dari omelan, ia kadang tertuduh sebagai pihak cerewet, atau ceriwis. Anggapan ini pun berujung pada pembawaan jenis kelamin. Karena ia seorang perempuan makanya ia cerewet, ceriwis, dan sejenisnya.

Anggapan tak ada kaitan dengan jenis kelamin dan konstruksi gender. Ibu kerap mengomel bukan bagian dari bentukan paradigma karena ia perempuan. Sikap mengomel itu bentuk dari keintimannya dengan lingkup terkecilnya; keluarga. Ada sensitivitas besar pada hubungannya dengan anak, dan keluarganya. Sikap mengomelnya tumbuh dari kepedulian dan kedekatan pada darah dagingnya. Bukan karena ia berjenis kelamin ini, dan terkonstruksi gender itu.

Kita terus memikirkan dan berdoa agar ibu tetap mengomel. Mengomel artinya sayang. Saat kita terbebas dari omelan dan gerutunya itu mesti terpertanyakan. Apakah ia sudah Lelah mengomel? Atau ia memilih diam karena selama ini omelannya tak terpedulikan? Kita tak pernah tahu. []

Tags: Cinta IbuIbukeluargaOmelan Ibuperan ibuRelasiTentang Ibu
M. Baha Uddin

M. Baha Uddin

Bergiat di Komunitas Serambi Kata

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID