Istilah ruqyah mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang, sebab praktik ini dapat kita temui di beberapa daerah, terutama lingkungan pedesaan. Begitupun di beberapa pedesaan daerah Garut.
Dalam penjelasan wikipedia ruqyah bisa diartikan sebagai metode penyembuhan dengan cara membacakan sesuatu kepada orang yang sakit akibat sengatan hewan, ‘ain, sihir, rasa sakit, gila, kerasukan/kesurupan dan gangguan jin.
Menurut Muhammad Iqbal Syauqi dalam tulisannya yang berjudul “Sejarah Ruqyah di Masa Nabi : Apakah Sama Seperti di Televisi?” juga menyebutkan bahwa ruqyah adalah sebuah praktik yang di masyarakat cukup erat kaitannya dengan tindakan suwuk atau mantra. Ruqyah juga merupakan bagian dalam tradisi berbagai agama dan kepercayaan, terutama yang memiliki keyakinan tentang kemampuan spiritual dalam doa dan kaitan aspek mistik dengan suatu penyakit. Dengan begitu ruqyah sering digunakan sebagai alat pengobatan berbagai penyakit, termasuk penyakit orang yang merasa diganggu oleh makhluk-makhluk gaib atau biasa disebut dengan kesurupan.
Praktik ruqyah memang banyak medianya. Jika dilihat dalam tayangan televisi, baik acara khusus pengobatan atau di film-film horor, biasanya seseorang yang disebut dengan “ustadz” atau orang pintar akan membaca beberapa do’a atau ayat-ayat tertentu, yang diyakini dapat mengusir setan dari tubuh seseorang. Cara seperti ini juga banyak ditemukan dalam kegiatan ruqyah masal di beberapa tempat.
Tetapi ada satu praktik ruqyah yang saya temukan dan saya anggap tidak wajar untuk dilanggengkan. Praktik tersebut adalah media pengobatan ruqyah yang menjadikan pernikahan sebagai obat paling ampuh bagi perempuan lajang yang mengalami penyakit “kesurupan”. Iya, lima tahun kebelakang, saya mengetahui ada beberapa teman pondok saya yang memang mempunyai penyakit semacam itu, dan dalam hitungan bulan setelah melakukan pengobatan ruqyah mereka akhirnya menikah. Padahal saya tahu, waktu itu mereka masih anak-anak yang seharusnya masih duduk dan belajar di bangku sekolah dan lingkungan pesantren.
Keputusan untuk menikah tentu tidak salah, tetapi yang menjadi masalah adalah ketika seseorang dinikahkan dengan tujuan yang belum jelas. Seperti halnya yang dialami oleh teman-teman perempuan saya lima tahun yang lalu. Mereka terpaksa dinikahkan oleh orang tuanya karena mengikuti anjuran dari “orang pintar” yang menganggap bahwa dengan menikah, perempuan lajang yang sering diganggu makhluk gaib Insya Allah akan cepat sembuh. Terlepas dengan siapapun pernikahan tersebut dilakukan.
Padahal, pernikahan adalah sesuatu yang sakral, yang tidak bisa dilakukan dengan cara main-main. Kemudian setelah pernikahan dilaksanakan, perempuan tersebut juga tidak mendapatkan jaminan benar-benar akan sembuh dari penyakitnya.
Pertanyaan yang lama sekali saya renungkan adalah, apakah memang tidak ada cara lain untuk mengobati perempuan yang mempunyai penyakit tersebut. Misalnya dengan konsultasi atau berobat ke dokter. Sebab, menikah dengan tujuan ingin sembuh dari gangguan makhluk gaib faktanya sangat tidak efektif. Beberapa dari mereka justru masih merasa diganggu oleh makhluk gaib, bahkan setelah beberapa tahun menikah. Selain itu, banyak juga dari mereka yang bercerai karena belum siap untuk berumahtangga. Jelas hal ini sungguh memprihatinkan.
Oleh sebab itu, praktik ruqyah yang melegalkan pernikahan sebagai obat, menurut saya tidak selamanya bisa diikuti. Karena dalam kasus ini seringkali mendatangkan ke-madharatan bagi si korban. Misalnya teman-teman perempuan saya waktu di pondok.
Bayangkan sudah mah mereka teuh menjadi korban pernikahan anak, putus sekolah dan mondok. Lalu setelah menikah mereka sama sekali tidak mendapatkan jaminan bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya.
Kemudian poin pentingnya adalah, sebagian orang menganggap bahwa praktik ruqyah ini adalah proses pengobatan yang syar’i/Islami. Otomatis jika memang dianggap seperti itu seharusnya praktik yang dijalankannya juga dengan cara yang sekiranya tidak mendatangkan masalah atau ke-madharatan yang baru. Hal ini sangat sejalan dengan prinsip Islam yang selalu menganjurkan untuk menghadirkan kebaikan dengan cara yang ma’ruf. []