Mubadalah.id – Pada Senin, 5 Agustus 2024, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina akhirnya mengundurkan diri dan meninggalkan kediamannya yang megah menuju India. Menurut laporan media, perempuan yang telah berkuasa sejak 2009 ini mengundurkan diri setelah kerusuhan besar sehari sebelumnya, 4 Agustus 2024. Kerusuhan ini menewaskan sedikitnya 300 orang dan melukai ratusan lainnya. Sebagian besar korban jatuh akibat tindakan keras aparat keamanan.
Kerusuhan itu bermula dari demonstrasi aktivis mahasiswa sebagai bentuk protes terhadap kuota pegawai negeri sipil yang mencapai 30 persen untuk keluarga veteran perang kemerdekaan Bangladesh tahun 1971. Kebijakan ini dianggap menguntungkan rezim Hasina saat itu.
Menurut laporan BBC News Indonesia, seorang mahasiswa menuturkan bahwa para demonstran awalnya hanya ingin mengadakan unjuk rasa damai. Namun polisi menghancurkannya dengan melemparkan selongsong gas air mata. Gelombang protes pun berubah menjadi kekerasan dan menuntut pengunduran diri Hasina yang mereka tuduh memperkuat legitimasi kekuasaan sekaligus menekan demokratisasi.
Bangladesh: Dari Stabilitas ke Krisis
Sheikh Hasina Wazed adalah pemimpin partai politik Liga Awami, partai politik terbesar di Bangladesh, sekaligus putri dari Sheikh Mujibur Rahman–presiden Bangladesh yang terbunuh dalam kudeta militer. Hasina menjabat sebagai perdana Menteri Bangladesh selama satu periode 1996 – 2001 dan empat periode berturut-turut dari 2009 – 2024.
Di periode awal, Hasina menjadi aktivis demokratis yang terkemuka dan vocal. Ia memprakarsai langkah-langkah untuk menjamin hak asasi manusia. Selama masa jabatannya, perekonomian Bangladesh tumbuh pesat, bahkan pemerintahannya dipuji dunia karena menerima ratusan ribu pengungsi Rohingnya pada 2017.
Namun, pujian itu tidak berlangsung lama. Pemerintahannya makin terkenal represif. Hasina kemudian di cap “Menciptakan ilusi pemilu” ketika tangan besinya membungkam perbedaan pendapat. Hasina dan partainya menangkap dan mengadili anggota oposisi, menekan kebebasan pers, serta merebut kebebasan berbicara warga negara.
Meski Liga Awami menang telak pada pada pemilu 2018, tuduhan kecuarangan terus menggema. Sementara itu Pemerintahan Hasina semakin otoriter, korupsi pemerintahan meletus pada Juli 2024, dan angka pengangguran semakin meningkat. Selain itu pemberlakukan kebijakan yang tidak memihak pada rakyat menjadi sumbu panas keberakhiran rezim Hasina.
Ribuan orang turun ke jalan, gerakan perlawanan yang terprakarsai oleh para pemuda berusia 12 – 27 tahun ini kemudian terkenal dengan “Revolusi Generasi Z Bangladesh”. Demonstrasi yang berubah menjadi gerakan anti pemerintah ini menuntut permintaan maaf Hasina dan menyuarakan pengunduran dirinya. Akhirnya, Hasina tumbang dan kini diadili atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Indonesia Saat Ini: Gejolak yang Menggema
Seperti halnya Bangladesh, Indonesia pun tengah bergulat dengan gelombang ketidakpuasan rakyat terhadap elite politiknya. Meski tidak identik, pola kekecewaan publik terhadap lembaga negara terus menurun. Masyarakat merasa aspirasi mereka terpinggirkan, sementara keputusan-keputusan besar negara justru lebih menguntungkan kelompok yang berkuasa.
Gelombang protes mahasiswa, keresahan di media sosial, hingga kritik masyarakat sipil dimulai pada 25 Agustus 2025. Terpicu oleh kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan tunjangan rumah, transparansi gaji, dan rencana kenaikan gaji anggota DPR.
Puncaknya, pada Kamis 28 Agustus 2025, demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR berlangsung ricuh, kendaraan taktis Brigade Mobil atau Brimob melindas Affan Kurniawan, 21 tahun, seorang pengemudi ojek online. Kematian Affan menjadi sumbu kemarahan public.
Para demonstran ramai-ramai mengepung Mako Brimob Polda Metro Jaya, di Kwitang, Jakarta Pusat. Aksi ini meluas hingga ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Makassar, Bandung, Cirebon, dan sebagainya. Di tengah demonstransi yang kian menggema, beredar informasi yang mengungkapkan bahwa sejumlah anggota dewan malah berada di luar negeri, termasuk Ahmad Sahroni dan Eko Patrio.
Tragedi Demonstrasi
Informasi tersebut menambah bara, hingga ratusan massa tiba-tiba menggeruduk kediaman kedua anggota DPR tersebut. Kediaman public figure sekaligus anggota DPR Uya Kuya hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menjadi target penjarahan, buntut dari pernyataan kontroversi mereka.
Rentetan peristiwa itu menandai adanya jarak yang semakin lebar antara rakyat dan pemerintah. Rasa frustrasi masyarakat tidak lahir tiba-tiba, melainkan akumulasi dari kekecewaan terhadap berbagai kebijakan yang dianggap buta sosial.
Dari pelemahan lembaga pengawas, pengesahan undang-undang kontroversial, hingga tunjangan pejabat yang terus meningkat di tengah ketidakpastian kesejahteraan tenaga pendidik maupun rakyat kecil. Lebih tragis lagi, aparat keamanan yang seharusnya menjadi pelindung justru tampil represif. Per awal September 2025, sudah tercatat tujuh korban jiwa dari rangkaian Demonstrasi Agustus 2025.
Dalam konteks ini, Indonesia seakan sedang menyaksikan cermin dari Bangladesh: sebuah peringatan bahwa membungkam kritik dan mengabaikan aspirasi yang sehat hanya akan melahirkan krisis yang lebih besar.
Kemiripan yang Mengkhawatirkan
Kekecewaan rakyat Bangladesh pada pemerintah yang semakin otoriter, represif, dan abai terhadap aspirasi publik terasa akrab dengan denyut kegelisahan masyarakat Indonesia saat ini. Kemiripan ini bukan sekadar kebetulan. Ia adalah tanda bahaya bahwa tanpa koreksi, Indonesia bisa mengulang pola yang sama. Ketika suara rakyat tidak diindahkan, perlawanan yang terbungkam, dan keamanan berubah menjadi ancaman.
Sejarah mengajarkan bahwa gejolak tidak bisa lagi kita elakkan. Hilangnya nyawa warga di tengah demonstrasi memperkuat kesan bahwa aparat di bawah kuasa pemerintah kini lebih sibuk menjaga kepentingan penguasanya daripada melindungi warga negara.
Pertanyaannya, akankah elite Indonesia belajar, atau menunggu sejarah berulang seperti di Bangladesh? Apakah pernyataan bela sungkawa dan penonaktifan pejabat-pejabat tak cakap saja sudah cukup untuk mengembalikan demokrasi yang ideal di Indonesia?
Doa terbaik sepatutnya kita panjatkan bagi mereka yang kini memperjuangkan 17+8 tuntutan rakyat, agar suara keadilan tidak kembali ditenggelamkan. Selain itu darah yang telah tumpah tidak menjadi sia-sia, dan agar demokrasi benar-benar kembali berpihak pada rakyat. []