Judul: Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Tahun Terbit: 2025
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Mubadalah.id – Nama Pramoedya Ananta Toer bukanlah sosok yang asing dalam dunia sastra tanah air. Karya-karyanya yang lahir bertemakan kemanusiaan layak kita pelajari sekaligus apresiasi.
Pada masa Orde Lama sempat ada larangan membaca buku-buku Pram. Mengingat buku-bukunya sarat akan nilai pemberontakan pada segala bentuk penindasan. Orde Lama menganggap membaca bukunya dapat berefek mengganggu stabilitas politik dan keamanan negara pada saat itu.
Pram sempat menjadi Tahanan Politik (tapol). Ia bersama teman-teman sepembuangannya menjadi terasingkan di Pulau Buru. Dalam masa inilah sebagian besar karyanya lahir, seperti Tetralogi Pulau Buru dan naskah Perempuan Remaja ini.
Naskah Perempuan Remaja dalam Cengkeraman Militer sendiri masuk ke dapur penerbit sehari sebelum Pram meraih grand prize “The Fukuoka Asian Culture Prize” pada 12 September 2001 oleh Jepang.
Anugerah ini mereka berikan kepada orang yang memberikan sumbangsihnya dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan budaya Asia. Pram menurut mereka layak mendapatkan penghargaan kategori ini.
Buku yang telah melewati cetakan ke-30 ini merupakan kumpulan catatan berdasarkan keterangan dari teman-teman sepembuangan Pram di Pulau Buru. Selain itu, juga dari hasil pelacakan Pram terhadap para budak seks yang tertinggal begitu saja oleh Jepang di pulau yang sama.
Mengingat review ini mengutip poin-poin intinya saja. Maka, pengulas menyarankan untuk membaca bukunya agar mendapatkan pengetahuan yang utuh dan lebih baik.
Di Balik Iming-iming Jepang
Sejak Perang Asia Pasifik meletus Jepang terus terdesak oleh pasukan sekutu. Sulitnya akses laut maupun udara berimbas pada ketidakmampuan Jepang mendatangkan para perempuan penghibur dari Jepang, China dan Korea.
Untuk menyiasati hal tersebut, para perawan remaja Indonesia menjadi sasaran pemuas nafsu setan mereka. Tahun 1943 merupakan masa awal rombongan-rombongan para perawan remaja baik dari kota besar, madya atau kecil ini diberangkatkan.
Pengrekrutan dengan meneruskan intruksi non resmi alias kabar dari mulut ke mulut mulai dari jabatan tertinggi sampai paling bawah. Tentu saja penolakan dan rasa berat hati sebagian besar para orang tua yang ditinggalkan anak gadisnya.
Untuk menghindari kekejaman Jepang serta demi jabatan dan pangkat saat itu. Maka, melepaskan para anak gadisnya adalah salah satu cara paling selamat. Meskipun dampaknya tidak lebih baik juga.
Di balik janji Jepang untuk menyekolahkan ke Tokyo dan Shonanto tidak pernah diumumkan secara resmi pada Osamu Serei (lembaran negara). Menurut Pram, tindakan ini adalah salah satu kesengajaan untuk menghilangkan jejak kejahatan-kejahatannya agar tak terungkap pada kemudian hari.
Perempuan Korban Kehilangan Banyak Hak Hidup
Pram menggambarkan melalui buku Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, pada saat para perempuan remaja itu tiba dan menjalani hari-hari di pengepolan (tempat pengumpulan). Tidak ada lagi kebebasan dan janji menyekolahkan ke Tokyo dan Shonanto. Hal itu hanyalah kebohongan belaka.
Para perempuan remaja itu dijaga ketat dalam rumah berpagar kawat berduri. Tidak lain agar para gadis ini tidak terhubung dengan dunia luar sama sekali. Sebuah siasat licik (lagi) agar yang bala tentara Jepang lakukan tak terdeteksi dari luar.
Tetapi sepintar apapun menyimpan bangkai, lama-kelamaan akan tercium juga baunya. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana Pram memperoleh dan mengolah data dari informan yang dekat dengan hal tersebut. Misal, jurusan mudi kapal, penjual makanan dekat lokasi pengepolan dll.
Pada tempat-tempat pengepolan yang berbeda lokasi itu, para perawan remaja kehilangan banyak hak hidupnya sebagai manusia.
Mulai dari kehormatan, cita-cita, harga diri, hubungan dengan dunia luar, peradaban dan kebudayaan. Sebuah fakta kejahatan perang dengan perampasan paling keji yang tak boleh hilang dari ingatan.
Pencarian Korban di Pedalaman Buru
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat. Para perempuan korban tertinggal begitu saja. Mereka dilepas tanpa setitik tanggung jawab. Hidup terkatung-katung sesuai dengan daya hidup masing-masing.
Tidak mendapatkan pelayanan maupun perlindungan dari Pemerintah RI. Gambaran kehidupan pahit yang tak terbayangkan mereka tanggung sebagai korban seorang demi seorang.
Alfuru merupakan suku asli pedalaman dari Pulau Buru. Bagian ini menjadi penting mengingat terdapat proses pencarian Pram dan teman-temannya yang menjadi tapol dalam mencari korban dari orang Jawa. Baik yang mendiami maupun menjalani pernikahan dengan warga suku tersebut.
Dalam bab ini pengulas kesulitan untuk menjaga fokus pada bacaan. Karena tidak terdapat periode waktu serta penggunaan bahasa lokal dan ritus keyakinan yang sukar untuk memahami. Mungkin inilah kelemahan sekaligus kekuatan dari buku untuk menjaga keaslian cerita itu sendiri.
Selain itu, keterbatasan Pram beserta teman-temannya sebagai seorang tapol yang membuat warga lokal memberi jarak pada mereka. Akibatnya proses pencarian terbatasi dengan sangat ketat.
Pembatasan itu tampak sekali ketika mengharuskan Pram beserta teman-temannya untuk menghargai adat setempat. Hal ini menjadi penghalang untuk menggali lebih dalam asal muasal sejarah para korban yang saat itu dapat mereka temui.
Menurut pengulas, buku Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer ini penting untuk kita baca. Bukan saja untuk terus bersyukur karena hari ini tak ada lagi bentuk penindasan dari negara lain.
Juga untuk merunut bahwa kekerasan sistemik terhadap perempuan telah terjadi jauh sebelum negara ini terbentuk. Meskipun setelah negara ini mendapatkan kemerdekaannya tidak juga memberikan pendampingan yang memadai kepada para korban.
Selain itu, seperti salah satu tujuan Pram menulis buku ini, yaitu: “kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang biasa menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu. Surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat.” []