Mubadalah.id – Ibnu Khaldun seorang sejarawan dan filsuf Islam abad ke-14, melalui karyanya Muqaddimah, memperkenalkan teori al-‘Umrān—gagasan bahwa peradaban berkembang dalam siklus: dari fase kelahiran, kejayaan, hingga keruntuhan. Ia tidak hanya menggambarkan sejarah sebagai deretan peristiwa, tapi sebagai pola yang berulang karena sifat manusia dan dinamika sosial-politik.
Dalam konteks hari ini, teori peradaban Ibnu Khaldun sangat relevan untuk menelaah kondisi Indonesia yang kian hari menunjukkan gejala-gejala kemunduran struktural dan krisis sistemik. Korupsi yang merajalela, ketimpangan yang melebar, oligarki politik, dan rapuhnya institusi hukum. Semua ini menandakan bahwa kita tengah berada di tepi jurang dari siklus keruntuhan yang digambarkan Ibnu Khaldun berabad-abad lalu.
Dinamika Peradaban menurut Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun membagi perkembangan peradaban menjadi tiga fase besar. Pertama, fase pendirian, ketika suatu kelompok masyarakat—biasanya dari kalangan marjinal atau pinggiran—memiliki solidaritas kolektif asabiyyah yang kuat. Mereka bersatu, melawan ketidakadilan, dan membangun sistem pemerintahan baru yang lebih segar dan berenergi.
Kedua, fase kejayaan, ketika pemerintahan telah stabil, ekonomi tumbuh, dan struktur kekuasaan mapan. Namun, justru pada tahap inilah benih-benih kemunduran muncul. Kekuatan moral dan solidaritas mulai tergantikan oleh kesenangan, kemewahan, serta dominasi elite yang semakin jauh dari rakyat.
Ketiga, fase keruntuhan. Ketika generasi berikutnya hidup dalam kenyamanan, mereka kehilangan semangat perjuangan dan tanggung jawab kolektif. Negara menjadi alat kepentingan pribadi atau kelompok. Korupsi meningkat, hukum menjadi alat kekuasaan, dan kepercayaan publik terhadap institusi runtuh.
Pada titik ini, sebuah peradaban tidak lagi memiliki daya tahan—dan pada akhirnya digantikan oleh kekuatan lain yang masih memiliki asabiyyah yang utuh. Ibnu Khaldun tidak melihat ini sebagai nasib mutlak, tetapi sebagai peringatan terhadap kecenderungan sejarah yang bisa diantisipasi jika masyarakat memiliki kesadaran dan kemauan untuk berubah.
Refleksi Perjalanan Indonesia dalam Cermin al-‘Umrān
Indonesia merdeka berkat asabiyyah yang kuat dari para pendiri bangsa. Yakni semangat kolektif untuk lepas dari kolonialisme, meski berbeda latar belakang agama, etnis, maupun kepentingan. Namun, setelah kemerdekaan, terutama sejak era Orde Baru, solidaritas itu perlahan berubah menjadi dominasi negara dan kekuasaan elite. Pembangunan memang terjadi, tetapi disertai dengan penguatan otoritarianisme dan ketimpangan kekayaan.
Era Reformasi semestinya menjadi jalan keluar dari kemunduran tersebut. Namun dua dekade lebih berlalu, harapan itu sebagian besar terkhianati oleh realitas. Kini, demokrasi berubah menjadi demokrasi transaksional. Partai politik lebih mirip kendaraan pribadi elite daripada wadah aspirasi rakyat. Uang menjadi satu-satunya bahasa politik. Alih-alih menjadi alat penyeimbang kekuasaan, parlemen justru menjadi perpanjangan tangan eksekutif—mengamankan kekuasaan, bukan mengontrolnya.
Korupsi tidak hanya berlangsung di balik meja, tapi juga dilegalkan lewat regulasi. Revisi UU KPK pada 2019 yang melemahkan lembaga antirasuah menjadi simbol paling nyata dari disfungsi institusional. Bahkan lembaga-lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan tak luput dari sorotan tajam publik karena berbagai skandal dan penyalahgunaan kekuasaan.
Ketimpangan ekonomi kian melebar. Laporan distribusi kekayaan nasional menunjukkan bahwa segelintir orang menguasai mayoritas aset negara, sementara jutaan rakyat hidup dalam ketidakpastian. Di kota-kota besar, gedung pencakar langit menjulang berdampingan dengan permukiman kumuh. Sementara pedesaan, banyak anak muda memilih merantau karena tanah mereka dikuasai korporasi atau negara.
Di sisi lain, budaya politik populisme identitas—yang menjual agama, suku, atau simbol tertentu untuk meraih kekuasaan—semakin membelah masyarakat. Rasa saling percaya, yang merupakan inti dari asabiyyah, hancur tergantikan oleh kecurigaan antarkelompok. Masyarakat bukan lagi satu tubuh, tapi tercerai dalam polarisasi dan konflik berkepanjangan.Jika ini bukan tanda-tanda kemunduran nilai dan dekadensi moral-politik, lalu apa?
Membalik Arah Kemunduran: Membangun Kembali Jiwa Bangsa
Namun, teori Ibnu Khaldun tidak harus kita baca secara fatalistik. Ia memberi kita pemahaman bahwa sejarah bisa berulang bukan karena takdir, tetapi karena manusia tidak belajar darinya. Kesadaran kolektif hari ini adalah kunci untuk keluar dari fase keruntuhan yang mulai mengintai.
Pertama, kita perlu membangun kembali solidaritas nasional yang sejati—asabiyyah berbasis keadilan dan empati. Persatuan bukan sekadar jargon politik, tetapi harus terwujudkan dalam perlindungan terhadap kelompok rentan, distribusi kekayaan yang adil, dan perlakuan hukum yang setara. Tanpa keadilan sosial, tak akan pernah ada persatuan yang kokoh.
Kedua, sistem politik harus direformasi dari akarnya. Praktik politik uang, nepotisme, dan oligarki harus kita lawan melalui regulasi yang berpihak kepada rakyat, bukan elite. Pendidikan politik masyarakat perlu kita perkuat agar rakyat tidak terus menerus menjadi objek manipulasi elektoral.
Ketiga, institusi hukum dan birokrasi negara harus dibersihkan dan diperkuat. Penegakan hukum tidak bisa kita biarkan tunduk pada tekanan politik atau kekuasaan uang. KPK, Mahkamah Konstitusi, dan lembaga-lembaga vital lainnya harus terjaga independensinya—bukan justru dilemahkan oleh produk legislasi atau kompromi politik.
Keempat, generasi muda harus kita siapkan untuk menjadi penjaga peradaban, bukan hanya pelanjut birokrasi. Pendidikan karakter, sejarah, dan tanggung jawab sosial perlu menjadi fondasi utama sistem pendidikan kita. Tanpa generasi yang sadar akan pentingnya menjaga nilai, tidak ada jaminan bangsa ini akan bertahan dalam jangka panjang.
Siklus Peradaban
Indonesia masih punya peluang untuk membalik arah sejarahnya. Namun waktu kita tidak banyak. Jika gejala-gejala kemunduran struktural dan krisis integritas nasional ini tidak segera tertangani. Kita hanya tinggal menunggu kapan keruntuhan itu benar-benar tiba—dan seperti dalam siklus peradaban Ibnu Khaldun, akan datang kekuatan baru yang menggantikan kita.
Pertanyaannya: apakah kita ingin menjadi bangsa yang bertahan dan bangkit, atau sekadar menjadi catatan kaki dalam sejarah karena gagal menjaga peradabannya sendiri? []