Mubadalah.id – Pernikahan adalah kesepakatan antara dua orang dewasa yang saling rela dan saling menyayangi. Namun, dalam praktik budaya dan sosial keagamaan kita, tidak jarang pernikahan justru menjadi instrumen pemaksaan, terutama terhadap perempuan. Padahal, ajaran Islam secara jelas memberikan ruang dan penghormatan terhadap perempuan untuk menentukan pernikahannya.
Oleh karena itu, ketika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, merasa dipaksa untuk menjalani pernikahan. Maka Islam memberikan hak penuh kepadanya untuk membatalkan pernikahan tersebut.
Kebolehan membatalkan pernikahan ini dapat kita lihat dalam sejumlah riwayat hadis yang menunjukkan keberpihakan Nabi Muhammad Saw terhadap perempuan.
Salah satu riwayat yang sangat kuat datang dari Aisyah ra. Suatu ketika, seorang remaja perempuan mendatangi Aisyah dan mengeluhkan bahwa ayahnya telah menikahkannya dengan sepupunya demi kepentingan status sosial keluarga. Perempuan itu mengaku tidak menyukai pernikahan tersebut.
Aisyah kemudian menasihatinya untuk menunggu kedatangan Rasulullah. Ketika Nabi tiba dan mendengar cerita sang perempuan, beliau memanggil ayahnya dan mengembalikan keputusan sepenuhnya kepada si anak.
Menariknya, di hadapan Rasulullah dan sang ayah, perempuan itu berkata, “Aku izinkan apa yang telah dilakukan ayahku. Tetapi aku ingin memberi peringatan untuk semua perempuan: bahwa orang tua tidak memiliki hak untuk memaksa dalam urusan ini.” (HR. an-Nasa’i, dalam Jami’ al-Ushûl, no. hadis: 8974, jilid 12, hlm. 142).
kisah Khansa binti Khidam
Kisah lain tercatat dalam riwayat Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud, dan an-Nasa’i, tentang seorang perempuan bernama Khansa binti Khidam ra yang dipaksa menikah oleh ayahnya.
Nabi Muhammad Saw menolak praktik pemaksaan itu dan menyatakan bahwa Khansa sendiri yang berhak memutuskan apakah ia ingin melanjutkan atau membatalkan pernikahan tersebut.
Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi Saw dengan tegas menyampaikan: “Engkau yang berhak menikah dengan orang yang engkau kehendaki” (lihat Nashb ar-Rayah, jilid 3, hlm. 232).
Pada akhirnya, Khansa memilih menikah dengan laki-laki pilihannya, Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir ra. Dan dari pernikahan itu ia melahirkan seorang anak bernama Saib bin Abu Lubabah.
Kemudian, kisah lain dari Ibn Abbas ra meriwayatkan bahwa ada seorang perempuan perawan yang datang kepada Nabi Saw dan mengadukan bahwa ia dipaksa oleh ayahnya untuk menikah.
Nabi pun memberikan hak penuh kepadanya untuk menentukan pilihannya sendiri. Sebagaimana terekam dalam hadis-hadis yang dari Abu Dawud (Bab Nikah 24: 2096), Ibn Majah (Bab Nikah 12: 1875), dan al-Baihaqi (jilid 7, hlm. 189).
Seluruh riwayat ini menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir memberikan pesan yang sangat jelas bahwa Islam menolak praktik pemaksaan dalam pernikahan dan mengakui otonomi penuh perempuan atas tubuh dan pilihannya. []