Mubadalah.id – Negara dan kekuasaan merupakan dua instrumen utama yang menentukan arah kehidupan masyarakat. Kekuasaan memungkinkan negara menjalankan fungsi pengaturan, tetapi juga menyimpan potensi penindasan jika tidak diimbangi dengan prinsip keadilan.
Di era modern, konflik bersenjata, ketimpangan ekonomi, krisis lingkungan, dan pelanggaran hak asasi menjadi cerminan rapuhnya tatanan kemanusiaan. Untuk itu, perlu kajian kritis mengenai bagaimana negara menggunakan kekuasaan, sejauh mana ia melindungi martabat manusia, serta bagaimana nilai-nilai Islam dapat menjadi inspirasi untuk menciptakan pemerintahan yang adil dan berorientasi kemanusiaan.
Kekuasaan sebagai Amanah dan Tanggung Jawab
Kekuasaan dalam perspektif Islam adalah amanah, bukan alat untuk memuaskan ambisi pribadi atau kelompok. Al-Qur’an memerintahkan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS. An-Nisa: 58)
Prinsip ini menuntut para pemimpin negara untuk menegakkan hukum secara adil dan memastikan hak-hak masyarakat terpenuhi. Namun kenyataan di berbagai belahan dunia menunjukkan pelanggaran terhadap amanah kekuasaan.
Krisis di Sudan dan Myanmar, serta kemerosotan kebebasan sipil di beberapa negara demokratis, menjadi contoh bagaimana kekuasaan bisa berbalik menjadi sumber penderitaan rakyat.
Di Indonesia, problematika muncul dalam bentuk korupsi, pelemahan lembaga pengawas, dan penyalahgunaan bantuan sosial untuk kepentingan politik. Hal-hal ini memperlihatkan bahwa amanah kekuasaan masih sering terabaikan, sehingga rakyat menjadi pihak yang paling dirugikan.
Negara dan Tanggung Jawab Kemanusiaan
Negara idealnya berperan sebagai pelindung kehidupan, martabat, dan kebebasan warga negara. Dalam maqāṣid al-sharī‘ah, tujuan syariat adalah menjaga jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), harta (hifz al-māl), dan kehormatan (hifz al-‘irdh). Negara yang mengabaikan perlindungan ini kehilangan legitimasi moral.
Krisis di Gaza, yang menyebabkan kelaparan massal dan runtuhnya infrastruktur kesehatan, adalah peringatan bahwa negara atau kekuasaan yang gagal melindungi rakyat justru menjadi penyebab penderitaan. Di tingkat nasional, ketimpangan sosial, diskriminasi, dan lemahnya penegakan hukum memicu ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Negara yang seharusnya menjadi tempat perlindungan justru menambah luka kemanusiaan. Rasulullah ﷺ menegaskan:
“Pemimpin adalah penggembala dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa kepemimpinan bukan sekadar urusan administratif, melainkan kewajiban moral untuk memastikan rakyat hidup dengan aman dan sejahtera.
Mewujudkan Negara yang Adil dan Berorientasi Kemanusiaan
Untuk mengatasi problematika kemanusiaan, negara harus mengarahkan kekuasaan kepada terciptanya keadilan sosial. Islam memberikan landasan etis yang jelas: kekuasaan harus terkelola dengan amanah, musyawarah, dan tanggung jawab moral.
Prinsip amar ma’ruf nahi munkar (QS. Ali Imran: 104) menuntut pemerintah terbuka pada kritik dan bersedia dikoreksi oleh masyarakat. Pengambilan keputusan sebaiknya dilakukan melalui syura (musyawarah), sebagaimana perintah dalam QS. Ash-Shura: 38, sehingga kebijakan negara mencerminkan aspirasi rakyat dan bukan hanya kepentingan segelintir elit.
Selain itu, negara harus berpihak pada kelompok rentan, seperti fakir miskin, perempuan, dan anak-anak, yang sering menjadi korban pertama dari ketidakadilan sosial. Pembangunan yang inklusif dan penegakan hukum yang bersih dari korupsi menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan rakyat.
Negara yang menjadikan keadilan sebagai dasar kebijakan akan menciptakan rasa aman, menumbuhkan solidaritas sosial, dan memperkuat stabilitas politik. Dalam konteks ini, nilai-nilai Islam dapat berfungsi sebagai kompas moral untuk mengubah kekuasaan dari sekadar alat kontrol menjadi sarana rahmat bagi seluruh rakyat.
Negara dan kekuasaan adalah sarana penting untuk menjaga keteraturan sosial, tetapi harus terkelola dengan prinsip keadilan. Tanpa itu, negara justru menjadi sumber masalah kemanusiaan. Islam menawarkan kerangka etis untuk memastikan kekuasaan berjalan sebagai amanah: keadilan ditegakkan, musyawarah dijalankan, dan rakyat terlindungi.
Dengan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pedoman, negara dapat menjadi instrumen yang membawa kesejahteraan, bukan penderitaan, sehingga problematika kemanusiaan dapat teratasi secara berkelanjutan. []