“Tidak ada kehidupan yang layak dan damai tanpa etika bersama dan tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama”, begitu kata Hans Kung. Toleransi menjadi kata kunci utama tercapainya cita-cita perdamaian. Agama-agama, tanpa mengabaikan segala perbedaan dan ajaran khasnya, berkewajiban memberikan sumbangsih etika bersama. Ide yang digagas oleh Hans Kung ini kemudian dikenal sebagai Etika Global.
Etika Global memuat empat prinsip dasar. Pertama, tidak ada tatanan global baru tanpa suatu etika global. Kedua, setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi. Apa yang Anda sendiri tidak inginkan, jangan lakukan pada orang lain. Ketiga, pedoman dasar: tidak melakukan kekerasan serta menghormati orang lain, membangun solidaritas dan tatanan ekonomi yang adil, menjaga toleransi, serta menjalin kemitraan antara perempuan dan laki-laki. Keempat, transformasi kesadaran menuju masyarakat yang plural dalam beragama.
Prinsip-prinsip kemanusiaan tersebut dapat menjadi tawaran menarik di tengah krisis toleransi dan perdamaian hari ini. Sayangnya, sebagian umat Islam masih belum dapat menerima, karena beranggapan Etika Global menyerap konsep prulaisme atau pluralitas yang bukan berasal dari ajaran Islam. Padahal, jika kita kembali menengok pada literatur klasik Islam, kita akan menemukan intisari prinsip-prinsip Etika Global juga dikemukakan oleh para ulama, filsuf, dan sufi pada masanya. Salah satunya adalah Jalaluddin Rumi, seorang penyair dan sufi besar.
Rumi hidup di tengah situasi sosial politik yang bergolak. Serangan Mongol yang membabi buta dan berbagai konflik internal beragama di tubuh umat Islam menjadi catatan tersendiri. Belum lagi, perang salib yang terus berkecamuk, menambah kelam sejarah pertikaian umat manusia. Dari sinilah syair-syair Rumi hadir menghembuskan angin segar perdamaian.
Tidak sedikit puisi-puisi Rumi yang menorehkan pesan-pesan kemanusiaan melampaui batas-batas bangsa dan agama. Bahkan, spiritnya memiliki banyak kesamaan dengan prinip-prinsp Etika Global Hans Kung hari ini. Lalu apa saja Prinsip-prinsip toleransi yang dapat dilacak dalam karya-karya Rumi?
Pertama, dengan menggunakan berbagai redaksi, beberapa kali Rumi menyinggung tentang konsep golden rule, yaitu prinsip yang terdapat pada poin kedua Etika Global. Dalam kitab Matsnawi jilid 6 bait 4528 disebutkan: “Apapun yang membuatmu nyaman, begitu juga orang lain ingin diperlakukan”. Masih dalam jilid yang sama bait 1569, Rumi menyebutkan: “Sesuatu yang tidak engkau sukai, mengapa kau timpakan pada saudaramu”.
Dalam redaksi lain yang lebih indah, Rumi mengibaratkan perilaku buruk kita kepada orang lain seperti duri yang satu demi satu menancap dalam tubuh. Kita mungkin abai dengan keberadaannya, dan baru menyadari saat kita sendiri tertusuk duri-duri itu.
Bayangkan jika setiap perangai burukmu adalah duri
berkali-kali duri terinjak oleh kakimu sampai tubuhmu tersakiti
Kau pun lelah dengan perbuatan-mu, berualang kali
tapi kau tak merasa, atau mungkin kau tak peduli
Jika kau lupa dengan luka yang kau semai lewat sifat tak terpuji
tentu engkau akan selalu ingat rasa sakit yang pernah kau alami
(Matsnawi, jilid 2, bait 1240-1242)
Karim Zamani, salah seorang penafsir terbaik kitab Matsnawi, dalam penjelasan syair-syair di atas menyebutkan, pandangan Rumi ini terinspirasi dari surat Sayidina Ali kepada putranya yang termaktub dalam kitab Nahjul Balaghah: “Wahai putraku, jadikanlah dirimu timbangan di antara kamu dan selainmu. Cintailah sesamamu sebagaimana engkau ingin dicintai. Janganlah berbuat sesuatu yang engkau tak suka orang lain berbuat demikan kepadamu. Janganlah berbuat zalim sebagaimana engkau tak ingin dizalimi, dan berbuat baiklah sebagaimana engkau ingin orang lain berbuat baik kepadamu.”
Kedua, prinsip toleransi lainnya yang dapat dilacak dalam puisi-puisi Rumi adalah hilm dan modara atau bersabar dan menghindari kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Dalam kitab Matsnawi jilid 4 bait 771, Rumi mengajak kepada pengikutnya serta umat Islam untuk bersabar menghadapi orang yang berperilaku tidak menyenangkan.
Ajakan ini bukan hanya retorika belaka, Rumi juga memberikan teladan melalui perilakunya. Suatu hari ia melewati dua orang yang sedang bertengkar hebat. Mereka saling melempar hujatan. Salah seorang di antara mereka berkata kepada yang lain: “Demi Tuhan, kalau kau menghinaku, aku akan membalasmu seribu kali.”
Rumi datang menghampiri keduanya dan berkata: “Silahkan alihkan saja hinaanmu kepadaku, kalaupun kau mengatakannya seribu kali, aku tidak akan membalasnya” Mendengar ucapan Rumi, dua orang yang bertengkar tadi menjadi malu dan menyudahi pertikaiannya. Seandainya kita dalam kapasitas untuk memberikan teguran sekalipun, ada baiknya menyimak nasihat Rumi dalam kitab Matsnawi, jilid 4 bait 3815-3817:
Para pengikut Musa yang mendatangi firaun zaman-nya
Hendaklah berkata santun dan lemah lembut
Karena jika air dituang dalam minyak bergolak
Tungku api dan kuali, semuanya akan membara
Berkata lembut bukan berarti menyembunyikan kebenaran
Hingga ia menaggap-mu membenarkan tindakannya
Spirit puisi Rumi ini terinspirasi dari ayat 43-44 surat Thaha. Dalam dua ayat tersebut, Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Musa untuk pergi menemui Firaun, karena telah melampaui batas. Tetapi, Tuhan juga mengingatkan untuk berbicara kepada Firaun dengan bahasa yang baik. Sungguh luar biasa, bahkan kepada Firaun yang secara terang-terangan melakukan banyak penentangan kepada Tuhan sekalipun, tidak serta merta diperbolehkan melakukan tindakan kekerasan.
Ketiga, menerima konsep keragaman atau pluralitas. Untuk bisa duduk setara, kita perlu menghormati serta mengakui secara tulus segala perbedaan keyakinan keagamaan, baik perbedaan mazhab maupun agama. Rumi, dalam banyak syairnya mengajak kita untuk belajar menerima perbedaan itu.
Di antaranya, syair dalam kitab Matsnawi jilid 5, bait 2556 dan 2557: “Ada banyak tangga tersembunyi di dunia, tahap demi tahap menuju langit-Nya. Setiap kelompok adalah tangga, setiap cara adalah jalan menuju-Nya”
Pandangan Rumi ini tidak berhenti hanya pada memahami perbedaan. Tapi, Rumi juga menawarkan ruang yang dapat menjadi irisan dari berbagai mazhab, bahkan agama yang berbeda. Menurut Rumi, dimensi tasawuf, bisa menjadi titik berangkat untuk memahami kesatuan entitas agama-agama.
Rumi memberikan perumpamaan dengan cahaya dan lampu. Berbagai jenis lampu yang kita lihat, memiliki esensi yang sama yaitu cahaya. Seperti puisi dalam Matsnawi, jilid 3, bait 1255: “Lampu-lampu beragam bentuk, namun cahayanya adalah satu. Saat kau lihat lampu dengan teliti, kau akan temukan esensi”. Masih di dalam kitab Matsnawi, jilid 1, bait 678-679, Rumi menyebutkan:
Sepuluh lampu dalam ruangan yang sama
Masing-masing berbeda bentuk dan warna
Jika kau fokuskan pada cahaya
Lampu-lampu itu tiada berbeda
Tampaknya, gagasan etika global yang dikemukakan Hans Kung, memiliki pertemuan dengan nilai-nilai toleransi yang dituangkan Rumi melalui puisi-puisinya, termasuk juga prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan yang pernah saya tulisakan secara terpisah.
Puisi-puisi Rumi sendiri, banyak terinspirasi dari nilai-nilai keislaman. Setidaknya, dua kitab penting “Quran wa Matsnawi” dan “Ahadits Matsnawi” menegaskan pengaruh besar ayat-ayat Quran dan Hadits dalam syair-syair Rumi. Dengan begitu, prinsip-prinsip toleransi yang terkandung dalam Etika Global, sebenarnya juga merupakan nilai-nilai yang dianjurkan dalam ajaran Islam untuk menciptakan perdamaian dan keharmonisan antar umat manusia. []