Mubadalah.id – Bagi masyarakat Madura, nyai tidak hanya menjadi simbol keilmuan dan keagamaan, tetapi juga sebagai simbol perlawanan atas berbagai ketidakadilan. Meskipun ketokohannya kerap kita anggap tidak sentral di dalam masyarakat patriarki di Madura, ternyata para nyai memiliki peran yang signifikan. Hal tersebut membuat pengaruh nyai Madura melampaui segala asumsi yang mengecilkan eksistensinya.
Itulah sebabnya, masyarakat Madura menempatkan sosok nyai sebagai ulama perempuan dalam berbagai konstruksi, yaitu konstruksi sejarah, agama, sosial, dan budaya. Dalam pandangan budaya, nyai dianggap konsisten dalam melestarikan tradisi.
Dalam perspektif sosial, mereka masyarakat anggap sebagai tokoh karismatik yang menyatukan kehidupan sosial. Dari segi agama, nyai berperan sebagai penyelamat dan penggerak motivasi dalam beragama, sementara dalam konteks sejarah, nyai dipandang sebagai penerus lembaga keagamaan yang perlu menjaga garis keturunannya.
Kepatuhan masyarakat Madura terhadap ulama merupakan kepatuhan tulus tanpa syarat, dan berlangsung secara turun temurun. Mereka memahami tentang arti pengharapan sehingga tidak perlu mempertanyakannya mengapa, kepada siapa, dan untuk apa kepatuhan tersebut dijalankan.
Fenomena tersebut Hasanatul Jannah ungkap dalam bukunya Ulama Perempuan Madura: Otoritas dan Relasi Gender. Ia memaparkan dengan jelas bagaimana otoritas dan relasi gender nyai Madura di tengah-tengah lingkungan patriarki. Tentang bagaimana kiprah yang bisa mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari yang bersinggungan dengan budaya patriarki yang amat kental.
Otoritas Nyai di Madura
Otoritas dapat kita maknai sebagai pengaruh, kapasitas, kekuasaan dan lain sebagainya. Dalam konteks ini otoritas dapat kita maknai dengan kekuatan yang memaksa atau sebuah kekuatan dan kekuasaan yang bisa mengarahkan pada pembentukan keyakinan. Otoritas dapat orang miliki baik secara individual atau kelompok. Ia bisa melekat pada karakter, pendapat atau pernyataan seseorang.
Karena otoritas bisa tertuju pada seseorang, karakter atau pendapatnya, maka otoritas ulama’ sangat terpengaruh dengan karakter terpuji yang ia miliki. Jenis otoritas yang nyai Madura miliki seperti halnya otoritas dalam Islam, yakni mampu mengajak sesuai pesan pesan dalam Islam.
Hasil studi Hasanatul Jannah lakukan dalam bukunya mendapati bahwa tidak semua perempuan yang paham lebih banyak tentang agama bisa memiliki sebuah otoritas. Hal ini tentunya berbeda dengan teori Khaled M. Abou el Fadl yang mengatakan setiap manusia itu punya otoritas karena sama-sama khalifah Tuhan.
Ia juga memaparkan bahwa masyarakat Madura sangat memegang teguh prinsip genealogis. Jadi, penguasaan agama tidaklah cukup untuk mendapatkan sebuah otoritas. Sebanyak apapun ilmu agamanya jika bukan keturunan ulama’, maka sulit baginya mendapatkan otoritas.
Kemudian otoritas nyai di Madura menyebar ke berbagai ranah kehidupan. Sehingga seorang nyai masyarakat anggap mempunyai kekuatan nolaen (laknat Tuhan). Masyarakat Madura mempercayai “murka Tuhan” apabila menentang dan tidak taat pada ulama pewaris tahta para Nabi.
Relasi Gender Nyai di Madura dengan Kiai
Pada dasarnya ulama perempuan Madura tidak memiliki konsep yang spesifik dalam memandang kesetaraan gender. Namun, dalam aplikasinya, kesetaraan gender ulama perempuan Madura termanifestasi dalam dimensi ruang depan dan belakang. Mereka mampu melewati sekat antara keduanya.
Ulama perempuan Madura dalam kesempatan tertentu bisa tampil dan juga mengendalikan. Artinya, ulama perempuan Madura mampu menempatkan diri untuk tampil di ranah publik, namun ia juga tetap berada di belakang layar.
Contohnya, Nyai Syifak. Ia selalu menjaga kehormatan suaminya sebagai kiai yang dijunjung tinggi kehormatannya sebagai pemimpin keluarga, namun di satu sisi kiprah dan peran-peran yang dimainkan Nyai Syifak mengimbangi sang kiai. Tapi kiprah yang Nyai Syifak lakukan tidak sampai menyaingi atau bahkan membuat otoritas suaminya sebagai kiai menjadi kerdil.
Nyai Syifak memiliki pesantren. Berkembangnya pondok pesantren yang diasuh Nyai Syifak penulis katakan karena kemampuannya mengambil keputusan, terutama yang berhubungan dengan peran publiknya. Meski demikian, dalam relasi gender yang berlaku di Madura, penempatan otoritas ulama perempuan tetap berada di bawah kiai.
Jadi, kiprah yang mereka lakukan tidak bersinggungan terhadap otoritas kiai. Mereka berkiprah sesuai dengan ranah mereka sendiri tanpa mencampuri ataupun membawahi otoritas utama seorang kiai.
Oleh sebab itulah otoritas agama yang pada nyai Madura miliki dapat terpelihara melalui relasi gendernya, sementara relasi gendernya terpelihara karena para nyai mampu mengambil peluang di dalam dominasi patriarki.
Berkaca dari Fenomena Nyai Madura
Dari fenomena tersebut, dapat kita ambil pelajaran bahwa menyebarkan perspektif gender tidak melulu harus menyaingi otoritas yang sudah ada. Dalam hal ini nyai Madura dalam berkiprah tetap senantiasa menghormati sosok kiai yang masyarakat percayai memiliki otoritas lebih tinggi.
Strategi yang mereka ciptakan dalam berkiprah patut kita acungi jempol. Salah satu contohnya bagaimana mereka pelan pelan menghilangkan pernikahan anak lewat sekolah yang mereka miliki. Mereka tidak mengizinkan murid yang masih bersekolah untuk menikah terlebih dahulu sebelum menyelesaikan masa studinya. Sebab alasan studi lebih masyarakat terima untuk menunda pernikahan daripada alasan lainnya.
Mereka yang hidup dalam kungkungan patriarki saja masih bisa berkiprah, lalu bagaimana dengan kita, sampai kapan kita mau menunggu? []