Mubadalah.id – Di dunia ini, banyak sekali orang baik. Saking baiknya, mereka kadang lupa dengan tindakan yang mereka lakukan. Izinkan saya menjelaskan. Banyak orang berbuat baik, tetapi ketika dipahami lebih dalam, tindakan mereka bisa berakibat fatal. Bagaimana bisa?
Misalnya, saat kita melihat seseorang yang kesulitan, kita langsung menawarkan bantuan. Ketika ada teman disabilitas yang mengalami kesulitan, kita segera menawarkan pertolongan. Itu kebaikan! Namun, tahukah Anda bahwa kebaikan seperti ini bisa menjadi racun yang membunuh eksistensi perlahan?
Mengenal Kebaikan dalam Perspektif Lebih Luas
Mari kita mulai dengan pertanyaan dasar: apa itu kebaikan? Secara umum, kita diajarkan bahwa kebaikan adalah tindakan yang membuat orang lain merasa lebih baik atau bahagia. Namun, apakah kebaikan selalu muncul dengan niat tulus? Atau, terkadang, ada agenda tersembunyi?
Saya sering mendengar orang menganggap diri mereka pahlawan karena membantu orang lain. Mereka bangga dengan setiap pertolongan yang diberikan. Namun, saya mulai berpikir: apa yang sebenarnya terjadi ketika seseorang terlalu berlebihan dalam menawarkan bantuan? Bukankah itu bukan kebaikan murni, tetapi bentuk kontrol? Sebuah pengekangan yang tersamarkan di balik senyuman dan kata-kata manis.
Kebaikan sejati adalah bahasa yang dapat didengar oleh tuli dan dilihat oleh buta, seperti yang diungkapkan Mahatma Gandhi diperkuat oleh Albert Schweitzer Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim menyatakan bahwa kebaikan adalah satu-satunya investasi yang tidak akan pernah merugikan, mengingatkan kita bahwa setiap tindakan baik membawa dampak positif.
Dengan mengingat semua ini, kita diajak untuk selalu memeriksa niat kita dalam berbuat baik pada teman disabilitas, agar tindakan kita membebaskan, bukan menjebak.
Berhati Malaikat tapi Mematikan
Seorang yang berhati malaikat, dalam konteks kepribadian, mungkin tidak langsung melakukan kekerasan fisik. Mereka bisa membunuh dengan cara yang lebih halus, seperti memberikan “kebaikan” yang membuat korban merasa terjebak dalam ketergantungan.
Misalnya, “Biar aku bantu, supaya kamu tidak repot.” Kalimat-kalimat yang terdengar menenangkan, tetapi secara tidak sadar menciptakan perasaan inferior pada yang dibantu. Korban merasa tidak mampu menjalani hidup tanpa bantuan terus-menerus.
Ini adalah pembunuhan perlahan. Tanpa darah yang tumpah, tetapi bagian dari diri yang mati sedikit demi sedikit. Rasa percaya diri dan kemandirian hilang seiring waktu. Bukankah itu pembunuhan yang lebih halus daripada yang kita bayangkan?
Kebaikan yang Mengkhawatirkan
Yang lebih mengkhawatirkan, kebaikan ini sering disertai harapan pribadi—keinginan untuk mendapatkan pahala atau kebanggaan. “Semoga aku dapat surga,” pikir mereka sambil tersenyum puas. Mereka berusaha menunjukkan bahwa mereka peduli, tetapi pada saat yang sama, mereka mengharapkan pengakuan.
Ini bukan hanya tentang niat tulus; ini tentang merasa lebih baik setelah membantu, bahkan jika itu berarti merampas hak orang lain untuk mandiri. Ketika mereka memberikan bantuan, mereka merasa bangga dan merasakan kepuasan yang mendalam, seolah-olah mereka telah melakukan tindakan yang sangat mulia.
Namun, kita perlu merenungkan lebih dalam tentang arti dari tindakan baik tersebut. Apakah kita benar-benar membantu teman disabilitas, ataukah kita hanya memenuhi kebutuhan emosional kita sendiri? Seringkali, kita melihat orang-orang yang berdonasi dengan harapan mendapatkan pujian atau pengakuan dari masyarakat.
Mereka berfoto dengan penerima bantuan, membagikannya di media sosial, dan berharap mendapatkan “likes” yang banyak. Tindakan ini, meski tampaknya baik, bisa sangat merugikan bagi penerima. Ketika bantuan diberikan dengan maksud untuk menunjukkan kebaikan, itu bisa menjadi bentuk eksploitasi yang menyakitkan.
Sebuah Perenungan
Mari kita berhati-hati dalam berbuat baik. Jangan terjebak dalam ilusi bahwa setiap bantuan adalah tindakan mulia. Kita perlu menganalisis motivasi di balik tindakan kita. Apakah kita benar-benar ingin membantu, ataukah kita hanya ingin merasakan kepuasan pribadi?
Seringkali, apa yang kita anggap kebaikan bisa jadi adalah pembunuhan perlahan yang tidak kita sadari. Ketika kita merasa lebih baik karena membantu, kita justru menjauh dari realitas. Kita tidak menyadari bahwa dengan memberikan bantuan tanpa mempertimbangkan dampaknya, kita mungkin memperkuat ketergantungan penerima.
Kita harus bertanya pada diri sendiri: “Apakah tindakan ini benar-benar membantu orang lain, ataukah hanya memuaskan ego kita sendiri?” Kebaikan yang tulus seharusnya tidak mengharapkan imbalan.
Kebaikan sejati membebaskan, bukan menjebak. Ketika kita memberikan sesuatu dengan niat yang bersih, kita seharusnya tidak menginginkan pujian atau penghargaan. Kita seharusnya berusaha untuk membuat perbedaan nyata dalam hidup orang lain, bukan hanya dalam hidup kita sendiri.
Kita juga harus memahami bahwa kebaikan yang kita lakukan dengan motivasi yang salah dapat berdampak negatif. Misalnya, ketika kita membantu seseorang mendapatkan pekerjaan, tetapi hanya untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa kita peduli.
Jika orang tersebut kemudian merasa tertekan karena harus memenuhi ekspektasi kita, maka bantuan kita justru menjadi beban. Oleh karena itu, kita perlu melakukan refleksi mendalam tentang bagaimana tindakan kita dapat memengaruhi orang lain.
Kebaikan Sejati
Dalam dunia yang semakin egois ini, kita perlu mengingat bahwa kebaikan yang tulus adalah tindakan yang tidak mengharapkan imbalan. Kita harus belajar untuk memberikan tanpa menghitung-hitung, memberikan tanpa minta kembali.
Kebaikan sejati adalah ketika kita bisa membantu orang lain dengan tulus, tanpa memikirkan bagaimana kita akan terlihat di mata orang lain. Mari kita berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik, yang melakukan kebaikan bukan untuk mendapatkan pujian, tetapi untuk menciptakan dampak positif dalam hidup orang lain.
Dengan demikian, kita perlu mendorong diri kita sendiri untuk lebih jujur dalam tindakan kita. Apakah kita benar-benar peduli pada teman disabilitas, ataukah kita hanya ingin merasa baik tentang diri kita sendiri?
Mari kita berkomitmen untuk melakukan kebaikan yang tulus, yang membebaskan, dan yang berfokus pada kesejahteraan orang lain. Dengan cara ini, kita tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup kita sendiri dengan cara yang lebih mendalam dan berarti. []