• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Relasi Inklusif melalui Transformasi Perilaku Natural

Membangun relasi inklusif memerlukan proses panjang, sekalipun al-Qur'an mengisyaratkan adanya tuntutan.

M. Khoirul Imamil M M. Khoirul Imamil M
18/03/2025
in Pernak-pernik, Rekomendasi
0
relasi inklusif

relasi inklusif

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Hujan lekas reda tatkala saya membaca tulisan anyar tentang relasi inklusif di Mubadalah.id. Seiring dengan hujan yang tetesnya tak lagi deras, bacaan saya akan artikel ringkas itu pun tandas.

Secara pribadi, saya tertarik dengan pemaknaan penulis dalam tulisan tersebut. Ada cukup keberanian untuk mengangkat tafsir progresif akan QS Al-Hujurat Ayat 13.

Penulis dengan kalimat lugas menyebut bahwa ayat tersebut bermakna sebuah tuntutan bagi terwujudnya hubungan yang inklusif. Tuntutan tadi terutama sekali dalam relasi antara kalangan difabel dan nondifabel.

Tentu, penginterpretasian ayat tersebut sebagai “tuntutan” mengandung konsekuensi pemenuhan. Sekalipun sang penulis banyak menyandarkan pandangannya kepada Nyai Nur Rofiah, terminologi relasi inklusif sebagai tafsir adalah hal yang terbilang baru.

Setidaknya, dalam hal ini, kita bisa melihat tafsir klasik Jalalain yang pada bagian QS Al-Hujurat Ayat 13 sekadar menekankan pentingnya equal relationship (hubungan sederajat). Tafsir tersebut mengujar la tatafaakharuu bi’uluwwi an-nasab atau larangan merasa “sok” berkat status sosial dan keturunan.

Baca Juga:

Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

Nyai Nur Rofiah: Keadilan Hakiki di Tengah Luka Sosial Perempuan

Keadilan Hakiki Mengingatkan Kondisi Khas Perempuan

Inilah Waktunya Memperjuangkan Emansipasi Disabilitas

Prinsip ekualitas sebelum inklusivitas

Apabila kita sepakat bahwa Allah melalui kalam-Nya dalam QS Al-Hujurat ayat 13 menuntut hamba-Nya untuk berlaku inklusif, mau tidak mau kita mesti mengamininya. Artinya, selaku hamba, kita bertanggung jawab untuk mewujudkan desain relasi inklusif dalam kehidupan nyata.

Namun, pada praktiknya, kesadaran bahwa relasi yang terbentuk dalam struktur sosial masyarakat kita masihlah berkasta-kasta. Layer demi layer bertumpuk saling tumpang sekaligus tindih membentuk relasi yang subordinatif. Ringkasnya, kita masih hidup dalam masyarakat yang belum sepakat dengan konsep kesederajatan.

Membentuk inklusivitas dalam masyarakat yang “emoh” pada kesederajatan rasa-rasanya menuntut kerja ekstra alias double job. Pun, kompensasi dari kerja-kerja pengarusutamaan isu semacam ini kerap tak bersambut baik. Bahkan, seringkali justru menghadapi resistensi kuat dari sistem masyarakat yang telanjur mapan.

Realita jamak demikian tadi, mau tak mau membuat kita sama-sama sadar diri. Yakni, ada “PR akbar” berupa kesederajatan yang mesti tuntas sebelum kita beranjak membayangkan relasi inklusif.

Bila sebuah gedung saja mesti berdiri di atas kokohnya pondasi, bisakah kita membangun inklusivitas dengan mengesampingkan ekualitas?

Transformasi perilaku natural

Kesadaran kita akan arti sebuah  prinsip “ekualitas sebelum inklusivitas” mendorong pentingnya transformasi perilaku. Sesuai dengan namanya, transformasi perilaku menghendaki perubahan sikap dalam diri seseorang secara bertahap.

Lebih jauh, dalam konteks relasi inklusif, adalah sebuah poin plus bila transformasi perilaku tersebut tumbuh secara natural. Seseorang secara sadar berupaya untuk mengubah sikapnya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ia alami sendiri (lahu ‘ilm wa tajrib).

Proses transformasi perilaku natural bermula dari penangkapan konteks yang berlanjut pada pengidentifikasian masalah. Seseorang menyadari bahwa lingkungan yang ada masih bertindak eksklusif secara internal maupun eksternal.

Kondisi tersebut bermuara pada mewabahnya diskriminasi dan sentimen underestimate. Pada posisi ini, bukan tidak mungkin bahwa masyarakat dapat terpecah-belah (disintegrated) oleh ekslusivisme pada pelbagai titik.

Seperti halnya Sang Budha, krisis dan ancaman disintegrasi menelurkan fase pencerahan (insights). Seseorang tercerahkan untuk mengubah perilakunya agar threat disintegrasi tadi tidak benar-benar mewujud. Di sinilah relasi inklusif itu memendarkan sinarnya.

Transformasi perilaku natural memang memerlukan fase-fase pembabakan yang tidak sebentar. Meski begitu, pendekatan ini terbilang lebih berumur panjang (timeless) ketimbang transformasi perilaku eksternal (Sukabdi, 2015).

Sederhananya, transformasi perilaku natural berlaku sebagaimana telur ayam yang pecah dan menetas menjadi anak ayam. Sementara, transformasi perilaku eksternal serupa dengan telur ayam yang berubah menjadi telur dadar.

Bukankah usia telur dadar jauh lebih semenjana ketimbang anak ayam? Semuanya berkat proses menetas yang menuntut kesabaran daripada satu dua menit yang bisa menyulap telur mentah jadi siap santap!

Menyelaraskan outsider dan insider

Membangun relasi inklusif tentu tak bisa lepas dari perspektif insider dan outsider. Keduanya mesti berjalan selaras dan seimbang dalam satu harmoni.

Misalnya, saat membahas tema inklusivitas dalam topik difabilitas, segregasi insider dan outsider rasanya sulit terhindarkan. Meski mungkin kita mengimani bahwa kita semua difabel, perbedaan difabilitas masing-masing pasti melahirkan ragam penyikapan.

Nah, ragam dan warna-warni difabilitas itu semestinya mendorong tumbuhnya rasa empati dan sensitivitas. Maknanya, sebagai seorang outsider atas difabilitas pihak lain, kita mencoba untuk berlaku selayaknya seorang insider.

Keselarasan pemosisian insider dan outsider secara fleksibel akan mengantarkan kita pada simpul kesadaran untuk saling memberdayakan dan mendayagunakan. Tidak boleh ada figur pasif yang seolah berlaku sekadar objek, sementara muncul figur subjek dominan yang seakan paling berjasa.

Akhirnya, bila relasi inklusif mesti bermodalkan kesederajatan, masihkah kita akan bilang “I’m better than you!” []

Tags: Akademi Mubadalah 2025Dr Nur Rofiah Bil UzmKeadilan HakikiNgaji RAINRamadan InklusiRelasi Inklusif
M. Khoirul Imamil M

M. Khoirul Imamil M

Pernah nekat menggelandang sepanjang Olomouc-Bratislava-Wina-Trier-Luksemburg.

Terkait Posts

Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
amar ma’ruf

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

1 Juli 2025
Fikih

Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

1 Juli 2025
Wahabi

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

30 Juni 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Beda Keyakinan

Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID