• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

Di Balik Pengobatan Ruqyah, Ada Praktik yang tidak Bisa Dibiarkan

Fitri Nurajizah Fitri Nurajizah
08/09/2020
in Aktual, Personal, Rekomendasi
0
339
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Istilah ruqyah mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang, sebab praktik ini dapat kita temui di beberapa daerah, terutama lingkungan pedesaan. Begitupun di beberapa pedesaan daerah Garut.

Dalam penjelasan wikipedia ruqyah bisa diartikan sebagai metode penyembuhan dengan cara membacakan sesuatu kepada orang yang sakit akibat sengatan hewan, ‘ain, sihir, rasa sakit, gila, kerasukan/kesurupan dan gangguan jin.

Menurut Muhammad Iqbal Syauqi dalam tulisannya yang berjudul  “Sejarah Ruqyah di Masa Nabi : Apakah Sama Seperti di Televisi?” juga menyebutkan bahwa ruqyah adalah sebuah praktik yang  di masyarakat cukup erat kaitannya dengan tindakan suwuk atau mantra. Ruqyah  juga merupakan bagian dalam tradisi berbagai agama dan kepercayaan, terutama yang memiliki keyakinan tentang kemampuan spiritual dalam doa dan kaitan aspek mistik dengan suatu penyakit. Dengan begitu ruqyah sering digunakan sebagai alat pengobatan berbagai penyakit, termasuk penyakit orang yang merasa diganggu oleh makhluk-makhluk gaib atau biasa disebut dengan kesurupan.

Praktik ruqyah memang banyak medianya. Jika dilihat dalam tayangan televisi, baik acara khusus pengobatan atau di film-film horor, biasanya seseorang yang disebut dengan “ustadz” atau orang pintar akan membaca beberapa do’a atau ayat-ayat tertentu, yang diyakini dapat mengusir setan dari tubuh seseorang. Cara seperti ini juga banyak ditemukan dalam kegiatan ruqyah masal di beberapa tempat.

Tetapi ada satu praktik ruqyah yang saya temukan dan saya anggap tidak wajar untuk dilanggengkan. Praktik tersebut adalah media pengobatan ruqyah yang menjadikan pernikahan sebagai obat paling ampuh bagi perempuan lajang yang mengalami penyakit “kesurupan”. Iya, lima tahun kebelakang, saya mengetahui ada beberapa teman pondok saya yang memang mempunyai penyakit semacam itu, dan dalam hitungan bulan setelah melakukan pengobatan ruqyah mereka akhirnya menikah. Padahal saya tahu, waktu itu mereka masih anak-anak yang seharusnya masih duduk dan belajar di bangku sekolah dan lingkungan pesantren.

Baca Juga:

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Keputusan untuk menikah tentu tidak salah, tetapi yang menjadi masalah adalah ketika seseorang dinikahkan dengan tujuan yang belum jelas. Seperti halnya yang dialami oleh teman-teman perempuan saya lima tahun yang lalu. Mereka terpaksa dinikahkan oleh orang tuanya karena mengikuti anjuran dari “orang pintar” yang menganggap bahwa dengan menikah, perempuan lajang yang sering diganggu makhluk gaib Insya Allah akan cepat sembuh. Terlepas dengan siapapun pernikahan tersebut dilakukan.

Padahal, pernikahan  adalah sesuatu yang sakral, yang tidak bisa dilakukan dengan cara main-main. Kemudian setelah pernikahan dilaksanakan, perempuan tersebut juga tidak mendapatkan jaminan benar-benar akan sembuh dari penyakitnya.

Pertanyaan yang lama sekali saya renungkan adalah, apakah  memang tidak ada cara lain untuk mengobati perempuan yang mempunyai penyakit tersebut. Misalnya dengan konsultasi atau berobat ke dokter. Sebab, menikah dengan tujuan ingin sembuh dari gangguan makhluk gaib faktanya sangat tidak efektif. Beberapa dari mereka justru masih merasa diganggu oleh makhluk gaib, bahkan setelah beberapa tahun menikah. Selain itu, banyak juga dari mereka yang bercerai karena belum siap untuk berumahtangga. Jelas hal ini sungguh memprihatinkan.

Oleh sebab itu, praktik ruqyah yang melegalkan pernikahan sebagai obat, menurut saya tidak selamanya bisa diikuti. Karena dalam kasus ini seringkali mendatangkan ke-madharatan bagi si korban. Misalnya teman-teman perempuan saya waktu di pondok.

Bayangkan sudah mah mereka teuh menjadi korban pernikahan anak, putus sekolah dan mondok. Lalu  setelah menikah mereka sama sekali tidak mendapatkan jaminan bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya.

Kemudian poin pentingnya adalah, sebagian orang menganggap bahwa praktik ruqyah ini adalah proses pengobatan yang syar’i/Islami. Otomatis jika memang dianggap seperti itu seharusnya praktik yang dijalankannya juga dengan cara yang sekiranya tidak mendatangkan masalah atau ke-madharatan yang baru. Hal ini sangat sejalan dengan prinsip Islam yang selalu menganjurkan untuk menghadirkan kebaikan dengan cara yang ma’ruf. []

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Fitri Nurajizah

Fitri Nurajizah

Perempuan yang banyak belajar dari tumbuhan, karena sama-sama sedang berproses bertumbuh.

Terkait Posts

Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID