Setiap 10 Oktober sejak 1992, diperingati sebagai World Mental Health Day atau Hari Kesehatan Mental Sedunia yang merupakan program dari World Federation for Mental Health. Tema Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun ini adalah “Mental Health for All: Greater Investment – Greater Access“.
Seperti judul tema, tahun ini WFMH ingin memfokuskan pada akses yang semakin luas sehingga kesehatan mental bisa menjadi investasi bagi setiap individu. Ada banyak hal yang menjadi focus WFMH tahun ini terutama berkaitan dengan keadaan dalam menghadappi COVID-19. Banyak topik-topik edukatif yang dikumpulkan menjadi ebook yang dapat diunduh pada laman wfmh.global.
Dalam buku itu, Ingrid Daniels sebagai Presiden WFMH memberikan kata pengantar seputar tema tahun ini dan pandemic. Ingrid mengatakan, “Kita tahu bahwa tingkat kecemasan, ketakutan, isolasi, jarak dan pembatasan sosial, ketidakpastian dan tekanan emosional yang dialami telah meluas saat dunia berjuang untuk mengendalikan virus dan mencari solusi”.
Tantangan dalam kampaye Hari Kesehatan Mental tahun ini menjadi lebih menantang karena mobilitas yang terbatas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan mental. Ruang diskusi, kampanye dan edukasi banyak dilakukan melalui daring.
Pada awalnya, program World Mental Health Day bertujuan untuk mengampanyekan advokasi kesehatan mental dan mendidik masyarakat tentang isu-isu yang terkait dengan kesehatan mental. Kemudian semakin banyak Negara-negara yang bergabung untuk menyuarakan hal yang sama, bersama-sama.
Ingrid mengatakan, sekitar 450 juta orang hidup dengan gangguan mental yang merupakan penyebab utama penyakit dan kecacatan di seluruh dunia (Laporan Kesehatan Dunia WHO, 2001). Selain itu, satu dari empat orang akan terpengaruh oleh gangguan mental pada beberapa tahap kehidupan mereka, sementara gangguan mental, neurologis dan penggunaan narkoba menimbulkan dampak yang tinggi, 13% dari total beban penyakit global (WHO, 2012) .
Organisasi Kesehatan Dunia (2018) menyatakan bahwa setiap 40 detik ada seseorang meninggal karena bunuh diri. Setiap tahun ada lebih dari 800.000 orang yang meninggal karena bunuh diri. Bunuh diri adalah penyebab kematian kedua bagi orang-orang berusia 15-29 tahun.
Sedangkan 79% kasus bunuh diri global terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMIC). Setiap bunuh diri adalah tragedi yang mempengaruhi keluarga, komunitas dan seluruh negara dan memiliki efek jangka panjang dan menghancurkan pada orang-orang yang ditinggalkan.
Gambaran yang suram ini membuat berbagai pihak terutama dalam bidang psikologi, untuk lebih memprioritaskan isu-isu terkait kesehatan mental dari pada tahun sebelum-sebelumnya. Baik melalui aksi pencegahan sampai pemulihan gangguan.
Inggrid juga mengatakan bahwa Forum Ekonomi Dunia (2018) mencatat ada peningkatan gangguan kesehatan mental di setiap negara di dunia. Hal ini juga dapat merugikan ekonomi global hingga $ 16 triliun antara tahun 2010 dan 2030 jika kita semua mengalami kegagalan kolektif untuk merespons.
Salah satu hal mendasar yang dihadapi oleh individu dan komunitas adalah stigma. Masih banyak yang memberikan stigma dan label negatif pada mereka yang memiliki gangguan dan membutuhkan pertolongan psikolog ataupun psikiater.
Juga masih ada pandangan bahwa kita harus memendam dan menyelesaikan permasalahan kita sendirian. Ketika orang lain merasa terpuruk dan butuh bantuan, masih ada orang-orang yang menganggap itu lebay (berlebihan) dan caper (cari perhatian).
Alih-alih memberikan dukungan, mereka malah tidak memvalidasi pengalaman orang lain, memojokkan, dan juga menasehati untuk lebih rajin beribadah. Bahkan disertai tuduhan bahwa mereka kurang beriman atau kurang beribadah.
Sebagai sarjana psikologi, isu-isu psikologi adalah hal yang biasa saya pelajari dan bicarakan. Saya juga pergi konseling dengan psikolog. Saya justru membagikan pengalaman saya sebagai bentuk normalisasi untuk berani meminta pertolongan dan mendapatkan pertolongan dari orang atau lembaga yang tepat.
Dukungan sosial bisa dilakukan oleh semua orang, tapi intervensi psikologis tidak bisa dilakukan oleh orang awam. Banyak sekali macam gangguan dan intervensi yang dapat dilakukan. Menghakimi orang lain sebagai orang awam hanya akan memperparah kesehatan mental orang tersebut.
Saya tahu orang-orang di sekitar saya yang mengalami depresi, trauma, fobia dan baby blues. Saya tahu ada para penulis buku pengembangan diri yang berjuang melawan depresi. Saya tahu ada artis dan influencer yang terbuka tentang kondisi mental mereka. Saya tahu ada dosen psikologi yang juga butuh bantuan psikolog.
Penolakan dan kegagalan global dalam merespon isu-isu kesehatan mental justru memperparah kasus-kasus yang sudah ada dan meningkatkan kemungkinan di tahun-tahun yang akan datang. Hal ini justru diperparah dengan pandemi.
Sejauh ini, isu-isu kesehatan mental masih terus disalahpahami, diabaikan, distigmatisasi, kekurangan dana, dan diabaikan. Isu ini adalah isu gunung es yang susah ditangani jika masih banyak pihak yang tidak mendukung.
Di tengah sesaknya gratifikasi instan, menjaga kesehatan mental diri sendiri adalah suatu prioritas utama. Kesehatan mental adalah hak bagi seluruh manusia. Kita harus lebih mengenal diri sendiri. Tahu kapan harus berjuang, kapan harus istirahat dan kapan harus mengakhiri.
Hanya karena tidak banyak dibicarakan, bukan berarti orang-orang yang terlihat bahagia hidupnya selalu baik-baik saja. kita hanya tahu sebagian kecil hidup orang lain. Yang pasti, setiap manusia memiliki masalah dan perjuangan masing-masing. Mari memeluk kekurangan dan kelebihan diri sendiri.
Selamat Hari Kesehatan Mental Sedunia. Mari berinvestasi pada diri sendiri untuk tetap sehat fisik dan sehat mental. Harusnya layanan psikologi bisa diakses oleh semua orang, sama mudahnya saat kita pergi ke Rumah Sakit ataupun Puskesmas. []