Mubadalah.id – Al-Qur’an, Allah turunkan ke muka bumi untuk membebaskan manusia dari dunia yang gelap menuju dunia yang penuh cahaya.
Imam Al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) menafsirkan kata kegelapan (adh-dhulumat) sebagai kebodohan (al-jahl), kekufuran (al-kufr), dan kesesatan (ad-dlalal). Sedangkan kata an-nur dimaknai sebagai keimanan (al-iman) dan ilmu pengetahuan (al-‘ilm).
As-Sa‘di (w. 1376 H) juga menegaskan bahwa Al-Qur’an membebaskan manusia dari kegelapan kebodohan, kekufuran, akhlak yang buruk, serta kemaksiatan, menuju kehidupan yang disinari cahaya ilmu, iman, dan akhlak yang mulia.
Jika menengok sejarah Arabia sebelum kenabian Muhammad SAW, masa itu kerap disebut sebagai zaman jahiliyah. Secara literal, jahiliyah memang berarti kebodohan atau ketidaktahuan. Namun, kebodohan di sini bukan sekadar tidak bisa membaca, menulis, atau berkesenian, melainkan hilangnya kesadaran akan nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Pada masa itu, praktik penindasan, perbudakan, hingga perampasan hak-hak perempuan dan kaum lemah menjadi pemandangan biasa. Masyarakat jahiliyah seolah tidak menyadari bahwa setiap manusia berhak hidup, menyatakan pikiran, dihargai, memperoleh rasa aman, serta diperlakukan adil dan manusiawi.
Karen Armstrong, penulis sejarah agama-agama, menawarkan perspektif yang menarik. Menurutnya, jahiliyah sering hanya orang-orang pahami sebagai era pra-Islam di Arabia, atau zaman kebodohan.
Padahal, makna utama jahiliyah justru terletak pada sifat lekas marah, rasa kagum berlebihan pada diri sendiri, fanatisme kesukuan, keangkuhan, sikap ekstrem, dan di atas semuanya yaitu kecenderungan kronis pada kekerasan serta balas dendam. Singkat kata, jahiliyah adalah kegelapan moral yang melumpuhkan rasa kemanusiaan.
Islam Hadir
Dari titik inilah kita bisa melihat betapa Islam hadir bukan semata untuk menata hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga untuk memuliakan martabat kemanusiaan. Pengabdian manusia kepada sesama pada hakikatnya adalah bentuk tertinggi pengabdian kepada Allah SWT.
Dalam kerangka etika spiritual, Mulla Sadra (w. 1640 M) dalam al-Asfar menyebutnya sebagai “perjalanan dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan” (as-safar min al-khalq ila al-khalq bi al-Haqq), yakni jalan Tuhan yang penuh hikmah.
Para fuqaha pun menggambarkan bahwa semua ajaran Islam pada dasarnya ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan umum (al-mashalih al-‘ammah). Seperti ditegaskan oleh ‘Izz ad-Din bin ‘Abd as-Salam (w. 660 H/1262 M), ulama besar mazhab Syafi‘i yang dijuluki Sultanul Ulama:
“Seluruh beban syariat yang Allah wajibkan atas hamba-hamba-Nya adalah demi kemaslahatan mereka sendiri. Allah sama sekali tidak memerlukan siapa pun. Ketaatan manusia tak memberi keuntungan bagi-Nya, dan kedurhakaan manusia tak sedikit pun merugikan-Nya.”
Dengan demikian, pesan pembebasan dalam Islam bukanlah retorika belaka. Al-Qur’an datang menuntun manusia keluar dari segala bentuk kegelapan: kebodohan, fanatisme, kesewenang-wenangan, menuju cahaya ilmu, iman, dan keadilan.
Inilah misi kemanusiaan Islam yang relevan sepanjang zaman—menghidupkan nurani, memuliakan sesama, dan pada akhirnya memakmurkan bumi sebagai wujud pengabdian hakiki kepada Tuhan Yang Maha Esa. []