Mubadalah.id – Sore kemarin saya menemukan headline berita yang telah terbit hampir setahun yang lalu di Palestina. Saat membaca judulnya, saya menelan ludah sambil merasakan gejolak kaget yang tidak saya sadari.
Sebuah berita dengan judul “Saksi: Tentara Israel Perkosa Kemudian Eksekusi Perempuan Hamil di RS Al Shifa” sukses membuat saya menghela napas panjang. Tentu, hal tersebut menjadi sebuah berita yang tidak dapat saya terima meskipun sebenanrnya berita tersebut telah lama terbit.
Tentara Israel Perkosa Kemudian Eksekusi Perempuan Hamil di RS Al Shifa
Dalam berita tersebut, seorang saksi perempuan bernama Jamila Al-Hassi memberikan kesaksian kepada media. Ia bercerita tentang apa yang ia lihat dan alami di dalam Rumah Sakit Al Shifa di Gaza.
Di sana, perempuan-perempuan Palestina mengalami perlakuan yang sangat kejam. Mereka diperkosa, dipukuli, dan bahkan dieksekusi. Salah satu dari mereka adalah perempuan hamil yang mendapatkan perkosaaan depan suami dan anak-anaknya. Genosida Palestina itu nyata.
Bagi saya, cerita tersebut sangat memilukan dan menyayat hati. Perempuan yang sedang mengandung dan dalam kondisi lemah justru menjadi sasaran kekerasan. Selain kehilangan rasa aman, mereka juga kehilangan harga diri dan hak hidup.
Kekerasan seksual terhadap perempuan Palestina dalam situasi konflik seharusnya menjadi perhatian utama dunia. Perempuan sering kali menjadi korban paling rentan, terutama ketika wilayah tempat tinggal mereka berubah menjadi zona perang.
Namun dalam banyak kasus, pengalamn-pengalaman perempuan korban perkosaan pada negara yang memiliki konflik atau perang (khususnya genosida Palestina) tidak banyak yang mendengar. Lembaga Internasional yang seharusnya melindungi juga belum memberikan tanggapan yang cukup kuat. Padahal, mereka memiliki kewajiban baik secara kemanusiaan maupun hukum untuk bertindak cepat dan tegas.
Perlindungan Perempuan dalam Konflik
Dalam situasi konflik, tubuh dan kehidupan perempuan sering kali menjadi medan kekuasaan yang direbut paksa. Kekerasan berbasis gender dan seksual digunakan secara sistematis sebagai senjata perang. Hal itulah yang para perempuan Palestina rasakan.
Perempuan yang mengalami pemerkosaan, penyiksaan, dan intimidasi kehilangan rasa aman, dan juga hak-haknya sebagai manusia. Oleh karena itu, perlindungan terhadap korban kekerasan berbasis gender dan seksual dalam situasi konflik harus menjadi prioritas utama dalam agenda perdamaian dan keadilan global.
Salah satu bentuk perlindungan yang sangat penting bagi korban adalah perlindungan terhadap perempuan pegiat perdamaian atau women human rights defenders. Penguatan kapasitas, keamanan, dan legitimasi mereka sangat penting agar suara korban tidak tenggelam dalam narasi dominan yang sering meminggirkan perempuan.
Akses terhadap proses hukum yang adil dan inklusif menjadi hak setiap korban. Banyak perempuan yang tidak berani melaporkan karena takut stigma, balas dendam, atau tidak percaya pada sistem hukum. Maka, sistem peradilan harus terbenahi agar responsif terhadap kebutuhan perempuan dan memberikan ruang aman bagi para penyintas untuk bersuara.
Namun perlindungan tidak berhenti pada penghentian kekerasan. Pengungkapan kebenaran, penghapusan impunitas, dan jaminan ketidakberulangan konflik juga menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian pada proses penyembuhan korban.
Tanpa pengakuan atas kebenaran yang terjadi, impunitas hanya akan melahirkan kekerasan yang berulang. Langkah tersebut tentunya harus beserta dengan mekanisme kompensasi, reparasi, dan rehabilitasi yang menyeluruh.
Korban berhak atas pemulihan fisik, psikologis, dan sosial. Korban juga harus mendapat kesempatan untuk membangun kembali hidupnya, tanpa terhantui trauma dan stigma. Program-program pemberdayaan ekonomi dan pendidikan sangat penting untuk mendukung proses ini.
Terakhir, dunia harus tegas terhadap genosida Palestina dan kekejaman massal (atrocity). Ketika kekerasan seksual digunakan sebagai alat untuk menghancurkan masyarakat lemah, hal tersebut sudah termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Maka, tanggung jawab global yaitu memastikan bahwa setiap pelaku diadili, dan setiap korban dihormati martabatnya.
Resolusi 1325 Dewan Keamanan PBB tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan
Resolusi 1325 Dewan Keamanan PBB tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan bertujuan untuk melindungi perempuan dalam konflik. Tetapi kejadian di Gaza menunjukkan bahwa implementasi resolusi tersebut masih sangat lemah.
Dunia internasional harus sadar bahwa perdamaian yang adil tidak akan pernah tercapai jika perempuan terus menjadi korban tanpa perlindungan. Situasi perempuan Palestina Rumah Sakit Al Shifa menjadi gambaran betapa tubuh perempuan masih menjadi target kekerasan paling brutal dalam konflik.
Negara-negara dan lembaga internasional harus memperkuat kerangka hukum yang secara jelas dan tegas melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender dan seksual dalam konflik. Penegakan Resolusi 1325 Dewan Keamanan PBB perlu memiliki terjemahan dalam hukum nasional, termasuk mekanisme investigasi independen untuk mengusut pelaku kekerasan terhadap perempuan dalam konflik.
Perlu juga layanan pendukung yang komprehensif bagi korban yang meliputi akses terhadap layanan kesehatan yang memadai, dukungan psikososial, bantuan hukum, serta pemulihan sosial ekonomi.
Korban harus bertempat sebagai pusat dalam upaya pemulihan. Selain itu, perempuan harus mendapatkan ruang dan hak penuh untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di sektor keamanan dan perdamaian. Pengalaman dari berbagai wilayah membuktikan bahwa partisipasi perempuan selain memperkuat keadilan, juga mendorong terciptanya perdamaian yang lebih tahan lama.
Kekerasan seksual terhadap perempuan Palestina dalam genosida yang dilakukan Israel memperlihatkan bagaimana tubuh perempuan dijadikan senjata perang untuk melanggengkan teror dan penghancuran. Luka yang mereka alami mencakup penderitaan fisik, trauma psikologis, serta kehilangan hak dasar sebagai manusia.
Suara perempuan korban sering tenggelam dalam narasi besar konflik dan kurang mendapat perhatian dari lembaga internasional. Padahal, perlindungan perempuan dalam konflik merupakan kewajiban global yang telah diatur, salah satunya melalui Resolusi 1325 Dewan Keamanan PBB.
Dunia internasional perlu menegakkan akuntabilitas, menghapus impunitas, serta memastikan pemulihan menyeluruh bagi para korban. Tanpa langkah konkret yang berpihak pada perempuan, perdamaian sejati sulit terwujud dan luka-luka itu akan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. []
Referensi:
Tempo.co and Sita Planasari (2024). Saksi: Tentara Israel Perkosa Kemudian Eksekusi Perempuan Hamil di RS Al Shifa. [online] Tempo. Available at: https://www.tempo.co/internasional/saksi-tentara-israel-perkosa-kemudian-eksekusi-perempuan-hamil-di-rs-al-shifa-74010 [Accessed 16 Sep. 2025].