Mubadalah.id – Selama beberapa dekade, narasi pembebasan dalam wacana gerakan sosial lebih banyak memusatkan perhatian pada perempuan—dan memang itu penting. Di dunia yang terbangun oleh patriarki, selama ini menempatkan perempuan di pinggiran, tersingkirkan dari ruang keputusan, dan terbungkam dalam banyak bentuk.
Maka tak heran jika perjuangan perempuan mendapatkan banyak panggung dan sorotan. Akan tetapi, di tengah gegap gempita itu, ada sisi lain yang jarang kita bicarakan. Kerusakan batin dan kepedihan lelaki.
Lelaki memang bukan hanya pelaku dalam sistem patriarki, tetapi juga korban yang tak pernah terakui. Buktinya, data demi data menunjukkan bahwa kepedihan lelaki lebih rentan terhadap bunuh diri, pelaku sekaligus korban kekerasan, kecanduan, hingga kesepian akut. Dalam kajian psikologis semuanya tersebut berakar pada standar maskulinitas yang kaku, keras, dan tak manusiawi (lihat Steve Biddulph, 2019).
Laki-laki sejak kecil tidak dibesarkan untuk mengenali diri mereka, tapi untuk bertahan dan memikul beban. Mereka harus bertahan dan tegar menghadapi badai apa pun, hanya sekadar biar dianggap laki-laki “sejati”.
Mereka diajarkan untuk memakai topeng—kuat, tangguh, tahan banting. Tapi, di balik topeng itu, siapa yang benar-benar tahu isi kepala mereka saat malam tiba? Siapa yang tahu berapa banyak ketakutan, luka, dan keraguan yang mereka simpan sendiri?
Lelaki Didesain untuk Merayakan Duka
Jika membicarakan kerentanannya pada perempuan, dia akan tergosipkan sebagai pria lemah dan tidak layak untuk menjadi suami. Jika dia bicarakan dengan teman prianya, mereka secara padu akan merespon, “Lu kan laki?! Biasalah itu. Baru segitu doang. Santai aja kali.” Jika putus cinta lalu meraung bermandi air mata, wanita akan dianggap wajar. Jika pria melakukannya, dia akan mendapat stigma dengan kecengengan—jika bukan ketololan.
Lelaki memang banyak berkerumun. Di pos kamling, warung kopi, tempat mancing, lapangan olahraga, dan di pinggir-pinggir jalan. Saya sebut “berkerumun” karena memang di sana tidak ada pembicaraan mendalam (deep talk). Mereka hanya bercakap dan bercanda. Bahkan, jika ada yang terpuruk, dia bisa menjadi bahan tertawaan.
Tidak ada validasi bagi kerentanan, amarah, malu, dan kepedihan laki-laki, bahkan oleh laki-laki sendiri. Kita hidup dalam masyarakat yang melatih anak laki-laki untuk menyumpal air mata dan menyangkal rasa sakitnya sendiri.
Sayangnya, semakin rapat luka itu tersimpan, semakin sunyi hidup yang mereka jalani. Mereka menjadi asing bagi diri sendiri, bahkan untuk memulai hubungan dengan lawan jenis pun terasa berat, karena takut tersingkap kerapuhannya.
Lelaki Tumbuh dalam Kebingungan
Selain masyarakat kita punya desain khusus bagi pundak lelaki sebagai pemikul beban, pola asuh yang terbanjiri feminitas juga membingungkan laki-laki. Lelaki kehilangan teladan tentang bagaimana sebaiknya menjadi lelaki.
Karena ayah lebih banyak berada di luar rumah, ikatan emosional antara ayah dan anak lelaki melemah, menyisakan ruang kosong yang terisi oleh feminitas ibu dan guru (guru tingkat kanak-kanak sampai sekolah dasar didominasi perempuan). Anak laki-laki menolak itu, lalu mencari maskulinitas—belajar menjadi pria—dari iklan rokok, film laga, dan di jalanan—keras, dingin, tanpa kompromi.
Dalam kepedihannya, lelaki pun tumbuh dalam kebingungan, menjauh dari perasaan, emosi, bahkan dari diri mereka sendiri. Laki-laki butuh ruang untuk untuk merasa aman mengakui ketakutan, kelemahan, dan rasa malunya.
Sebagian bujang yang sadar dengan warisan luka tersebut lalu belajar, ke ruang terapi profesional, atau bergabung dengan komunitas. Mereka memroses luka batin dan berjanji tidak mengulangi perlakuan yang mereka terima. Akan tetapi, setelah keluar dari kelas belajar, mereka berhadapan dengan realitas bahwa mereka butuh perempuan untuk mewujudkan mimpi indah tersebut.
Beban Ganda pada Lelaki
Pada awalnya, para perempuan melihat bujang tersebut sebagai pria potensial untuk menjadi calon suami karena memiliki pandangan yang jernih tentang pernikahan dan keluarga. Akan tetapi, para ukhti mengatakan bahwa pria wajib menjadi pemikul beban keluarga. Lelaki harus kuat, terutama secara finansial.
Di balik narasi “setara”, laki-laki ternyata tetap terbebani peran tradisional yang tak tersentuh kritik: pencari nafkah utama. Pandangan ini menciptakan kontradiksi. Di satu sisi, laki-laki diminta melepaskan otoritas lama yang mereka pegang sebagai balasan bagi pencari nafkah tunggal. Di sisi lain, ketika mereka melepaskan otoritasnya, dia tetap dituntut kuat dan lebih unggul.
Calonnya bilang, “Buat apa nikah kalau gaji calon suami saya lebih rendah?!”
Padahal, jika benar kesetaraan yang kita perjuangkan, mestinya semua ranah—termasuk finansial—bisa menjadi ruang negosiasi. Seperti halnya pekerjaan rumah tangga yang kini mulai terbagi, mengapa soal nafkah justru masih jadi hal sakral yang tak boleh tersentuh?
Inilah ironi yang perlu kita renungkan bersama. Laki-laki sedang kita ajak berubah, tapi masyarakat belum benar-benar siap memberinya tempat baru yang adil, yang menerima kerentanannya.
Masyarakat tidak menerima laki-laki lemah, apalagi secara finansial!
Ukhti, memahami laki-laki bukan berarti mengurangi perjuangan perempuan; bukan pula berarti mengembalikan mereka ke singgasana empuk patriarki. Justru sebaliknya—dengan memahami bahwa patriarki merusak semua orang, kita bisa membangun dunia yang lebih adil dan setara.
Kita perlu belajar mendengarkan luka mereka, tanpa mengolok-olok, tanpa meremehkan. Kita perlu menciptakan ruang aman bagi laki-laki untuk menangis, bercerita, dan mencintai dengan jujur tentang kelemahannya. Karena sesungguhnya, pembebasan yang sejati bukan tentang siapa yang lebih berkuasa, tetapi lebih kepada kerjasama: memberi dan menerima secara adil. []