Mubadalah.id – Pada 20 Juli 2025, di Tempo.co ada berita berjudul “Mengapa Angka Pernikahan Resmi Terus Menurun”. Isinya menyoroti kenaikan pernikahan siri berakibat turunnya jumah pencatatan perkawinan di KUA, sehingga angkanya terus menurun. Sejenak, ada sinonim dalam judul dan isi berita tadi, yakni lema pernikahan dan perkawinan. Maksudnya, dua kata tulisannya berbeda tetapi sama makna.
Ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seroang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian takrif pernikahan dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Lantas apa poin judul tulisan ini yang menerakan “pergeseran” interpretasi pernikahan? Apakah pergeseran yang termaksud ialah pergeseran makna dari pernikahan ke perkawinan? Padahal dua kata itu jelas-jelas sinonim, dan bukan pergeseran itu yang tercitakan.
Mari perlahan membahas “pergeseran” yang termaksud. Belum lama, Redaksi Jawapos berdialog dengan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Zulkarnain mengenai angka perceraian meningkat dalam dua tahun terakhir. Zulkarain melihat—dalam spektrum geografi Jawa Timur sebab bertugas di sana, setidaknya—pernikahan termaknai sebagai hal materalistis semata, bukan ibadah.
Dengan begitu pemaknaan ini bertolak belakang dengan pendapat Mahmud Junus dalam Hukum Perkawinan dalam Islam(1960) bahwa tujuan pernikahan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh turunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.
Dalam pada itulah, di zaman kiwari, pernikahan junto perkawinan mengalami pergeseran substansi dari sebagaimana mestinya. Yang semula menyiratkan semata menempuh jalan spiritual, malah terkooptasi dengan pamrih unsur-unsur akuisitif.
Ada hitung-hitungan kebendaan, perubahan nilai sosial, tuntutan ekonomi, pengalaman pribadi, pengaruh budaya dan agama, perkembangan teknologi dan informasi, dan sebagainya yang membikin pergeseran interpretasi pernikahan itu secara habis-habisan.
Konteks Hukum
Menikah adalah hal mudah bila telah memperhatikan syarat dan rukun-rukunnya. Dalam konteks hukum, para mempelai mesti tahu dan paham ihwal bagaimana hukum pernikahan itu sendiri.
Ini menjadi menarik sebab dalam fikih, satu hal bakal memiliki perbedaan hukum tergantung bagaimana konteks yang melatarinya. Sebagaimana pernikahan bisa hukumnya; sunah, wajib, atau haram, tergantung bagaimana konteks bercerita di belakangnya.
Atas pertimbangan itulah separuh tujuan hukum Islam (maqashid syariah) bisa mempelai tempuh dalam menjalankan bahtera rumah tangganya kelak. Pernikahan menjaga agama mereka—dalam artian ibadah—(hifdzu din), kesucian diri (hifdzu nafs), dan melanjutkan keturunan (hifdzu nasl). Bagaimana agama menjadi fondasi utama mencacakkan bingkai pernikahan kedua mempelai.
Hal lain yang Zulkarnain soroti ialah kesejangan ekonomi rumah tangga menjadi pemicu utama konflik. Data BPS mengafirmasi pada 2024 ekonomi menjadi penyebab perceraian kedua tertinggi setelah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus. Jawa Timur mendapati posisi kedua setelah Jawa Barat dengan jumlah perceraian sebab ekonomi berada di angka 32.852 perkara.
Derasnya arus perceraian, Zulkarnain menegaskan, membuat PA memperluas perannya, tak melulu mengurus perceraian, tetapi mencegah praktik itu terjadi dengan merperketat izin dispensasi nikah. Bertujuan mencegah pernikahan dini yang belum siap dalam segi mental dan ekonomi.
Materialistis dan Ekonomi
Apa yang Zulkarnain bentangkan ialah salah dua dari faktor yang menyebabkan pergeseran interpretasi pernikahan. Sebagian dari kita (mungkin) masih menganggap pernikahan hanya berkutat pertalian kebendaan. Materalistis, kata Zulkarnain.
Lebih mempersoalkan banyak-sedikit harta bukan mengamini lewat cukup-bersyukurnya. Kerap memperhitungkan sempurna atau tidaknya rupa, wujud, dan sikap pasangannya ketimbang saling mengerti tak ada hal lebih sempurna dari pada-Nya. Dan, hal-hal perbandingan materialistis lainnya.
Kita berhak ingat nasihat Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam Pesan Islam Sehari-hari (1996), laki-laki berbeda dengan perempuan karena memang dari sono-nya berbeda. Artinya, Allah memang menciptakan mereka berbeda. Dengan kata lain, perbedaan antara perempuan dan laki-laki adalah perbedaan fitri (QS. 49: 13; 92: 3; 42: 49-50).
Allah-lah yang menciptakan manusia itu terdiri dari lekaki dan perempuan. Dan Dia pula lah yang—tentu saja lebih tahu—mengatur pernghambaan mereka sesuai kodrat masing-masing. Perbedaan itu sepantasnya melahirkan kompromi dan saling mengisi antarkeduanya.
Walhasil, manakala ada sebab di hulu, pasti ada dampak menunggunya di hilir. Pergeseran interpretasi pernikahan mutakhir sedikitnya memunculkan pelbagai dampak yang, bisa dikata, cukup kentara, sesuai apa yang Zulkarnain paparkan.
Dampak yang terjadi itu antara lain: pertama, tingkat perceraian meningkat. Kedua, usia pernikahan semakin tua, mereka cenderung menunda untuk mengejar standar hidup, dsb. Ketiga, muncul jenis perkawinan baru, atau lebih pantas menyebutnya kohabitasi, maksudnya pasangan memilih hidup bersama tanpa status menikah resmi atau menjalin hubungan yang tak konvensional.
Lantas pergeseran interpretasi pernikahan ini apa bisa dikata sebagai wujud mencipta masyarakat inklusif atau sebentuk menghargai pilihan tiap individu dalam menjalani kehidupan mereka? []