Mubadalah.id – Konstitusi Republik Indonesia dengan tegas menjamin hak setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Namun, dalam praktiknya, jaminan ini kerap kali disalah gunakan oleh kepentingan politik, tekanan dari kelompok mayoritas, dan fanatisme sempit atas nama agama. Salah satu kelompok yang menjadi korban diskriminasi berulang adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Kasus terbaru (11/06/2025) terjadi di Kota Banjar, Jawa Barat. Sebuah Masjid milik JAI disegel oleh pemerintah setempat. Spanduk besar bertuliskan larangan aktivitas ditempelkan di depan rumah ibadah itu.
Pemerintah Kota Banjar beralasan guna menegakkan Peraturan Wali Kota Banjar Nomor 10 Tahun 2011 dan Keputusan Wali Kota Nomor 45/KPTS.155-Huk/2011 yang membekukan kegiatan JAI di wilayah tersebut. Mereka berdalih tindakan ini dilakukan demi menjaga “stabilitas sosial”.
Namun, bagaimana mungkin stabilitas bisa terwujud dengan cara menutup ruang ibadah kelompok tertentu? Bukankah sebaliknya, ketidakadilan dan diskriminasi justru menjadi sumber konflik yang paling nyata?
Minoritas Kerap Jadi Korban
Dalam sistem demokrasi yang sehat, negara semestinya hadir sebagai pelindung bagi semua warga negara. Termasuk tanpa memandang suku, agama, atau kepercayaannya. Tetapi dalam banyak kasus menyangkut Jemaat Ahmadiyah, negara justru melalui kebijakan menjadi bagian dari pelaku diskriminasi.
Jemaat Ahmadiyah bukan hanya menghadapi tekanan dari sebagian masyarakat yang intoleran, tetapi juga dari institusi negara sendiri. Mereka pernah dilarang mengadakan pertemuan keagamaan, kesulitan mencatatkan pernikahan, ditolak saat mengurus KTP, hingga dicap sesat secara resmi. Bahkan negara yang seharusnya melindungi malah ikut menstigma dan mendiskriminasi mereka.
Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (1) dan (2) dengan jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah menurut agamanya.
Bahkan Pasal 29 UUD 1945 ayat (2) menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing. Apakah jaminan konstitusi ini hanya berlaku bagi kelompok agama mayoritas saja?
Bahaya Fanatisme Agama
Masalah kebebasan beragama di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari fanatisme yang berkembang dalam sebagian masyarakat.
Fanatisme yang sempit ini lahir dari keyakinan bahwa hanya satu tafsir agama yang benar, dan yang lainnya pasti salah, sesat, bahkan harus disingkirkan. Dari keyakinan ini, kemudian lahir stigmatisasi, pengucilan, bahkan kekerasan terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah.
Fanatisme seperti ini tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga mencederai nilai-nilai dasar semua agama, termasuk Islam.
Padahal Islam sendiri mengajarkan rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin), bukan alat pembenar kekerasan dan kebencian. Maka dari itu, stigmatisasi terhadap JAI sebagai kelompok menyimpang, sangatlah bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dari ajaran Islam.
Bersikap Tawasuth
Dalam khazanah Islam, ada konsep tawasuth yaitu bersikap moderat, adil, dan tidak ekstrem dalam memandang perbedaan.
Sikap ini sangat relevan untuk masyarakat multikultural seperti Indonesia. Tawasuth menolak ekstremisme di dua sisi baik yang kaku dan fanatik, maupun yang liberal. Ia berdiri di tengah, menawarkan jalan damai, saling menghargai, dan toleransi.
Bagi saya, sikap inilah yang harus dikembangkan, baik oleh masyarakat maupun oleh para pengambil kebijakan.
Terlebih, jika negara benar-benar ingin menjaga semua perbedaan termasuk bagi Jemaat Ahmadiyah. Maka ia harus menjadi pelopor dalam membumikan nilai-nilai tawasuth (moderat), bukan justru memperkuat kebijakan yang diskriminatif. Apalagi hingga melabeli Jemaat Ahmadiyah sebagai kelompok sesat.
Ujian bagi Demokrasi Kita
Dengan adanya kasus penyegelan masjid Ahmadiyah di Banjar. Maka hal ini menjadi gambaran bahwa retaknya wajah demokrasi kita. Ini bukan sekadar soal satu masjid atau satu kelompok, melainkan soal prinsip dasar apakah negara ini benar-benar menjamin hak warganya untuk beragama dengan bebas?
Jika kita terus membiarkan diskriminasi Jemaat Ahmadiyah atas nama stabilitas sosial, jika kita terus menutup mata atas penderitaan kelompok minoritas. Maka kita telah gagal memahami arti dari Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.
Kebebasan beragama adalah hak, bukan hadiah. Ia tidak boleh tergantung pada tafsir mayoritas atau tekanan sosial. Negara harus berdiri tegas membela semua warga negaranya, termasuk kelompok Jemaat Ahmadiyah. Jika tidak, maka demokrasi hanya akan menjadi topeng, dan intoleransi akan terus tumbuh di balik wajah hukum yang pura-pura netral. []