Mubadalah.id – Realitas sosial ulama perempuan dipengaruhi oleh konteks geopolitik, budaya, dan proses asimilasi Islam dengan berbagai budaya lokal. Islam hadir di Indonesia diperkirakan pada abad ke-12 sebagai agama baru. Kehidupan keagamaannya terbuka bagi perempuan untuk beraktivitas di mana pun, termasuk di ruang publik.
Meskipun peran perempuan belum tercatat dalam sejatah Islam pada masa awal masuk ke Indonesia, pada abad ke-16 terdapat sejumlah perempuan yang memiliki peran cemerlang.
Jika mengacu pada dokumen sejarah perempuan Islam Indonesia dalam “Dokumen Resmi Proses dan Hasil KUPI I” yang dirangkum oleh Faqihuddin Abdul Kodir, tercatat kiprah sejumlah perempuan unggul.
Di antaranya Ratu Sinuhun (1642), istri Raja Kesultanan Palembang Darussalam yang memiliki karya monumental Kitab Simbur Cahaya. Kitab ini adalah undang-undang tertulis sebagai paduan hukum adat dengan hukum Islam yang melindungi perempuan.
Pada abad ke-17 dan ke-18, ada Sultariah Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Kesultanan Aceh Darussalam, pemimpin yang peduli terhadap nasib perempuan dan mengembangkan pasukan Inong Balee.
Ada pula Fatimah Al-Banjari, cucu pertama Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, cendekiawan penulis kitab Arab Melayu yang populer di Banjar dan Melayu. Karyanya menjadi rujukan umat dalam beragama dan beribadah sampai sekarang, yakni Perukunan Jamaluddin.
Kemudian, dari Sulawesi terdapat Siti Aisyah We Tenri Olle, Ratu Tanete di Sulawesi Selatan. Dari Kepulauan Riau, ada Raja Aisyah binti Raja Sulaiman (1870-1924), cucu Raja Ali Haji, Riau. Ia menjadi penulis sejak remaja dan menyikapi ketidakadilan terhadap perempuan.
Di abad ke-19 hingga masa pergerakan kemerdekaan Indonesia ada nama Nyai Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan, Rohana Koedoes, Hajah Rangkayo dan Rasuna Said. Bahkan Nyai Khoiriyah Hasyim dengan kiprahnya masing-masing.
Dalam dinamika realitas sosial dan kultural ini, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) hadir untuk menegaskan eksistensi ulama perempuan. Serta mengapresiasi peran dan kiprah mereka dalam mewujudkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. []