Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, saya menulis sebuah artikel tentang salah satu pesantren disabilitas di Sleman. Namun, beberapa hari setelah tulisan itu terbit, saya mendapatkan kabar bahwa pesantren disabilitas tersebut terindikasi melakukan kekerasan seksual terhadap santrinya. Redaksi pun memutuskan untuk menurunkan artikel tersebut, dan saya sepenuhnya memahami serta mendukung keputusan itu.
Tulisan itu murni datang dari rasa kekaguman setelah menonton podcast yang menampilkan kisah pendirian pesantren untuk penyandang disabilitas rungu. Saya menuliskannya dengan niat ingin mengangkat praktik baik, memberi sorotan terhadap kelompok yang selama ini kerap sunyi dari perhatian.
Sebagai penulis, saya sempat terdiam. Ada rasa bersalah, marah, bingung, dan tentu saja, kecewa. Apakah saya terlalu cepat mengapresiasi? Apakah tulisan saya telah secara tidak langsung menjadi bagian dari glorifikasi yang membutakan? Saya mengulang-ulang pertanyaan itu dalam hati.
Tapi pada titik tertentu, saya tahu: ini bukan tentang saya. Ini tentang korban. Ini tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat, menyikapi kekerasan seksual yang terjadi bahkan di ruang-ruang yang tampak paling “suci” dan “mulia”.
Kekerasan Seksual Tidak Pernah Memilih Tempat
Banyak dari kita sering mengira bahwa kekerasan seksual hanya terjadi di tempat gelap, di ruang sepi, atau pada mereka yang berpakaian minim. Padahal, hal tersebut dapat terjadi di ruang publik, di institusi pendidikan, bahkan di pesantren yang tampak paling religius sekalipun.
Faktanya, kekerasan seksual sangat erat kaitannya dengan relasi kuasa. Pelaku biasanya memiliki posisi lebih tinggi, lebih kuat secara fisik, atau lebih dihormati secara sosial. Dalam konteks pesantren, hubungan antara guru dan santri adalah relasi kuasa yang bisa dengan mudah disalahgunakan jika tidak diawasi dan dikontrol dengan sistem yang berpihak pada korban.
Dalam kerangka sosiologis, Pierre Bourdieu menyebut bentuk kekerasan seperti ini sebagai kekerasan simbolik, yakni kekerasan yang bersifat halus, laten, dan tak disadari oleh pelaku maupun korban. Kekerasan simbolik bekerja melalui legitimasi budaya, norma, dan otoritas, sehingga seolah-olah tampak “alami” dan tak bisa digugat. Ia bisa terjadi dalam keluarga (seperti antara orang tua dan anak), dalam lembaga pendidikan, dan tentu saja, dalam institusi keagamaan.
Apresiasi yang Kritis
Apakah artinya kita tak boleh mengapresiasi kebaikan? Tentu boleh. Tapi kita juga harus siap untuk merevisi pandangan jika kemudian kita menemukan fakta yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Apresiasi tidak boleh buta. Kita bisa mengakui adanya inisiatif baik—seperti dakwah untuk penyandang disabilitas—namun tetap menuntut integritas, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap hak-hak santri.
Dalam Islam, akhlak bukan hanya tentang apa yang terlihat dari luar. Sebagaimana diingatkan oleh Imam Al-Ghazali, ilmu tanpa adab adalah racun. Dan adab bukan sekadar sopan santun, tetapi menyangkut bagaimana kita menggunakan ilmu dan kuasa dengan bertanggung jawab.
Dalam semangat berpikir kritis, Karl Popper menyatakan bahwa semua teori hanyalah upaya mendekati kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Tidak ada teori yang absolut, semuanya terbuka untuk kita lakukan pengujian, revisi, bahkan kita ganti dengan pemahaman yang lebih baik.
Prinsip ini bisa kita terapkan pula dalam memberi apresiasi terhadap lembaga atau inisiatif keagamaan. Menghargai langkah-langkah baik bukan berarti menutup mata terhadap kekeliruan. Justru apresiasi yang sehat menuntut keterbukaan terhadap kritik dan evaluasi.
Sebab, sebagaimana teori dalam sains, praktik keagamaan pun harus selalu teruji dengan nilai-nilai kemanusiaan, akhlak, dan keberpihakan pada yang rentan. Termasuk dalam konteks kekerasan seksual.
Pentingnya Keberpihakan kepada Korban
Sebagaimana yang sering ulama KUPI sampaikan, keberpihakan kepada korban adalah bagian dari akhlak Islam. Apalagi jika korbannya adalah santri difabel yang secara struktural lebih rentan. Dalam kerangka mubadalah, kita harus “memaksa” diri untuk mendengarkan suara korban, memberi dukungan, dan mendorong pemulihan yang adil serta berpihak pada korban.
Sebab, korban kekerasan seksual bukan sekadar angka. Mereka adalah manusia dengan trauma, luka, dan hak untuk dipulihkan. Karena itu, jika terjadi kasus kekerasan seksual, apalagi berulang dan belum tuntas, maka perlu ada evaluasi serius, audit internal, dan transparansi.
Namun, penting untuk membedakan antara individu pelaku dan keberadaan pesantren inklusif itu sendiri. Yang perlu kita sama-sama tegakkan adalah keadilan bagi korban dan penindakan bagi pelaku. Pesantren hanya layak kita dukung jika mau berbenah, bukan justru menutup-nutupi.
Dan bagi saya pribadi, keberpihakan sejatinya bukan tertuju kepada sosok, lembaga, atau figur tertentu, melainkan kepada nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi fondasi dari keadilan. Kita bisa saja mengagumi seseorang karena kiprahnya, tapi saat ia mencederai nilai-nilai yang wakili, maka keberpihakan sejati adalah tetap berdiri di sisi korban.
Semoga kita tidak menjadi umat yang tuli terhadap jeritan korban, apalagi ketika jeritan itu terdengar dari tempat yang selama ini kita anggap penuh kesalehan. Iya, pada intinya tak ada tempat yang terlalu suci untuk dikritisi. []