Mubadalah.id – Imam Syafi’i lahir di Gaza, Palestina, tahun 150 H/767 M. Namanya amat populer di dunia Islam sebagai salah satu pendiri mazhab fikih besar yang disebut dengan namanya. Mayoritas besar masyarakat muslim Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan terutama Mesir adalah para pengikutnya.
Dunia muslim Sunni sepakat mengukuhkan Imam Syafi’i sebagai orang pertama yang menyusun teori hukum Islam (Ushul al-Fiqh), bagai Aristoteles dalam logika. Mazhabnya dikenal moderat, memadukan dua aliran pemikiran fikih: tradisionalis dan rasionalis.
Dia juga dikenal memiliki dua aliran fikihnya sendiri: qadim (lama) dan jadid (baru). Mazhab lamanya adalah pendapat-pendapatnya ketika di Baghdad, Irak. Sementara mazhab baru adalah pendapat-pendapatnya ketika di Mesir.
Tentang dua pemikiran Imam Syafi’i ini, ada yang berpendapat bahwa hal itu dilatarbelakangi oleh kematangan dan kelengkapan informasi sumber pikirannya. Sebagian ulama lain berpendapat karena situasi sosial yang berbeda antara Baghdad dan Kairo.
Al-Razi menyebut hanya ada enam belas masalah di mana al-Syafi’i mengemukakan pandangan barunya ketika di Mesir yang berbeda dari pendapatnya di Baghdad.
Lalu mana yang dipakai pengikutnya untuk menjawab kasus yang sama? Imam al-Baihagi mengatakan, ” Aku membaca kitab karya Zakariya bin Yahya al-Saji dari al-Buwathi yang mengatakan, “Aku mendengar al-Syafi’i mengatakan,
“Aku tidak membolehkan orang mengutip buku yang aku tulis di Baghdad.”
Imam Al-Syafi’i meninggal di negeri Mesir pada 204 H/819 M. Jenazahnya dikuburkan di sebuah tempat yang kini menjadi masjid yang dikenal dengan namanya Masjid al-Imam al-Syafi’i atau populer disebut Masjid Al-Imam. Sampai hari ini kuburannya selalu ramai diziarahi para pengikutnya dari seluruh dunia.
Sayidah Nafisah: Guru al-Imam
Ada cerita menarik mengenai pertemuan dan pertemanan Imam al-Syafi’i dengan seorang perempuan: Sayyidah Nafisah. Ia anak perempuan al-Hasan al-Anwar bin Zaid al-Ablaj bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Maka ia cicit Nabi.
Ia seorang perempuan ulama (atau ulama perempuan, terserah anda menyebutnya) terkemuka pada masanya. Namanya kita kenal sebagai perempuan cerdas, sumber pengetahuan keislaman yang berharga (nafisah al-‘ilm), pemberani. Sekaligus ‘abidah zahidah (tekun menjalani ritual dan asketis). Sebagian bahkan mengategorikannya sebagai wali perempuan yang keramat. Beliau wafat tahun 208 H di Mesir.
Sebelum tiba di Kairo, Imam Syafi’i sudah lama mendengar ketokohan perempuan ulama ini dan mendengar pula bahwa banyak ulama yang datang ke rumahnya untuk mendengarkan pengajian dan ceramah yang diselenggarakannya setiap hari.
Imam Syafi’i datang ke kota ini lima tahun sesudah Sayidah Nafisah tinggal di kota tersebut. Beberapa waktu kemudian al-Syafi’i meminta bertemu dengannya di rumahnya. Sayidah Nafisah menyambutnya dengan seluruh kehangatan dan kegembiraan.
Perjumpaan itu ia lanjut dengan pertemuan-pertemuan yang sering. Masing-masing saling mengagumi tingkat kesarjanaan dan intelektualitasnya. Bila al-Syafi’i berangkat untuk mengajar di masjidnya di Fustat, ia mampir ke rumahnya, begitu juga ketika pulang kembali ke rumahnya. Mengabarkan bahwa al-Syafi’i adalah ulama yang paling sering bersamanya dan mengaji padanya, justru dam statusnya sebagai tokoh besar dalam fikih.
Pada bulan Ramadan, al-Syafi’i juga acap salat tarawih bersama Nasah di masjid perempuan ulama ini (kana yushalli biha al-tarawih fi masjidiha fi syahri Ramadhan). Kalimat ini kita perdebatkan maknanya:
Apakah ia berarti bahwa al-Syafi’i menjadi makmum dari Sayidah Nafisah, meski dalam ruang yang terpisah? Kali ini tak penting ia urai.
Manakala Imam Syafi’i sakit, ia mengutus sahabatnya untuk meminta Sayidah Nafisah mendoakan bagi kesembuhannya. Begitu ia kembali, sang Imam tampak sudah sembuh.
Menemui Imam Syafi’i
Dan ketika dalam beberapa waktu kemudian al-Imam sakit parah, sahabat tersebut ia minta kembali untuk menemui Sayyidah Nafisah untuk keperluan yang sama. Kali ini, Sayidah Nafisah hanya mengatakan,
“Semoga Allah memberinya kegembiraan ketika berjumpa dengan-Nya.”
Mendengar ucapan sahabat sekaligus gurunya itu, al-Syafi’i segera paham bahwa waktunya sudah akan tiba. Al-Imam kemudian berwasiat kepada murid utamanya, al-Buwaithi, agar meminta Sayyidah Nafisah menyalati jenazahnya jika kelak ia wafat. Ketika al-Syafi’i kemudian wafat, jenazahnya dibawa ke rumah perempuan ulama tersebut untuk disalatkan.
Di antara nasihat Sayyidah Nafisah kepada para santrinya adalah:
“Jika kalian ingin berkecukupan, ingin tidak menjadi miskin, bacalah.” (QS. al-Waqi’ah (56). “Jika kalian ingin tetap dalam keimanan Islam, bacalah.” (QS. al-Mulk 67).
“Jika kalian ingin tidak kehausan pada hari dikumpulkan di akhirat, bacalah.” (QS. al-Fatihah) “Jika kalian ingin minum air telaga Nabi di akhirat, maka bacalah.” (QS. al-Kautsar).