Mubadalah.id – Hujan lekas reda tatkala saya membaca tulisan anyar tentang relasi inklusif di Mubadalah.id. Seiring dengan hujan yang tetesnya tak lagi deras, bacaan saya akan artikel ringkas itu pun tandas.
Secara pribadi, saya tertarik dengan pemaknaan penulis dalam tulisan tersebut. Ada cukup keberanian untuk mengangkat tafsir progresif akan QS Al-Hujurat Ayat 13.
Penulis dengan kalimat lugas menyebut bahwa ayat tersebut bermakna sebuah tuntutan bagi terwujudnya hubungan yang inklusif. Tuntutan tadi terutama sekali dalam relasi antara kalangan difabel dan nondifabel.
Tentu, penginterpretasian ayat tersebut sebagai “tuntutan” mengandung konsekuensi pemenuhan. Sekalipun sang penulis banyak menyandarkan pandangannya kepada Nyai Nur Rofiah, terminologi relasi inklusif sebagai tafsir adalah hal yang terbilang baru.
Setidaknya, dalam hal ini, kita bisa melihat tafsir klasik Jalalain yang pada bagian QS Al-Hujurat Ayat 13 sekadar menekankan pentingnya equal relationship (hubungan sederajat). Tafsir tersebut mengujar la tatafaakharuu bi’uluwwi an-nasab atau larangan merasa “sok” berkat status sosial dan keturunan.
Prinsip ekualitas sebelum inklusivitas
Apabila kita sepakat bahwa Allah melalui kalam-Nya dalam QS Al-Hujurat ayat 13 menuntut hamba-Nya untuk berlaku inklusif, mau tidak mau kita mesti mengamininya. Artinya, selaku hamba, kita bertanggung jawab untuk mewujudkan desain relasi inklusif dalam kehidupan nyata.
Namun, pada praktiknya, kesadaran bahwa relasi yang terbentuk dalam struktur sosial masyarakat kita masihlah berkasta-kasta. Layer demi layer bertumpuk saling tumpang sekaligus tindih membentuk relasi yang subordinatif. Ringkasnya, kita masih hidup dalam masyarakat yang belum sepakat dengan konsep kesederajatan.
Membentuk inklusivitas dalam masyarakat yang “emoh” pada kesederajatan rasa-rasanya menuntut kerja ekstra alias double job. Pun, kompensasi dari kerja-kerja pengarusutamaan isu semacam ini kerap tak bersambut baik. Bahkan, seringkali justru menghadapi resistensi kuat dari sistem masyarakat yang telanjur mapan.
Realita jamak demikian tadi, mau tak mau membuat kita sama-sama sadar diri. Yakni, ada “PR akbar” berupa kesederajatan yang mesti tuntas sebelum kita beranjak membayangkan relasi inklusif.
Bila sebuah gedung saja mesti berdiri di atas kokohnya pondasi, bisakah kita membangun inklusivitas dengan mengesampingkan ekualitas?
Transformasi perilaku natural
Kesadaran kita akan arti sebuah prinsip “ekualitas sebelum inklusivitas” mendorong pentingnya transformasi perilaku. Sesuai dengan namanya, transformasi perilaku menghendaki perubahan sikap dalam diri seseorang secara bertahap.
Lebih jauh, dalam konteks relasi inklusif, adalah sebuah poin plus bila transformasi perilaku tersebut tumbuh secara natural. Seseorang secara sadar berupaya untuk mengubah sikapnya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ia alami sendiri (lahu ‘ilm wa tajrib).
Proses transformasi perilaku natural bermula dari penangkapan konteks yang berlanjut pada pengidentifikasian masalah. Seseorang menyadari bahwa lingkungan yang ada masih bertindak eksklusif secara internal maupun eksternal.
Kondisi tersebut bermuara pada mewabahnya diskriminasi dan sentimen underestimate. Pada posisi ini, bukan tidak mungkin bahwa masyarakat dapat terpecah-belah (disintegrated) oleh ekslusivisme pada pelbagai titik.
Seperti halnya Sang Budha, krisis dan ancaman disintegrasi menelurkan fase pencerahan (insights). Seseorang tercerahkan untuk mengubah perilakunya agar threat disintegrasi tadi tidak benar-benar mewujud. Di sinilah relasi inklusif itu memendarkan sinarnya.
Transformasi perilaku natural memang memerlukan fase-fase pembabakan yang tidak sebentar. Meski begitu, pendekatan ini terbilang lebih berumur panjang (timeless) ketimbang transformasi perilaku eksternal (Sukabdi, 2015).
Sederhananya, transformasi perilaku natural berlaku sebagaimana telur ayam yang pecah dan menetas menjadi anak ayam. Sementara, transformasi perilaku eksternal serupa dengan telur ayam yang berubah menjadi telur dadar.
Bukankah usia telur dadar jauh lebih semenjana ketimbang anak ayam? Semuanya berkat proses menetas yang menuntut kesabaran daripada satu dua menit yang bisa menyulap telur mentah jadi siap santap!
Menyelaraskan outsider dan insider
Membangun relasi inklusif tentu tak bisa lepas dari perspektif insider dan outsider. Keduanya mesti berjalan selaras dan seimbang dalam satu harmoni.
Misalnya, saat membahas tema inklusivitas dalam topik difabilitas, segregasi insider dan outsider rasanya sulit terhindarkan. Meski mungkin kita mengimani bahwa kita semua difabel, perbedaan difabilitas masing-masing pasti melahirkan ragam penyikapan.
Nah, ragam dan warna-warni difabilitas itu semestinya mendorong tumbuhnya rasa empati dan sensitivitas. Maknanya, sebagai seorang outsider atas difabilitas pihak lain, kita mencoba untuk berlaku selayaknya seorang insider.
Keselarasan pemosisian insider dan outsider secara fleksibel akan mengantarkan kita pada simpul kesadaran untuk saling memberdayakan dan mendayagunakan. Tidak boleh ada figur pasif yang seolah berlaku sekadar objek, sementara muncul figur subjek dominan yang seakan paling berjasa.
Akhirnya, bila relasi inklusif mesti bermodalkan kesederajatan, masihkah kita akan bilang “I’m better than you!” []