Mubadalah.id – Tanggal 28 Juni 2025, saya bersama sejumlah teman dari Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) berkesempatan mengikuti kegiatan Sekolah Agama dan Kepercayaan (SAK) Ke-2 yang diselenggarakan oleh Yayasan Fahmina dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Cirebon.
Di hari pertama, kami mengunjungi Pura Agung Jati Pramana, satu-satunya Pura umat Hindu di wilayah Cirebon. Terletak di jalan Bali, Kelurahan Larangan, Kecamatan Harjamukti. Pura ini dikenal dengan julukan “Bali-nya Cirebon” karena kuatnya nuansa arsitektur dan budaya Bali yang melekat di dalamnya.
Kegiatan dimulai dengan sambutan dari Direktur Fahmina Institute, Bapak Marzuki Rais. Ia menjelaskan bahwa tujuan utama dari SAK adalah membuka ruang pemahaman lintas iman, dari sejarah hingga praktik keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, SAK menjadi wadah penting untuk menumbuhkan sikap toleran, moderat, dan menghargai keberagaman di kalangan generasi muda.
Mengenal Ajaran Hindu
Dalam sesi diskusi, kami diajak mengenal lebih dalam ajaran agama Hindu. Mulai dari pemahaman mengenai kitab suci, prinsip Yadnya (ritual), konsep karma, hingga reinkarnasi.
Dari diskusi ini, saya menangkap bahwa Hindu bukan hanya kaya akan tradisi dan filosofi. Tetapi juga mengajarkan nilai-nilai spiritual yang menekankan kesetaraan, perdamaian, tanggung jawab moral, dan penghormatan terhadap keberagaman semesta.
Yang paling menarik perhatian saya adalah satu pertanyaan yang muncul dalam sesi tanya jawab: “Apakah agama Hindu menjamin kesetaraan gender dalam kepemimpinan ibadah?”
Pertanyaan ini sangat relevan dalam konteks peran perempuan dalam ruang-ruang spiritual yang kerap kali terabaikan.
Pemateri menjawab dengan lugas: ajaran Hindu secara prinsip menjunjung tinggi kesetaraan gender. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan peluang yang setara dalam urusan spiritualitas, kehidupan sosial, bahkan dalam upaya mencapai moksha yaitu kebebasan dan kebahagiaan spiritual tertinggi.
Namun di sisi lain, realitas sosial menunjukkan bahwa praktik keagamaan formal masih sering didominasi oleh laki-laki. Meski demikian, perlawanan terhadap ketimpangan ini terus bermunculan, salah satunya melalui gerakan perempuan Hindu di India.
Salah satu contohnya adalah aksi ratusan perempuan yang berjalan kaki dari Kota Pune menuju Kuil Shani Shingnapur untuk menuntut hak beribadah di tempat suci yang selama 350 tahun melarang perempuan masuk.
Melansir dari BBC Indonesia.com, tokoh perempuan dalam gerakan ini, Trupti Desai, menyatakan bahwa tindakan mereka adalah bagian dari perjuangan konstitusional melawan sistem patriarki. Ia menegaskan bahwa:
“Tuhan tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan. Larangan ini hanyalah tradisi buatan laki-laki.”
Memperjuangkan Hak Spiritual Perempuan
Pernyataan Desai menggambarkan keberanian untuk memperjuangkan hak spiritual perempuan yang selama ini dikebiri oleh konstruksi budaya yang patriarkis. Ini sekaligus menunjukkan bahwa semangat kesetaraan dalam agama perlu terus digaungkan, tidak hanya dalam teks-teks suci, tetapi juga dalam praktik nyata.
Melalui pengalaman langsung dan dialog yang terbuka, saya belajar bahwa kesetaraan gender dalam agama bukanlah utopia yang mustahil. Ia mungkin terasa jauh dalam praktik, tapi nyata dalam semangat ajaran dan selalu bisa kita perjuangkan.
Kegiatan seperti SAK bukan hanya membekali pengetahuan, tapi juga menanamkan keberanian untuk mempertanyakan ketimpangan dan memperjuangkan keadilan. Termasuk dalam ruang-ruang ibadah yang selama ini cenderung tertutup bagi perempuan.
Di tengah tantangan keberagaman dan menguatnya konservatisme, keberanian untuk membangun ruang dialog dan memperjuangkan kesetaraan menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang tidak hanya toleran, tetapi juga adil dan manusiawi. Dan di sinilah peran anak muda sangat kita butuhkan, bukan sekadar sebagai penonton, tapi sebagai agen perubahan. []