Beberapa hari terakhir grup Whatsapp saya sedang dipenuhi dengan sticker meme Bu Tejo, tokoh sentral dalam sebuah film pendek berjudul ‘Tilik’. Film pendek hasil kerjasama Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Ravacana Film, yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo ini, tiba-tiba viral di media sosial.
Film yang berdurasi 32 menit ini menceritakan rombongan ibu-ibu yang tengah melakukan perjalanan dari Bantul menuju Yogyakarta untuk menjenguk Bu Lurah. Adalah Bu Tejo, tokoh sentral film ini, yang di sepanjang perjalanan tak henti-hentinya mengumbar gosip tentang Dian, seorang perempuan muda yang dikenal sebagai kembang desa.
Berbagai hal tentang Dian dibeberkan Bu Tejo kepada Ibu-ibu lainnya, mulai dari gosip Dian adalah perempuan penggoda, dan segala hal negatif yang mengerucut kepada stereotipe ‘perempuan tidak beres’. Di sisi lain, ada Yu Ning yang selalu merasa bahwa Bu Tejo terlalu berlebihan mengomentari hidup Dian yang hanya berdasarkan dari info internet dan media sosial dan belum tentu benar.
Meskipun Bu Tejo, dan kebanyakan Ibu-ibu rombongan selalu berkilah bahwa informasi dari internet itu “wes ceto benere” (sudah jelas kebenarannya), “sing gawe internet kuwi wong pinter, mesti benere” (yang menciptakan internet adalah orang pintar, ya tentu sudah pasti informasi dari sana juga benar), tetap saja Yu Ning merasa bahwa Bu Tejo atau siapapun tidak punya hak untuk menghakimi hidup Dian hanya dengan informasi yang belum tentu benar.
Bagi saya, yang menarik adalah bagaimana film Tilik ini menempatkan Bu Tejo sebagai tokoh antagonis-demagogis, menjadi tokoh sentral ketimbang Yu Ning yang lebih protagonis-pedagogis dan mewakili idealisme normatif. Saya juga sempat bertanya-tanya, kenapa pula tokoh Bu Tejo yang arogan ini sebegitu viralnya sampai hampir di semua sosial media saya, selalu ada meme Bu Tejo dengan quote nyentriknya, yang kemudian menuntun saya untuk menyusun tulisan ini.
Secara normatif, tentu banyak orang akan sepakat dengan cara berpikir dan perasaan Yu Ning sebagai tokoh yang punya kelembutan hati dan kental dengan nilai sosial, dibanding dengan Bu Tejo yang berperangai negatif dan memiliki arogansi berlebihan karena merasa lebih tahu segalanya berkat internet. Tetapi idealisme normatif yang termanifestasi dalam tokoh Yu Ning ini tidak menemukan relevansinya, baik dalam film maupun di luar film ketika dikonsumsi oleh masyarakat.
Kenapa? Karena Bu Tejo adalah ‘kita’. Bu Tejo adalah segerombolan ibu rumah tangga yang setiap pagi kita temui di depan komplek tengah menawar sawi dan ikan asin untuk sarapan keluarganya, Bu Tejo juga adalah Ibuk, Mbak Yu, atau Istri kita sendiri, yang setiap pagi merogoh lipatan baju di lemari untuk menghitung sisa uang belanja kemarin apakah masih cukup untuk uang saku anak dan arisan hari ini.
Bu Tejo adalah manifestasi terbaik untuk menggambarkan kondisi mayoritas perempuan, terutama yang ada di pedesaan, yang tidak sempat bertanya apakah postingan facebook tetangganya merupakan berita yang benar, lantaran sibuk menjalankan fungsinya sebagai ‘makhluk domestik’.
Sikap saklek Bu Tejo terhadap berita yang ia terima dari internet, juga arogansinya untuk tidak dipersalahkan, bukan sesuatu yang harus kita adili dan kita letakkan sebagai ‘yang benar’ dan ‘yang salah’. Hal itu tidak lebih hanya sebuah gambaran realitas kultural kita yang perlu di kaji kembali.
Bu Tejo adalah manifestasi kegagalan pengarus-utamaan gender dalam kultur dan tatanan sosial kita. Bahwa seberapapun public policy kita telah diupayakan untuk semaksimal mungkin menghasilkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan untuk sama-sama mendapat informasi dan kesempatan yang memadai (meskipun pada kenyataannya masih jauh panggang dari apinya), hal itu tidak akan memberikan impact yang besar selama social policy kita masih menempatkan perempuan sebagai ‘makhluk domestik’ yang harus merelakan kesempatannya untuk mempertanyakan sesuatu, demi agar anak-anaknya bisa berangkat sekolah tepat waktu.
Kritik pos-feminisme semacam ini-lah yang mungkin bisa kita baca dari Sosok Bu Tejo. Bahwa arogansinya adalah cara lain perempuan desa untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri yang ‘panggungnya’ sangat terbatas di pedesaan. Dengan kata lain perilaku Bu Tejo adalah hasil dari social policy kita yang masih menempatkan beban ganda kepada perempuan. Sehingga idealisme normatif yang termanifestasi dalam sosok Yu Ning merupakan hal yang kurang relevan bagi perempuan, khususnya yang berada di pedesaan. []