Beberapa waktu lalu, setelah video dokumenter DW tentang pemakaian jilbab pada anak menyeruak dalam diskusi sosial media, perdebatan lama mengenai tafsir hijab marak kembali di lini masa. Meski termasuk topik klasik, namun dapat disimpulkan bahwa dari masa ke masa kita bisa melihat betapa setiap konflik, baik yang sifatnya dialektis-paradikmatis, sampai konflik yang melibatkan kekerasan di dalamnya, selalu mencari pembenarannya masing-masing dari dua korpus utama ini, terutama dari sumber yang paling tinggi, yaitu Al-Qur’ān.
Dinamisme dialektika umat muslim dengan Al-Qur’ān sebagai teks sumber dari masa ke masa, merupakan bukti nyata bahwa umat muslim masih menaruh minat yang kuat terhadap sumber utama pengetahuan Islam ini, dan tentu itu merupakan hal positif. Namun demikian, dari sudut yang berbeda, di waktu yang sama, dinamisme ini secara faktual telah melahirkan segudang problematika yang mengantarkan umat muslim ke dalam situasi dimana konflik paradigmatis tumbuh dengan subur dan nyaris tak terbendung.
Bahkan, kebanyakan konflik horisontal pun berawal dari perbedaan umat muslim dalam berinteraksi dengan kalām Tuhan ini. Perang ṣiffin, terorisme, sampai rasisme antar kelompok yang terjadi di sekitar kita, pada dasarnya berakar dari perbedaan kita dalam beinteraksi dengan Al-Qur’an, yang disertai dengan fanatisme berlebihan.
Dalam diskursus pengetahuan Islam sendiri, perbedaan cara berinteraksi umat muslim dengan teks sumber juga telah melahirkan banyak sekali kepentingan. Liberalisme, konservatisme, sampai isu feminisme merupakan ‘buah’ dari dinamika yang sekarang berkembang. Tulisan ini tidak bermaksud mengurai satu per satu ideologi tadi, tetapi lebih kepada melihat secara global peta pergolakan dialektis antara umat muslim dengan teks sumbernya. Untuk kepentingan itu, melihat peta pergolakan ini akan sangat perlu melibatkan diskursus tentang dinamika penafsiran Al-Qur’ān sebagai wadah utama dimana firman Tuhan ini diurai dan digali maknanya.
Secara garis besar, jika kita meneliti kajian tafsir, kita akan banyak menemukan tipologi tafsir yang beragam. Tipologi tafsir ini biasanya dikategorikan berdasarkan masanya, yang kemudian melahirkan tafsir klasik, pertengahan, modern, dan kontemporer. Dikategorikan dari latar keilmuan mufassir-nya, kemudian melahirkan tafsir-tafsir sufi, fiqh, dan berbagai keilmuan lainnya, dikategorikan dari ideologinya, yang kemudian melahirkan tafsir sunni, sḥi’ah, mu’tazilah dan sebagainya, juga dikategorikan dari kepentingan mufassir-nya, yang kemudian melahirkan tafsir-tafsir tematik seperti tafsir gender.
Tetapi pada dasarnya tipologi tafsir dapat kita lihat dari dua kerangka besar utamanya; yaitu tafsir tahlīlī dan tafsir mawḍū’i. tafsir tahlīlī adalah tipologi tafsir yang paling umum kita jumpai baik di pesantren maupun di perguruan-perguruan tinggi ilmu Al-Qur’ān. Tafsir ini didasarkan pada asumsi bahwa ‘pesan Tuhan’ itu sudah ada di dalam teks Al-Qur’an itu sendiri.
Asumsi ini kemudian membuat sang mufassir berada dalam keadaan yang pasif karena tugasnya hanya mencari ‘pesan Tuhan’ yang memang sudah ada dalam teks itu sendiri. Maka dari itu mufassir hanya mencari, menerima, kemudian mengamalkan dari Al-Qur’an itu saja, tidak ada mempertanyakan, tidak berdialog, dan tidak pula mengkritisi. Model tafsir seperti ini, bagi sebagian kalangan, dianggap tidak mampu mengikuti pergerakan zaman yang selalu bergerak dinamis, karena tafsir seperti ini hanya menggunakan kaidah-kaidah linguistik dan melupakan konteks non-linguistik dari ‘pesan Tuhan’ itu.
Karena tafsir tahlīlī tersebut dianggap melupakan konteks non-linguistik, sedangkan konteks itu berjalan begitu cepat, maka kemudian muncul gerakan, pemikir muslim, atau mufassir yang mencoba untuk mencari paradigma baru yang dianggap bisa menjawab tantangan zaman yang sedang dihadapi oleh mufassir atau masyarat dimana ia hidup.
Jadi dia memiliki problem, baik akademik, ideologis, maupun sosial, yang dia ingin cari jawabannya di dalam Al-Qur’ān. Maka muncullah tipologi tafsir kedua yaitu tafsiri mawḍū’i. oleh karena sang mufassir memulai dari realitas ke teks, maka keadaan mufassir itu berada dalam keadaan yang aktif. Asumsi dasarnya adalah bahwa ‘pesan Tuhan’ itu tidak bersemayam secara statis dalam Al-Qur’ān, tetapi terletak pada dialog antara Al-Qu’ān dengan kondisi mufassir itu tadi. Karenanya wacana yang dihasilkan dari tipologi tafsir ini sangat beragam dan dinamis. Bahkan hampir seluruh mufassir melahirkan wacana yang berbeda antara satu dengan yang lain, sesuai dengan problem yang dihadapinya.
Gerakan atau tipologi yang terakhir disebutkan di atas memang sangat massif adanya. Tetapi jika kita jeli meilhatnya, satu sisi memang tafsir mawḍū’i ini membawa pembaharuan terhadap penafsiran Al-Qur’ān, tetapi di sisi lain terkadang terjebak pada dekontekstualisasi. Awalnya para penganut tafsir mawḍū’i ini ingin melakukan kontekstualisasi Al-Qur’ān ke dalam konteks kekinian, tetapi seringkali tanpa sadar mereka terjebak pada dekontekstualisasi, yaitu mereka cenderung melupakan konteks awal Al-Qur’ān itu turun.
Sehingga jika kita baca beberapa karya tafsir dari gerakan seperti gerakan-gerakan islam fundamentalis, liberal, atau ideologis seperti aktifis gender, yang kita baca bukan merupakan ‘pesan Tuhan’ di dalam Al-Qur’ān, melainkan ‘pesan ideologis’ sang mufassir itu sendiri. Jadi jika sang mufassir merupakan aktifis gender yang membela kaum perempuan misalnya, maka Al-Qur’an akan ditarik ke dalam konteks tersebut.
Dua tipologi dan gerakan tafsir seperti diatas merupakan manifestasi dari kecenderungan umat muslim, dari masa ke masa, untuk mencari justifikasi serta validasi dari sumber yang paling otoritatif dalam agama Islam yaitu Al-Qur’ān. Tentu ini merupakan sebuah keniscayaan, mengingat bahwa tidak ada kebenaran mutlak yang sifatnya universal seperti Al-Qur’an dalam Islam, semua interpretasi terhadap teks sumber ini berada pada posisi yang relatif dan subjektif.
Maka menjadi sangat penting bagi kita setelah mengetahui peta global kontestasi pencarian validasi ini, untuk saling menghargai pendapat tiap otoritas dengan catatan kesemuanya mencerminkan nilai kesalingan/mubadalah yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Karena, meminjam judul buku terbaru Habib Ali Jufri, kita perlu mendahulukan “Kemanusiaan Sebelum Keberagaman.” []