Mubadalah.id – Aktor muda Jefri Nichol baru-baru ini mencuri perhatian publik dengan pengakuannya yang menimbulkan kontroversi. Terkenal melalui perannya dalam film “Dear Nathan” (2017), aktor berusia 25 tahun ini mengungkapkan sebuah pernyataan yang memancing banyak reaksi saat menjadi bintang tamu di kanal YouTube Wkwk Project. Acara tersebut dipandu oleh Choki Pardede.
Selama sesi tanya jawab, Choki melontarkan pertanyaan yang mengarah pada kehidupan pribadi Jefri. Khususnya tentang berapa banyak perempuan yang pernah tidur bersamanya. Choki tampak peka dengan pertanyaan tersebut, ia memberikan pilihan agar lebih mudah dijawab. “Di atas 20 atau di bawah 20?” Sang Aktor memang tidak langsung memberikan jawaban secara gamblang. Namun dia memberi isyarat dengan jari telunjuk mengarah ke atas. “Oke, di atas 20,” ucap Choki menyimpulkan.
Meskipun Jefri tidak memberikan jawaban verbal yang jelas, ia memberi isyarat dengan telunjuknya mengarah ke atas. Kemudian Choki tafsirkan sebagai tanda bahwa jumlah tersebut lebih dari 20. Pengakuan ini segera menarik perhatian publik dan memunculkan diskusi yang lebih mendalam tentang implikasinya.
Di balik isyarat sederhana pengakuan Jefri Nichol itu, penulis melihat adanya muatan nilai patriarki dan seksisme yang masih kental dalam budaya masyarakat kita, di mana mengekspos kehidupan pribadi laki-laki di ranah seksual masih sering kita anggap normal, bahkan diidolakan.
Mengapa Tidak Dianggap Tabu?
Salah satu pengguna platform X, dengan nama akun @999o7i, mempertanyakan respons publik yang cenderung tidak mempermasalahkan hal tersebut. “Aktor Jefri Nichol sudah tidur dengan lebih dari 20 wanita di umur 25 ini, kok gak tabu ya?”
Pertanyaan ini mencerminkan keresahan tentang standar ganda yang berlaku di masyarakat, di mana pria yang mengungkapkan kisah seksualnya kerap kali dianggap sebagai sosok yang “keren” atau “macho”. Sementara perempuan dalam situasi yang sama kemungkinan besar akan menerima stigma negatif atau bahkan kita hujat sebagai “pelacur”.
Pertanyaan ini bisa jadi lahir dari kerisauan atas banyaknya laki-laki yang membanggakan pengalaman ranjang di luar nikahnya.
Mengapa jika laki-laki yang mengatakannya tidak kita nilai sebagai penjahat, malah dipuja-puja sebagai sosok idola?
Fenomena ini menyoroti kenyataan bahwa standar sosial terhadap kehidupan seksual masih cenderung memihak laki-laki. Dalam banyak kasus, laki-laki kita anggap bebas untuk mengungkapkan pengalaman seksualnya di ruang publik tanpa khawatir mendapat sanksi sosial yang berat.
Sebaliknya, perempuan yang mengungkapkan pengalaman serupa hampir pasti akan mendapat kecaman keras. Lalu, apakah ketampanan atau popularitas seseorang dapat menjadi alasan pembenaran bagi mereka untuk membanggakan hal ini di hadapan publik?
Memang Pemeran Jakarta vs Everbody ini tidak mengakuinya dengan lugas. Namun, menurut ilmu ushul fikih, isyarat telunjuknya cukup untuk menunjukkan pengakuannya. Abdul Karim an-Namlah dalam ktabnya, Al-Muhadzzab fi I’lmi al-Muqarin menyebutkan,
الإشارة يحصل بها البيان
“Isyarat dapat memberikan sebuah penjelasan”
Pengaruh Patriarki
Pernyataan tersirat Jefri mengungkap lebih dari sekadar angka. Ini adalah gambaran dari pengaruh patriarki yang masih kuat di masyarakat, di mana pria bebas untuk terbuka mengenai pengalamannya tanpa harus merasa takut akan konsekuensi sosial.
Pengakuan Jefri Nichol tidak hanya menuai perbincangan karena menyentuh aspek kehidupan pribadinya. Namun juga karena menggambarkan pandangan masyarakat yang seolah mendukung laki-laki untuk memiliki pengalaman seksual yang luas tanpa merasa risih, bahkan saat pernyataan tersebut tersampaikan di depan publik.
Hal ini juga berpotensi berbahaya bagi norma sosial dalam jangka panjang. Normalisasi pandangan bahwa laki-laki dinilai lebih “jantan” atau “hebat” karena memiliki banyak pengalaman seksual dapat memperkuat seksisme dan merendahkan derajat perempuan. Perempuan bukanlah sekadar objek untuk kepuasan atau pengalaman hidup seseorang, dan sikap seperti ini hanya akan memperdalam ketidakadilan gender yang sudah lama ada.
Di sinilah kita perlu berpikir ulang. Apakah sebaiknya pengakuan semacam ini kita pandang sebagai hal wajar atau justru kita lihat sebagai peringatan bahwa masyarakat perlu mengedepankan sikap yang lebih adil dan setara dalam menilai pengalaman pribadi pria dan perempuan.
Kontroversi ini mengingatkan bahwa budaya patriarki masih memiliki akar yang kuat dan mendorong kita untuk lebih kritis. Jika masyarakat terus-menerus memberikan “lampu hijau” pada pria yang mengekspresikan kebebasan seksual mereka tanpa konsekuensi, maka seksisme bisa semakin kita normalisasi. []