Mubadalah.id – Keluarga merupakan sekolah pertama tempat manusia belajar banyak hal, termasuk relasi keadilan gender. Tanpa disadari, orang dewasa dalam keluarga—ayah, ibu, kakek, nenek, paman, atau bibi—harus memperlihatkan pola relasi gender yang diamati dan diserap anak setiap hari.
Cara mereka berbicara, bersikap, dan membagi peran yang adil gender akan membentuk kerangka pikir dan tindakan anak hingga dewasa, bahkan hingga usia lanjut.
Seorang anak yang tumbuh dengan contoh ibu yang melayani seluruh kebutuhan ayah, sementara ayah tidak terlibat dalam urusan domestik, akan menyerap gagasan bahwa rumah tangga adalah tanggung jawab perempuan semata.
Sebaliknya, anak yang menyaksikan ayah dan ibu bekerja sama—saling bergantian memandikan anak, memasak, atau bepergian dinas—akan membentuk pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan bisa berbagi peran secara setara, baik di ranah domestik maupun publik.
Relasi keadilan gender dalam keluarga sebagai unit sosial terkecil kerap menjadi cetakan awal bagi relasi yang setara di masyarakat yang lebih luas.
Pola yang dibentuk sejak dini ini tidak hanya memengaruhi perilaku anak di rumah. Tetapi juga cara mereka bersikap di sekolah, tempat kerja, organisasi, hingga struktur sosial dan politik.
Ketika figur “kepala keluarga” secara default diposisikan sebagai laki-laki, maka pola serupa cenderung direproduksi dalam struktur sosial yang lebih besar: kepala agama, kepala adat, kepala lembaga, bahkan kepala negara.
Unit Keluarga
Oleh karena itu, membangun kesetaraan dan keadilan gender tidak cukup hanya di ruang publik seperti sekolah, tempat kerja, atau parlemen. Melainkan, harus juga di dalam keluarga.
Karena banyak kemajuan telah kita capai, perempuan kini lebih luas mengakses pendidikan tinggi, terlibat aktif dalam dunia kerja. Bahkan menduduki posisi strategis. Namun, ketika relasi dalam keluarga tetap timpang, capaian-capaian itu bisa menjadi rapuh.
Seorang perempuan mungkin cerdas, berpendidikan tinggi, dan masyarakat menginginkan untuk memimpin. Tetapi jika suami atau ayah tidak memberi izin, semua potensi itu bisa mandek hanya karena tembok simbolik dalam rumahnya sendiri.
Maka, memperbaiki relasi keadilan gender dalam keluarga bukan hanya urusan domestik. Tetapi menjadi langkah strategis bagi perubahan sosial yang lebih besar. Sebab dari sekolah pertama inilah, pola pikir generasi masa depan kita bentuk. []