Dalam sejarah panjang perjuangan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia, berbagai kisah menarik dan inspiratif selalu ditorehkan para pahlawan perempuan, agar menjadi teladan bagi para penerusnya kini. Kisah-kisah perjuangan yang begitu mengharukan selalu menjadi refleksi untuk memberikan sumbangsih berarti bagi kemajuan dan kejayaan bangsa Indonesia di masa depan.
Diantara sosok perempuan pejuang kemerdekaan Indonesia itu, tercatat nama Rohana Kudus yang memiliki tekad dan dedikasi tinggi dan jejak pena perjuangan perempuan yang dimulai dari daerah kelahirannya. Melalui medan juang literasi, ekonomi dan pendidikan, diharapkan menjadi lumbung pergerakan perempuan untuk mendedikasikan dirinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan, melawan diskriminasi terhadap perempuan serta sebagai sarana menyuarakan hak-hak perempuan di masa lampau.
Rohana hidup sezaman dengan RA. Kartini dengan sama-sama memiliki perjuangan di bidang pendidikan dan literasi. Rohana Kudus lahir di Kota Gadang, Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember tahuan 1884, dari pasangan Muhammad Rasyad Maharaja Sutan dan Kiam. Ayahnya seorang jurnalis dan ibunya sebagai perempuan biasa. Tahun 1908, ketika Rohana berumur 24 tahun menikah dengan Abdul Kudus Pamuncak Sutan.
Lahir sebagai orang Minangkabau dengan adat dan budaya yang tidak memperbolehkan perempuan untuk berpendidikan, karena pada saat itu perempuan hanya diwajibkan untuk mengurusi persoalan domestik dalam keluarga, sehingga menyebabkan para perempuan terkungkung dalam adat istiadat yang ada. Kondisi ini juga ditulis oleh Conkey dan Spector, dalam karyanya Archeologhy and the Study of Gender, perempuan sebelum abad ke-19 berada di bawah konstruksi patriarki yang dipraktikkan melalui tatanan politik, ekonomi dan pendidikan. Sehingga prioritas yang demikian, menyebabkan terjadinya penindasan dan subordinasi terhadap perempuan.
Rohana Kudus, menjadi salah satu pahlawan perempuan yang memiliki dedikasi tinggi terhadap perjuangan perempuan melalui pena, dan pendidikan di masa itu. Sebagai perempuan dengan kondisi sosial yang masih diskriminatif terhadap kesadaran pendidikan perempuan, ia tampil sebagai sosok yang memiliki minat besar terhadap kesadaran membaca dan menulis sejak kecil. Hal ini karena dipengaruhi oleh lingkungan keluarga yang mendukung terhadap perkembangan dirinya. Ia diasuh oleh Jaksa Alahan Panjang dan istrinya. Bersama ibu angkatnya, ia belajar menulis dan membaca.
Tahun 1892, ia meninggalkan Alahan Panjang untuk ikut ayahnya yang pindah ke Simpang Tonang Talu Pasaman. Namun, Kebiasaan membaca tetap bersemayam dalam dirinya serta menjadi pengajar bagi teman sebaya yang lain. Akhirnya, setelah pandai membaca, menulis dan mengaji bahkan Tafsir Al-Quran, pada tanggal 11 Februari 1911 berdirilah perkumpulan Kerajinan Amai Setia (KAS) sebagai tempat pendidikan perempuan Koto Gadang.
Wadah ini memberikan pengaruh penting terhadap perkembangan perempuan pada masa itu. Berbagai keterampilan diajari sebagai wujud nyata gerakan perempuan melawan ketertinggalan yang dialami. Perjuangannnya tidak hanya sampai pada pembelajaran baca tulisan, serta kerajinan semata. Akan tetapi, hasil dari kerajinan tersebut dijual untuk meningkatkan perekonomian perempuan. Biasanya bagi mereka yang tidak mampu membayar sekolah tersebut, pemasukan dari hasil penjualannya digunakan untuk membayar pendidikan yang diikuti di KAS.
Pada tahun 1911-1912 berdiri surat kabar yang bernama Soenting Melajoe, dipelopori oleh Rohana Kudus. Surat kabar tersebut terbit di kota Padang dengan percetakan milik Datun Sutan Maharaja. Dalam surat kabar tersebut tema yang diangkat adalah “sentra perempuan dan perjuangan Rohana Kudus”. Tulisan-tulisan Rohana Kudus sangat menentang penjajahan Belanda serta menjadi salah satu akses dirinya sebagai jalan perjuangan perempuan.
Kritikannya yang tajam terhadap Pemerintah Belanda dengan kemampuan yang dimiliki sejak dini. Hingga akhirnya ia dinobatkan sebaga “jurnalis perempuan pertama” serta mendapat anugerah pahlawan nasional pada tanggal 8 November 2019. Meskipun demikian, Rohana sudah pernah mendapatkan berbagai penghargaan, antara lain Bronzen Ster pada 1941, penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto 1987 serta penghargaan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2007.
Kiprah Rohana dalam bidang jurnalistik tidak hanya terbatas pada Soenting Melajoe. Ketika pindah ke Medan tahun 1920, ia berpartner dengan Satiman Parada Harahap untuk memimpin redaksi Perempuan bergerak. Sekembalinya ke Minangkabau pada 1924, Rohana diangkat menjadi direktur di suratkabar “Radio”, harian yang diterbitkan “Cinta Melayu” di Padang dan koran “ Cahaya Sumatera”.
Pada tahun 1916, Ruhana Kudus mendirikan Ruhana School sebagai salah satu basis pergerakan perempuan di bidang pendidikan. Murid Ruhana School adalah remaja yang menempuh pendidikan formal di pagi hari dan keterampilan perempuan di sore hari. Tidak sedikit ibu rumah tangga yang ikut andil di Ruhana School untuk mengasah keterampilannya di sore hari. Demikian kisah singkat tentang Rohana Kudus, semoga kita bisa mengikuti jejaknya berjuang melalui tulisan dan mampu menginspirasi banyak orang. []