Mubadalah.id – Beberapa tahun terakhir, perbincangan tentang perempuan, agama, dan hak-hak sipil kerap mengemuka di ruang publik Indonesia. Dari isu RUU TPKS, perdebatan poligami, hingga polemik tafsir ayat “qiwamah” (QS. an-Nisa’: 34), umat Islam seolah terus berhadapan dengan pertanyaan klasik. Apakah Islam membatasi atau justru membebaskan perempuan?
Di satu sisi, feminisme modern menuntut kesetaraan mutlak dalam hukum, politik, dan relasi keluarga. Di sisi lain, sebagian kalangan Muslim berpendapat bahwa syariat telah sempurna dan tidak memerlukan revisi. Akibatnya, wacana sering kali berakhir pada polarisasi. Feminisme versus Islam, seakan dua kubu ini mustahil berdialog.
Padahal, ada warisan tafsir Islam modern yang justru menawarkan jalan lebih cair dan progresif bahkan mendahului sebagian wacana feminis Barat. Rasyid Ridha (1865-1935) misalnya, lewat Tafsir al-Manar, membaca QS. Yunus ayat 2 dengan penekanan yang tajam. Tujuan besar fiqh al-Qur’an ialah “memberikan perempuan seluruh haknya, baik hak kemanusiaan, keagamaan, maupun hak sipil.”
Perempuan sebelum Islam
Sebelum kedatangan Islam, perempuan merupakan kaum tertindas, terpinggirkan, bahkan diperbudak di berbagai bangsa, termasuk di kalangan Ahlul Kitab. Rasyid Ridha, dalam pendahuluan kitab Huquq al-Nisa’ fi al-Islam (Hak-Hak Perempuan dalam Islam), menggambarkan kondisi tersebut:
“Wanita diperjualbelikan seperti hewan dan barang. Mereka dipaksa menikah dan menjadi pelacur, mereka diwariskan tetapi tidak mewarisi. Mereka dimiliki tetapi tidak memiliki. Kebanyakan dari mereka dilarang mengelola harta tanpa izin laki-laki, sementara suami dianggap berhak menguasai harta istrinya tanpa sepengetahuan. Bahkan hukum terbesar mengizinkan ayah menjual putrinya, dan sebagian orang Arab menganggap ayah berhak membunuh anak perempuannya, bahkan menguburnya hidup-hidup. Tidak ada hukuman bagi pria yang membunuh wanita, dan tidak ada diyat (tebusan) atas nyawa mereka.”
Islam datang menghapus diskriminasi tersebut. Perempuan diberi hak kepemilikan penuh. Membeli, menjual, mewarisi, mengelola, serta membela haknya di pengadilan. Mereka juga mendapat mahar dan nafkah sebagai tambahan hak atas laki-laki.
Sepuluh Perbaikan Islam bagi Perempuan
Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar merangkum keutamaan Islam dalam memperbaiki nasib perempuan ke dalam sepuluh bidang pokok:
Hak kemanusiaan
Sebagian bangsa meragukan kemanusiaan perempuan, bahkan menyamakannya dengan hewan buas atau setan. Islam menegaskan kesetaraan asal penciptaan:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan.” (QS. al-Hujurat: 13).
Hak beragama
Di Eropa, perempuan pernah dianggap tak layak memiliki agama dan terlarang membaca kitab suci. Islam justru menyebut laki-laki dan perempuan bersama: mukmin-mukminah, muslim-muslimah. Fakta sejarah menguatkannya. Orang pertama yang beriman ialah Khadijah, seorang perempuan. Bahkan mushaf al-Qur’an resmi pun tersimpan oleh Ummul Mu’minin Hafsah.
Hak akhirat
Sebagian kaum menganggap perempuan tidak memiliki jiwa abadi sehingga tidak masuk surga. Al-Qur’an menegaskan:
“Barang siapa beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan ia beriman, maka mereka akan masuk surga dan tidak dirugikan sedikit pun.” (QS. an-Nisa’: 124).
Hak sosial-politik
Masyarakat dunia pernah menganggap perempuan tak layak hadir di forum ibadah maupun urusan publik. Islam menegaskan:
“Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. at-Taubah: 71).
Hak ekonomi
Islam menetapkan kesetaraan dalam kepemilikan dan waris:
“Laki-laki berhak atas sebagian dari harta yang ditinggalkan orang tua dan kerabat dekat, dan perempuan berhak atas sebagian darinya, sedikit atau banyak, sesuai dengan bagian yang telah ditentukan.” (QS. an-Nisa’: 7).
Ridha menekankan bahwa hak ini diberikan jauh sebelum Perancis atau Amerika Serikat mengakuinya.
Hak perkawinan
Jika sebelumnya pernikahan hanyalah perbudakan perempuan, Islam menjadikannya kontrak agama dan sipil yang berlandaskan cinta dan kasih sayang (QS. ar-Rum: 21).
Hak dan kewajiban dalam rumah tangga
Al-Qur’an menegaskan prinsip timbal balik:
“Dan mereka (istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka secara makruf. Namun laki-laki memiliki satu derajat kelebihan atas mereka.” (QS. al-Baqarah: 228).
Penjelasan kelebihan itu ada dalam QS. an-Nisa’: 34 sebagai kewajiban memberi nafkah. Suami wajib menafkahi istri dan anak-anak, serta membayar mahar, bahkan bila istri lebih kaya. Berbeda dengan tradisi lain yang justru membebani perempuan dengan mahar atau memaksa mereka menikah, Islam melarang praktik tersebut.
Pembatasan poligami
Jika sebelumnya laki-laki bebas beristri tanpa batas, Islam membatasinya maksimal empat dengan syarat berlaku adil. Bila tidak mampu, cukup satu.
Hak terkait perceraian
Sebelum Islam, perceraian merugikan perempuan. Islam memperbaikinya dengan aturan adil. Hak talak memang di tangan laki-laki, tetapi perempuan juga dapat menuntut syarat talak dalam akad, meminta fasakh melalui hakim, atau mengajukan gugat cerai bila suami cacat, sakit, atau lalai menafkahi.
Mereka berhak mendapat nafkah selama masa iddah. Nabi menegaskan, perceraian adalah perkara halal yang paling Allah benci, sehingga hanya tertempuh bila terpaksa.
Hak keluarga dan perwalian
Islam menekankan bakti kepada orang tua, dengan ibu mendapat prioritas. Perempuan kita dorong untuk terdidik, terpelihara, dan terjaga silaturahmi. Setiap perempuan memiliki wali syar’i yang melindunginya; bila tidak ada, maka urusannya tertanggung penguasa Muslim.
Tafsir yang Reformis dan Kritis
Melalui rincian ini, Rasyid Ridha menunjukkan bahwa Islam memberi perbaikan radikal bagi perempuan. Hak kemanusiaan, agama, sosial-politik, ekonomi, hingga perkawinan. Menariknya, tafsir al-Manar tidak berhenti pada apologetik “Islam lebih unggul daripada Barat.” Rasyid Ridha juga mengkritik praktik masyarakat Muslim yang masih mengabaikan hak perempuan, padahal al-Qur’an sudah menegaskannya.
Dengan demikian, persoalan perempuan tidak terletak pada teks suci, melainkan pada tafsir patriarkis yang membelenggu umat.
Jika semangat reformis Rasyid Ridha kita hidupkan kembali, umat Islam tidak perlu terjebak pada dilema “Islam versus feminisme.” Sebaliknya, Islam melalui teks dan tafsir progresifnya telah lebih dulu berbicara tentang kesetaraan, martabat, dan hak perempuan. Proyek ini tetap relevan bahkan mendesak bagi masyarakat Muslim abad ke-21. []
Sumber: Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (al-Maktabah asy-Syamilah), juz 11, hlm. 232