• Login
  • Register
Senin, 14 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Titik Temu Antara Fikih dan Disabilitas Mental

Membicarakan fikih bagi penyandang disabilitas mental bukan sekadar urusan hukum, tapi soal empati, keadilan, dan kemanusiaan.

arinarahmatika arinarahmatika
14/07/2025
in Publik
0
Disabilitas Mental

Disabilitas Mental

775
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Di tengah semangat inklusivitas yang terus digaungkan, ada satu kelompok yang kerap tertinggal dalam perbincangan yaitu penyandang disabilitas mental. Berbeda dengan penyandang disabilitas fisik yang telah cukup banyak mendapatkan ruang dalam kebijakan dan praktik keagamaan, penyandang disabilitas mental masih seperti “anak tiri” dalam diskursus hukum Islam. Padahal, tantangan yang mereka hadapi tak kalah rumit.

Secara sosial, penyandang disabilitas mental seringkali mendapat stigma. Mereka dianggap lemah, tak mampu, bahkan berbahaya. Label seperti “gila” atau “cacat jiwa” dengan mudah tersematkan, menghilangkan hak-hak dasarnya sebagai manusia. Padahal, dalam banyak kasus, kondisi mental mereka bersifat episodic artinya mereka bisa berada dalam kondisi sadar dan mampu berpikir jernih dalam periode tertentu.

Hukum yang Belum Sepenuhnya Ramah

Jika kita menengok Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pasal 433, masih ada ketentuan yang menyatakan bahwa orang dengan gangguan jiwa harus berada di bawah pengampuan, meskipun kadang ia bisa berpikir jernih. Hal ini menimbulkan problematika serius. Hak-hak sipil dan keagamaan bisa saja hilang karena status hukum yang tidak fleksibel.

Di sinilah pentingnya formulasi hukum Islam yang lebih adaptif dan ramah disabilitas mental. Menjawab persoalan ini, dua konsep penting dalam ushul fikih bisa dijadikan landasan yaitu ahliyyah (kecakapan hukum) dan maslahah (kemaslahatan).

Apa Itu Ahliyyah? Ahliyyah adalah konsep dalam fikih Islam yang berbicara tentang apakah seseorang memiliki kecakapan untuk dikenai hukum syariat (mukallaf). Seseorang dianggap mukallaf jika memiliki akal sehat dan telah baligh. Tapi bagaimana jika seseorang punya gangguan mental?

Baca Juga:

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

Para ulama membedakan ahliyyah menjadi dua yaitu ahliyyatul wujub (kecakapan untuk memiliki hak) dan ahliyyatul ada’ (kecakapan untuk melaksanakan kewajiban). Orang yang mengalami gangguan jiwa secara berat, dalam konteks ini, bisa saja tidak memiliki ahliyyatul ada’. Artinya, ia tidak wajib menjalankan syariat dalam kondisi tertentu. Tapi bukan berarti seluruh haknya hilang.

Lebih lanjut, para ulama membagi penghalang kecakapan hukum menjadi dua: alami (seperti gila, pingsan, lupa) dan akibat perbuatan sendiri (seperti mabuk atau ceroboh). Jika gangguan mentalnya bersifat alami dan episodik, maka hukum pun perlu mengikuti ritme kesadarannya. Saat ia sadar, ia punya hak penuh untuk bertindak. Saat tidak sadar, ia perlu pendampingan.

Maslahah: Mencari Jalan Tengah

Konsep kedua yang penting adalah maslahah, yakni prinsip bahwa setiap hukum Islam harus mengandung kemanfaatan dan menghindari kemudharatan. Dalam konteks penyandang disabilitas mental, maslahah menjadi jembatan yang membantu kita untuk tidak sekadar kaku dengan aturan, tapi juga mempertimbangkan kondisi nyata dan manusiawi.

Maslahah bukan berarti menabrak hukum. Justru ia menjadi pertimbangan utama ketika menghadapi kasus-kasus kompleks yang tidak secara eksplisit dijelaskan dalam nash (teks keagamaan). Bagi penyandang disabilitas mental, maslahah berarti mengakomodasi mereka agar tetap bisa menjalani kehidupan keagamaan dan sosial dengan layak, tanpa menambah penderitaan atau mencabut hak-hak dasar mereka.

Dalam praktiknya, prinsip maslahah mendorong kita untuk tidak serta-merta memvonis penyandang disabilitas mental sebagai “tidak berdaya.” Apalagi menggantikan sepenuhnya hak pengambilan keputusan mereka, seperti dalam skema “substituted decision making”. Yang lebih tepat adalah pendekatan “supported decision making,” yaitu memberi pendampingan agar mereka bisa mengambil keputusan secara sadar dan mandiri ketika memungkinkan.

Bayangkan seorang penyandang skizofrenia yang dalam kondisi stabil dan sadar. Ia mampu bekerja, mengambil keputusan, bahkan menjalankan ibadah dengan baik. Apakah ia masih harus berada di bawah pengampuan penuh? Tentu tidak adil. Pendekatan yang manusiawi dan berbasis maslahah akan mengakui kemampuan yang ia miliki, bukan hanya kondisi yang ia derita.

Tantangan di Lapangan

Sayangnya, masih banyak hambatan struktural yang menghalangi implementasi fikih yang inklusif ini. Salah satunya adalah keterbatasan fasilitas kesehatan mental di Indonesia. Data Kemenkes tahun 2021 mencatat hanya ada 1.053 psikiater untuk seluruh penduduk Indonesia. Artinya, satu psikiater harus melayani sekitar 250.000 orang. Padahal, sekitar 20% penduduk Indonesia berpotensi mengalami gangguan mental.

Selain itu, stigma sosial juga menjadi batu sandungan. Penyandang disabilitas mental masih dianggap tidak layak menjadi pemimpin, guru, apalagi ulama. Padahal sejarah mencatat bahwa banyak orang dengan gangguan atau keunikan mental yang justru memiliki keistimewaan dan kontribusi besar dalam masyarakat.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, mengubah cara pandang. Disabilitas mental bukanlah aib atau kutukan, tapi bagian dari keberagaman manusia. Kedua, mendorong reformulasi hukum Islam yang lebih ramah terhadap kondisi ini. Ketiga, memperluas pemahaman masyarakat tentang konsep ahliyyah dan maslahah dalam konteks kekinian.

Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, punya fondasi kuat untuk menjunjung tinggi kemanusiaan. Maka, sudah saatnya fikih tidak hanya berurusan dengan hal-hal yang tekstual dan normatif, tapi juga menyentuh realitas yang dinamis dan kompleks, seperti yang dihadapi penyandang disabilitas mental.

Membicarakan fikih bagi penyandang disabilitas mental bukan sekadar urusan hukum, tapi soal empati, keadilan, dan kemanusiaan. Dengan pendekatan yang tepat, hukum Islam bisa menjadi alat emansipatoris, bukan alat diskriminatif.

Selain itu dengan mengedepankan maslahah, kita bisa memastikan bahwa setiap manusia, tak terkecuali mereka yang mengalami gangguan mental, tetap mendapat tempat terhormat dalam tatanan masyarakat dan dalam bingkai syariat. []

Tags: AksesibilitasDisabilitas MentalFikih DisabilitasInklusi SosialIsu Dsiabilitas
arinarahmatika

arinarahmatika

Terkait Posts

Krisis Ekologi

Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi

14 Juli 2025
Merawat Bumi

Merawat Bumi Sebagai Tanggung Jawab Moral dan Iman

14 Juli 2025
Mas Pelayaran

Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

13 Juli 2025
Perempuan dan Pembangunan

Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

12 Juli 2025
Isu Disabilitas

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

12 Juli 2025
Negara Inklusi

Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

11 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Krisis Ekologi

    Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merawat Bumi Sebagai Tanggung Jawab Moral dan Iman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Asma’ binti Yazid: Perempuan yang Mempertanyakan Hak-Haknya di Hadapan Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ukhuwah Nisaiyah: Solidaritas Perempuan dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Ronggeng Dukuh Paruk dan Potret Politik Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Asma’ binti Yazid: Perempuan yang Mempertanyakan Hak-Haknya di Hadapan Nabi
  • Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi
  • Ukhuwah Nisaiyah: Solidaritas Perempuan dalam Islam
  • Merawat Bumi Sebagai Tanggung Jawab Moral dan Iman
  • Jihad Perempuan Melawan Diskriminasi

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID