Mubadalah.id – Ramadan selalu membawa suasana yang berbeda. Ada kehangatan dalam setiap ritual sahur, ada harapan dalam setiap salat tarawih, dan ada kerinduan dalam doa-doa yang terpanjat. Namun, bagi banyak perempuan, ada satu pertanyaan yang kerap kali muncul di benak, “Apakah aku punya kesempatan yang sama untuk menemukan Lailatul Qadar?”
Sejak kecil, kita sering kali mendengar bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Sebuah malam yang penuh dengan keberkahan, di mana langit menjadi lebih teduh, malaikat turun, dan takdir setahun ke depan ditentukan. Tapi, apakah mendapatkan malam itu hanya oleh mereka yang beri’tikaf di masjid, yang menghabiskan malamnya dengan tahajud tanpa gangguan dunia?
Bayangkan ada seorang ibu yang terjaga di tengah malam, bukan untuk i’tikaf di masjid, melainkan untuk menenangkan anaknya yang terbangun dari tidurnya. Di sela-sela dekapannya, si ibu berbisik pelan, “Ya Allah, terimalah kelelahan ini sebagai ibadah.”
Atau seorang perempuan yang tak bisa menunaikan salat karena siklus biologisnya, tetapi tetap melantunkan doa dalam hatinya, merapal istighfar dengan keyakinan penuh bahwa Allah Maha Mendengar setiap doa. Dalam hening, dalam tugas-tugas sederhana seorang perempuan, ada doa yang tak kalah dalam ketulusan.
Sejatinya, Lailatul Qadar tidak hanya sekedar peristiwa kosmis yang harus kita rayakan dengan ritual yang kaku. Malam ini merupakan malam perjumpaan antara hamba dengan Tuhan dalam bentuk yang paling personal. Malam yang hadir di setiap helaan nafas seorang perempuan yang menata niatnya, di setiap langkah yang diambil dengan ketulusan, di setiap kelelahan yang diikhlaskan demi orang-orang tercintanya.
Dalam hal ini, sebenarnya Lailatul Qadar tidak harus kita temukan di atas sajadah, tetapi bisa jadi tersembunyi dalam kelembutan hati seorang perempuan yang tak henti berharap.
Oleh karena itu, di sepuluh malam terakhir ini, mari kita renungkan: di mana kita menemukan kehadiran Tuhan? Bagi perempuan, jawabannya bisa jadi berbeda-beda. Bisa di atas sajadah, bisa di kamar bayi, bisa di dapur yang menyimpan harapan. Yang pasti, Lailatul Qadar tidak pernah eksklusif. Lailatul Qadar adalah milik semua yang mencarinya, dengan cara mereka masing-masing.
Lailatul Qadar: Melampaui Ritualitas
Jika kita melihat kembali pada inti dari Lailatul Qadar, maka kita akan menemukan bahwa malam ini bukan hanya tentang jumlah rakaat salat atau panjangnya doa yang dipanjatkan. Malam ini adalah tentang keterhubungan hamba dengan Allah, tentang refleksi diri, tentang merasakan kehadiran-Nya dalam setiap helaan nafas.
Allah dengan Maha Rahman dan Rahim-Nya tidak membatasi keistimewaan malam ini hanya untuk mereka yang menghabiskan malam ini dalam ibadah lahiriah saja. Sebaliknya, Lailatul Qadar adalah ruang spiritual yang terbuka bagi siapa saja, baik bagi ibu yang tengah meninabobokan anaknya sambil berdzikir, bagi perempuan yang tengah beristirahat karena kondisi tubuhnya, juga bagi siapa pun yang mencari Tuhan dalam keheningan malam.
Fenomena ini mengingatkan kita pada kisah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang menjadikan cintanya kepada Allah sebagai pusat kehidupan. Baginya, ibadah bukan hanya tentang ritual, tetapi tentang bagaimana hati tersambung dengan-Nya. Dalam konteks ini, pencarian Lailatul Qadar menjadi lebih luas, tidak hanya tentang tempat dan waktu, melainkan juga tentang kesadaran batin.
Perspektif Mubadalah: Kesalingan dalam Ibadah
Dalam metodologi fatwa KUPI, terdapat salah satu pendekatan yang relevan yang dapat digunakan dalam menganalisis fenomena ini, yakni pendekatan mubadalah. Pendekatan ini menekankan kesalingan dalam hubungan, termasuk dalam hubungan spiritual.
Kesalingan ini berarti bahwa pencapaian spiritual seorang hamba tidak hanya bergantung pada ruang yang diklaim oleh satu gender saja. Tetapi, laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama dalam mendekat kepada Allah, meskipun cara (epistemologi) mereka mungkin berbeda.
Banyak narasi klasik yang menggambarkan perempuan sebagai “pendukung” dalam ibadah, bukan sebagai subjek yang aktif. Perempuan yang mengurus rumah, menyediakan sahur, menidurkan anak, sering kali dianggap tidak sedang beribadah, padahal jika dikaji dengan menggunakan perspektif mubadalah, justru inilah bentuk ibadah itu sendiri.
Aisyah r.a., istri Nabi, memberikan contoh bagaimana perempuan memiliki peran aktif dalam ibadah. Asiyah r.a.. meriwayatkan banyak hadis tentang bagaimana Rasulullah SAW memperlakukan ibadah secara inklusif, termasuk bagi perempuan. Salah satu hadisnya yang penulis lansir dalam portal NU Online.
وَعَنْ عائشة رضي الله عنها: قالت: «قلت: يا رسولَ الله إِنْ وَافَقْتُ ليلةَ القَدْرِ ، ما أَدْعُو به؟ قال: قُولي: اللهم إنك عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُ الْعَفْوَ فاعْفُ عَنِّي» أخرجه الترمذي
Artinya, “Dari sayyidah Aisyah ra, ia bercerita, ia pernah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jika aku kedapatan menjumpai Lailatul Qadar, bagaimana doa yang harus kubaca?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Bacalah, ‘Allāhumma innaka afuwwun karīmun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annī,’” (HR At-Tirmidzi).
Makna Lain Spiritualitas Perempuan
Hadis ini menunjukkan bahwa pencarian Lailatul Qadar tidak terbatas pada laki-laki di masjid. Seorang perempuan, di ruang manapun mereka berada, tetap bisa meraih keberkahan malam tersebut dengan doa dan kesadaran spiritualnya.
Lebih dari itu, kesalingan dalam ibadah juga mencakup bagaimana kita memahami tugas-tugas domestik dalam perspektif ibadah. Islam tidak pernah memandang rendah pekerjaan rumah tangga atau peran pengasuhan anak.
Justru, dalam pendekatan mubadalah, tugas-tugas ini memiliki nilai spiritualitas perempuan yang setara dengan ibadah lainnya. Kesalingan dalam ibadah berarti setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki peran unik dalam membangun spiritualitas keluarga maupun komunitasnya.
Pada sepuluh malam terakhir Ramadan, pendekatan mubadalah mengajak kita untuk melihat ibadah secara lebih luas lagi. Bagi perempuan yang tidak dapat melaksanakan shalat karena haid, mereka tetap dapat mencari Lailatul Qadar melalui doa, dzikir, dan refleksi diri.
Bagi ibu yang sibuk mengurus anak, setiap dekapan dan kasih sayang yang diberikan adalah bentuk pengabdian kepada Allah. Dengan memahami prinsip mubadalah, kita dapat menjauh dari standar ibadah yang eksklusif dan menuju pemaknaan yang lebih adil dan menyeluruh.
Mencari Lailatul Qadar dengan Cara Perempuan: Ritual atau Makna?
Ada banyak cara yang bisa ditempuh perempuan untuk mencari Lailatul Qadar. Tidak semua harus berbentuk ibadah formal seperti salat malam atau i’tikaf di masjid. Tetapi, seorang perempuan yang mencurahkan waktu untuk keluarganya, yang membangun empati dengan sesama, yang merenungi dirinya sendiri, sejatinya juga sedang dalam pencarian spiritual.
Jika kita kembali ke makna dasar dari malam ini, maka kita akan menemukan bahwa sejatinya Lailatul Qadar adalah tentang transformasi. Lailatul Qadar adalah malam perubahan, malam di mana kita melakukan refleksi ontologis tentang siapa kita selama ini dan siapa yang ingin kita capai di hadapan Allah?
Jadi, apakah perempuan bisa mendapatkan Lailatul Qadar di sela-sela tugas domestiknya? Jawabannya: tentu saja! Karena Allah melihat hati, bukan hanya tempat ibadah kita.
Dari seluruh penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Lailatul Qadar adalah peristiwa spiritual yang tak mengenal batas ruang dan bentuk. Lailatul Qadar bukan hanya tentang doa yang lantang, tetapi juga tentang bisikan lembut seorang ibu di tengah malam. Bukan hanya tentang sujud di masjid, tetapi juga tentang langkah kecil menuju kebaikan. Malam ini adalah milik mereka yang mencari-Nya dengan hati yang penuh harap, di mana pun mereka berada.
Untuk para perempuan, jangan pernah merasa kurang dalam ibadah hanya karena keadaanmu berbeda. Allah Maha Melihat setiap lelahmu, mendengar setiap doamu, dan mencatat setiap niat baikmu. Lailatul Qadar bukan hanya milik mereka yang berdiri lama dalam salat dan berdiam diri lama dengan i’tikaf, tetapi juga milikmu, yang mencintai, merawat, dan memberi dengan tulus.
Jangan berhenti berharap, karena keberkahan-Nya tak berbatas bagi siapa pun yang mau mencari-Nya dengan hati yang ikhlas dan penuh harap. Semoga Allah senantiasa merahmati dan memberkahi hidup kita. Aamiin. []