Judul Buku: Memahami Cita-Cita Teks Agama
Penulis: K.H. Husein Muhammad
ISBN: 978-623-8108-59-6
Tahun Terbit: September 2024
Penerbit: IRCiSod
Mubadalah.id – “Dalam sejarahnya, agama memiliki dua warisan besar. Yang pertama adalah pencerahan, sementara yang kedua adalah kebrutalan. Di satu sisi, agama melahirkan pencerahan, etika, kasih sayang, pemihakan terhadap kaum yang terpinggirkan dan toleransi. Namun di sisi lain, agama juga menjadi kontributor utama perang, pertumpahan darah, kebencian, dan ancaman intoleransi.”
Kurang lebihnya demikian apa yang disampaikan Mun’im A. Sirry dalam bukunya, Membendung Militansi Agama (2003). Dalam bukunya, Sirry merekam dengan cermat beberapa pergulatan Islam di tengah persoalan kebangsaan, termasuk di Indonesia. Pasalnya, Islam di Indonesia mengalami tantangan berat dalam menghadapi persoalan kebangsaan, yang dari sini lahir beberapa reaksi dari kaum muslim di Indonesia.
Apa yang dikatakan Sirry, adalah sebuah bentuk manifestasi akan posisi Islam Indonesia yang sedang di persimpangan jalan—pada saat itu. Sebut saja, hadirnya kaum revivalis yang ingin sekali mengembalikan ajaran murni Islam, yang menurutnya selalu selaras di manapun dan kapanpun—golongan ini masih bercokol hingga kini.
Di sisi lain, ada kaum tradisionalis yang lebih cenderung untuk menafsir ulang tradisi Agama (al-Qur’an dan hadist) untuk memenuhi kebutuhan umat tanpa meninggalkan sisi transendentalnya.
Kelompok pertama, berusaha untuk mengembalikan Indonesia pada ajaran Islam pada 14 abad yang lalu. Mereka ingin negara Indonesia menganut sistem khilafah sebagai manifestasi dari ajaran Islam yang kaffah. Namun sayangnya, tidak sedikit kebrutalan, pengeboman, dan pertumpahan darah yang lahir dari gerakan ini.
Tragedi Bom di Indonesia
Kita tidak bisa menutup mata akan tragedi bom panci di Surakarta pada tahun 2016. Begitu juga tragedi bom Bali, Yogyakarta dan Sulawesi yang memakan korban banyak. Ironisnya, itu semua berangkat dari sebuah paham keagamaan.
Dalam laporannya, Setara Institute menyamaikan bahwa kasus ancaman intoleransi dan diskriminasi di sejumlah daerah di Indonesia masih terus meningkat. Terdapat kenaikan jumlah tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pada tahun 2023 berjumlah 217 pelanggaran, menjadi 260 pelanggaran pada tahun 2024.
Hal itu, menjadi bukti bahwa gerakan intoleransi dan diskrimanisi dalam ruang keagamaan, masih bercokol hingga kini. Bahkan, Gerakan itu bertransformasi dalam bentuk lain. Ia menjelma menjadi teks, dan tindakan sunyi lainnya yang beroperasi secara sistemik yang terus menerus memupuk intoleransi dan kebencian.
Menjadi sebuah paradoks tersendiri, jika mereka bersemangat untuk mengembalikan ajaran Islam murni. Di mana seharusnya melahirkan cinta kasih, saling peduli, dan toleransi, justru malah menjadi kontributor utama dalam tindakan yang nir-kemanusiaan.
Mendialogkan Teks dengan Realitas
Hal demikian, menjadi sangat penting untuk kita refleksikan. Sebab, Islam dengan rahmatan lil alamin-nya sangat tidak mungkin melegitimasi sebuah tindakan yang memasung hak-hak kemanusiaan.
KH Husein Muhammad dalam bukunya, Memahami Cita-Cita Teks Agama (2024), telah mendialogkan teks agama dengan realitas empiris, normativitas dengan historisitas, dan menariknya dari langit ke bumi. Buku ini, dapat kita jadikan sebuah rujukan dalam menghadapi sebuah tindakan ironis dalam bingkai keagamaan.
Sehingga, kita dapat mengerti seperti apa hakikat dari tekstualitas agama pada saat itu. Bagaimana caranya untuk kita terapkan pada masa kini. Kita juga, dapat memahami mana ajaran yang bersifat normatif dan yang lahir dari produk sejarah. Hingga pada akhirnya harus bagaimana kita membumikan pesan-pesan itu agar sesuai dengan tuntutan realitas yang ada.
Rasionalis-Substansialis dan Kontekstualisme
Dalam memahami persoalan agama dalam bingkai kenegaraan, Kiai Husein berpendapat secara rasionalis-substansialis. Beliau tidak secara scriptural dalam memahami persoalan ini.
Menurutnya, mendudukan agama dalam bentuknya yang formal dan kita berlakukan dengan ketentuan yang normatif ketat, dapat mereduksi dan menghilangkan universalitas agama itu sendiri. Sehingga, yang Kiai Husein utamakan adalah substansinya, yaitu keadilan, kebenaran, dan kemashlatan yang diini, ilahii dan bersifat ketuhanan (hlm, 164).
Menurut Kiai Husein, tugas dan fungsi utama Nabi dan al-Qur’an adalah keadilan, yang menjadi pilar tegaknya langit dan bumi. Sehingga, jika telah tampak wajah keadilan dalam sebuah aturan hukum atau cara apapun yang dapat melahirkan sebuah keadilan, di situlah hukum Allah, dan di situlah Agama Allah (hlm, 158-165).
Sebaliknya, memberlakukan ketentuan ketat secara normatif dalam aturan kenegaraan atas dasar syari’at Islam, namun pada saat yang sama terjadi sebuah kepayahan yang berupa disintegrasi sosial, pengeboman, dan pertumpahan darah. Fakta ini adalah sebuah tindakan yang tidak selaras dengan dasar-dasar pemberlakuan syari’at Islam.
Syaikh Muhammad Khudhori Beik, sosok intelektual muslim yang ahli dalam disiplin sejarah Islam, menyampaikan dalam kitabnya yang berjudul Tarikh at-Tasyri’ al-Islamiy (2022), bahwa pemberlakuan syari’at Islam harus berdasar pada menghilangkan adanya kesulitan, menyedikitkan beban, dan kita formalisasikan secara gradual.
Tiga Pendekatan Menurut Kiai Husein Muhammad
Dengan begitu, tindakan yang acapkali menimbulkan ketegangan, kebrutalan, dan pertumpahan darah yang selalu mengatasnamakan agama, sama sekali tidak memiliki legitimasinya secara Islami dan substansialnya.
Sebab, dalam memahami sebuah teks agama, tidak melulu harus dipersiskan dengan teksnya yang turun berapa abad yang lalu, yang secara tempus dan lokusnya sudah berbeda pada saat ini dan sini. Untuk memahami cita-cita dari sebuah teks, Kiai Husein tidak melepaskan dari tiga pendekatan dalam membacanya.
Pertama, pendekatan Bahasa (siyaqul lisani). Sebab, Bahasa adalah langkah awal yang harus kita lalui dengan benar untuk mencapai cita-cita dari sebuah teks.
Kedua, pendekatan sejarah dan perubahan sosial (siyaquz zhuruf wa ahwalul ijtima’iyyah). Dan ketiga, pendekatan kebudayaan (siyaqul ahwalul madaniyah) ketika teks itu diturunkan. Kedua pendekatan yang disebutkan terakhir, menjadi sebuah perantara untuk menghidupkan teks di ruang dan waktu yang berbeda.
Sebab—menurut Kiai Husein, tidak mungkin sebuah teks tersampaikan dalam ruang hampa, ia mesti sebuah bentuk respon dalam menghadapi problematika umat, baik individu ataupun kolektif (hlm, 60-61).
Sehingga, pendekatan demikian menjadi sangat penting. Melihat kehidupan manusia yang bersifat dinamis dari waktu ke waktu. Yakni membaca teks dengan meninggalkan pendekatan yang sedemikan sama dengan membunuh cita-cita sebuah teks agama yang dapat memberikan solusi yang adaptif dalam memenuhi kebutuhan umat.
Dengan cara pandang demikian, kita dapat merefleksikannya dalam menghadapi hadirnya kelompok-kelompok militan agama tersebut, yang memberikan warisan yang nir-kemanusiaan. Kita tidak boleh membuta-tuli, jika hal demikian tak ingin kembali terjadi pada saat ini dan di sini, di Indonesia tanah air tercinta. []