Mengutip penjelasan arti vandal sendiri dari wikipedia, Istilah ini merujuk kepada suatu sikap kebiasaan yang berasal dari nama bangsa Vandal, pada zaman Romawi Kuno, yang merusak kota Roma secara biadab pada tahun 455 atau pada masa Abad Pencerahan. Ketika itu, Roma diidolakan, sementara bangsa Goth dan Vandal dipersalahkan karena menghancurkan kota kuno yang indah tersebut.
Sebenarnya bangsa Vandal tidaklah merusak lebih banyak dibandingkan para penyerbu kota itu di masa lalu, tetapi nama bangsa itu mengilhami penyair Britania Raya, John Dryden, pada 1694 menulis bahwa bangsa Goth dan Vandal adalah bangsa Utara yang kasar, merusak banyak sekali monumen. Memang bangsa Vandal sengaja merusak banyak patung, sehingga namanya dikaitkan dengan perusakan benda seni.
Istilah Vandalisme sendiri diutarakan pertama kali pada tahun 1794 oleh Henri Grégoire, Uskup Blois, untuk menyebut perusakan karya seni pada waktu Revolusi Perancis. Istilah itu segera dipakai di seluruh Eropa. Penggunaan baru ini berperan dalam memberi kesan pada zaman modern bahwa bangsa Vandal pada zaman kuno merupakan bangsa barbar atau tidak beradab yang suka merusak.
Budaya yang dikaitkan antara lain: perusakan dan penistaan terhadap segala sesuatu yang bermutu indah atau terhormat. Tindakan yang termasuk di dalam vandalisme lainnya adalah tindak kriminal perusakan, pencacatan, grafiti yang liar, dan hal-hal lainnya yang bersifat mengganggu peradaban.
Biasanya aksi vandalisme dilakukan oleh sekelompok remaja atau gank di sekitar tempat kejadian. Tetapi ada juga aksi vandal yang dilakukan oleh pria dewasa yang memotong kepala patung di salah satu kota di Eropa. Diketahui kemudian jika pria tersebut adalah seorang muslim berfaham salafy-wahaby.
Kemarin, tepatnya pada 29 September 2020, kembali lagi terjadi aksi vandal yang muncul pemberitaannya di media sosial. Bentuk Vandal yang dilakukannya adalah pengerusakan Al Qur’an dan merusak dinding masjid dengan tulisan “Anti Khilafah, Anti Islam”.
Kejadian vandalisme berotif agama ini pernah terjadi sebelum dan saat pilpres kemarin. Dan terakhir kali, pelaku vandal dilakukan seorang pemuda yang masih berusia 18 tahun. Hal ini menjadi salah satu bukti jika pemahaman sesat tentang bentuk negara khilafah sudah masuk di kalangan anak muda, bahkan diantaranya sudah banyak yang teracuni ideologi tersebut, yang mengisyaratkan bahwa negara khilafah adalah sebuah keharusan.
Ini merupakan masalah yang serius. Perlu dukungan dari berbagai pihak untuk melakukan pendampingan. Yaitu berupa pendampingan pemahaman, ritual ibadah, sosio kultural, pemberdayaan ekonomi, dan penguatan perspektif tentang toleransi dan keberagaman terhadap para anak muda di lingkungan masing-masing.
Kejadian vandalisme ini jika kita perhatikan, selalu terjadi saat momentum isu PKI bangkit mencuat kembali ke permukaan setiap sebelum tanggal 30 September. Sebelumnya pun terjadi pembubaran acara orasi Gatot Nurmantyo di Surabaya. Gatot yang dipecat dari jabatan Panglima TNI ini, membenarkan bahwa PKI sudah bangkit lagi. Ada diksi bahwa isu khilafah terus digencarkan saat isu PKI bangkit, dan digoreng terus oleh Para Perusuh Negeri. Dan semakin nyata ada hubungan erat antara kedua isu tersebut. Saling mengisi dan saling menguatkan.
Lalu, kekuatan apa yang mendorong seorang pemuda mau melakukan aksi vandalisme merusak Al Qur’an dan menulis di dinding Musholla dengan tulisan “Anti Khilafah, Anti Islam“? Sebab, jika tidak ada kekuatan pikiran di luar keinginanya, tidak mungkin seorang pemuda mau melakukan aksi tak pantas itu.
Kekuatan di luar pikiran yang memaksa seorang pemuda melakukan aksi vandal, sudah pasti didapat dari lingkungannya. Termasuk dari teman bergaul pemuda tersebut, baik di media sosial maupun di dunia nyata. Dan peran medsos di sini sangat penting, sebagai sarana penyebaran ujaran kebencian. Ada yang harus diketahui, ternyata para ekstrimis terus gencar mengajak orang untuk melakukan aksi kekerasan melalui media sosial ini.
Juga dapat disimpulkan, bahwa seakan-akan gerakan isu PKI bangkit ini dapat menguntungkan misi khilafah. Jika benar, maka wajib bagi kita menangkal isu keduanya. Jika kita telusuri kembali jejak pergerakan PKI saat ini sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah berita-berita bohong yang dihembuskan elit politik dengan bukti-bukti yang bahkan tidak ada sama sekali.
Waspadailah orang-orang di sekitaran kita agar tidak mudah terpancing isu yang tidak benar tentang bangkitnya PKI dan mimpi Khilafah. Keduanya adalah isu untuk membuat rusuh bangsa Indonesia. Mengadu-domba sesama bangsa Indonesia.
Lalu apa bedanya dengan tuduhan Kafir atau Munafik kepada sesama muslim? Sama saja. Sama-sama membuat dua orang menjadi bertikai dan berperang. Dari dua orang menjadi lima, dari lima orang menjadi sepuluh, terus bertambah hingga jutaan orang menjadi korban. Satu peradaban dunia pun runtuh tidak menyisakan apa-apa.
Itulah jadinya jika agama digunakan untuk kepentingan politik kekuasaan. Padahal mereka sering menggaungkan slogan agar beragamalah Islam secara kaffah. Namun nyatanya, setetes usaha untuk berdamai dengan diri sendiri pun tidak mereka lakukan; Mencemooh, memfitnah, menyebarkan hoaks selalu gencar dilakukan. Satu tumbang, tumbuh yang lain, dan selalu begitu. Lalu sampai kapan mereka berhenti membuat kekacauan?
Jika pembaca pernah tahu ada bulletin Kaffah, ternyata dibelakangnya adalah orang-orang yang membenci system pemerintahan Indonesia. Segala isinya tentang Islam pun, disisipinya kepentingan politik menyalahkan pemerintahan yang sah dengan dengan opini yanng salah. Sebaliknya, malah mendukung berdirinya khilafah.
Sebenarnya, perdebatan panjang sudah selesai tentang misi khilafah yang diperjuangkan oleh HTI, usahanya salah dan tidak dibenarkan. Baik secara Hukum Agama Islam sendiri maupun secara legal formal negara. Sehingga HTI pun dibubarkan oleh pemerintah pada 19 Juli 2017, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017, tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014, tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI. Sedangkan ideologi dan orang-orangnya masih eksis serta bergaul di tengah-tengah masyarakat.
Fitnah menginjeksi semangat vandal ke satu orang, setelah diobati dan didampingi, kemudian sadar. Setelah sadar, ada yang lain tumbuh hasil dari fitnah yang sama. Maka begitu besar dosa fitnah dan menjadi bertambah seiring dengan sebaran fitnah yang semakin tersebar meluas. Na’udzu billahi mindzalik. Semoga kita semua terhindar dari fitnah dan tidak menyebarkan fitnah. Mari kita gaungkan lagi sholawat Asyghil selain rutin membaca sholawat Tibbil Qulub. []