Mubadalah.id – Dalam teks-teks agama, perceraian jelas disebut sebagai perbuatan yang dibenci Allah. Sebagai bentuk kezaliman, seharusnya norma-norma yang lahir dari ajaran Islam justru mengarahkan agar perceraian diupayakan semaksimal mungkin untuk tidak terjadi. Atau setidaknya tidak menimbulkan ketidakadilan bagi siapa pun terutama perempuan yang lebih rentan mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk.
Jika menengok teladan Nabi Muhammad SAW, kita menemukan banyak contoh yang memperlihatkan bagaimana beliau memberikan ruang bagi perempuan untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Termasuk soal rumah tangga.
Ini seharusnya menjadi dasar bahwa dalam hubungan suami-istri, laki-laki tidak patut menjadi satu-satunya penentu awal dan akhir nasib rumah tangga. Sayangnya, fikih klasik justru mewariskan norma-norma perceraian yang sangat longgar di tangan laki-laki, sementara bagi perempuan jalannya sangat sempit.
Masalahnya tidak berhenti pada soal talak. Banyak pandangan ulama fikih tentang kewajiban-kewajiban perempuan yang ternyata sangat terpengaruh oleh budaya patriarkal pada masa itu. Tengok saja pendapat Imam al-Ghazali dalam karya-karyanya. Ia menulis:
“Perempuan sebaiknya tinggal diam di rumah, tidak sering naik-turun tangga, jarang melongok jendela, dan sedikit berbicara dengan tetangga.”
“Kalau pun harus keluar rumah atas izin suami, ia harus berpakaian lusuh, memilih jalan-jalan sempit yang sepi, menghindari pasar, tidak bersuara keras agar tak didengar orang lain, apalagi dikenal oleh teman suaminya. Semua ini demi menjaga kehormatan suami. Lebih jauh lagi, perempuan harus mendahulukan kepentingan suami ketimbang dirinya atau keluarganya sendiri. Bahkan selalu siap digauli kapan saja suami mau.”
Pandangan seperti ini, yang kemudian menjadi pijakan hukum fikih tentang relasi rumah tangga, tidak lahir dari wahyu yang menekankan keadilan dan kasih sayang. Melainkan lebih banyak terpengaruhi konstruksi budaya zaman itu.
Karena itu, tidak berlebihan jika kita terus mengkritisi warisan fikih yang menempatkan perempuan pada posisi rentan.
Sebab Islam, pada hakikatnya, merujuk pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, datang untuk memuliakan dan melindungi semua manusia bukan hanya laki-laki. []