Mubadalah.id – Sudah bukan hal yang mengejutkan lagi bahwa dari hari ke hari, tiada hari tanpa berita-berita mencengangkan yang lewat di FYP media sosial. Terlebih berita tentang kekerasan pada perempuan. Mulai dari kasus pelecehan, kekerasan seksual, hingga femisida.
Komnas Perempuan melakukan peluncuran Catatan Tahunan (CATAHU) yang merekam data kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2023, dan mencatat bahwa terdapat 289.111 kasus kekerasan pada perempuan.
Merujuk pada fenomena gunung es, data kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut merupakan data kasus yang terlaporkan oleh korban, pendamping maupun keluarga. Sementara itu, kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak terlaporkan bisa jadi lebih besar.
Di balik angka tersebut, kita juga mengenali pengalaman korban untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang masih jauh dari harapan. Walau berbagai kebijakan untuk melindungi perempuan dari berbagai tindak pidana telah tersedia.
Kasus terakhir yang berhasil membuat masyarakat tercengang adalah kasus mutilasi yang dilakukan oleh seorang pria pada kekasihnya. Kemudian mayatnya ia buang di daerah Pacet, Mojokerto. Kasus ini berhasil menjadi trending topik di media sosial, hingga di TV Nasional, bahkan juga berhasil membuat pelaku mendapatkan banyak sumpah serapah.
Kejahatan Berbasis Gender
Melansir dari humas.polri.go.id, menurut Kapolres Mojokerto, AKBP Ihram Kustarto, menjelaskan bahwa peristiwa bermula dari percekcokan sepele. Yakni pertengkaran yang terpicu oleh pintu kos yang terkunci dari dalam oleh korban, sedangkan pelaku pulang larut malam. Pertengkaran tersebut berhasil membuat pelaku melayangkan satu tusukan di leher yang membuat korban meninggal akibat kehabisan darah.
Jika kita telaah lebih dalam, kasus mutilasi yang berhasil menggegerkan warga Surabaya dan Mojokerto ini termasuk pada kasus femisida. Fenomena femisida atau kasus penghilangan nyawa pada perempuan merupakan bentuk paling ekstrem dari kejahatan berbasis gender.
Isu ini sudah menjadi perhatian global dan masuk dalam laporan resmi forum internasional seperti G20 maupun komite Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women. Namun, sayangnya di Indonesia fenomena femisida ini belum memiliki pengaturan khusus.
Landasan hukum nasional sebenarnya cukup banyak yang mengatur soal perlindungan perempuan. Mulai dari UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, hingga Konvensi internasional yang sudah teratifikasi. Namun, tidak satu pun yang menyebut secara eksplisit istilah femisida.
Akibatnya, kasus-kasus femisida masih terkategorikan sebagai pembunuhan umum dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tanpa memperhatikan faktor gender sebagai penyebab utama. Termasuk dalam kasus mutilasi Mojokerto ini, sang pelaku terjerat pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan dijatuhi hukuman seumur hidup.
Perempuan, Ruang Aman dan Nyawa yang Dikorbankan
Seperti yang sudah saya jelaskan di atas bahwa femisida merupakan bentuk paling ekstrem dari kekerasan berbasis gender. Di 2024, Jakarta Feminist menemukan 43% kasus femisida bermula dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan dalam pacaran (KDP) yang tidak tertangani dengan komprehensif.
Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, di mana 37% perempuan terbunuh oleh pasangan intim korban. Setidaknya, ada 209 perempuan terbunuh sepanjang 2024. Dalam artian, ada satu perempuan terbunuh setiap dua hari.
Selain KDRT dan KDP, kasus femisida juga dapat diiringi dengan tindak kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) lain, termasuk kekerasan seksual. Terdapat 13% kasus femisida memuat unsur kekerasan seksual, 7 kasus dengan korban transgender, dan 6 kasus melibatkan isu kehamilan tidak diinginkan (KTD). Dengan kata lain, isu femisida seperti gunung es yang memiliki lapisan kerentanan berlapis sehingga membutuhkan upaya pencegahan dan penanggulangan yang menyeluruh.
Berkenaan dengan hal tersebut, mayoritas kasus femisida terjadi di area rumah korban, yakni sebanyak 53%. Sementara sisanya terjadi di ruang publik seperti sekolah, perkebunan, sawah, dan lain-lain. Hal ini menjadi sebuah penguat bahwa tidak ada ruang aman bagi perempuan, termasuk di dalam rumahnya sendiri.
Ironisnya, narasi umum selama ini berhasil “merumahkan” perempuan dengan dalih kodrat bahwa perempuan harus hidup dengan kodrat manak, masak, macak yang tentu saja ini merupakan sebuah pemikiran yang salah dan fatal.
Hari ini, narasi umum yang menyatakan bahwa perempuan harus berdiam di rumah untuk menjaga marwahnya sebagai perempuan telah menjadi sebuah narasi yang penuh dengan genre horor untuk ditaati kaum hawa. Bagaimana tidak, ketika perempuan dirumahkan oleh narasi-narasi umum yang terakui dan diagung-agungkan dapat “menjaga” mereka, malah menjadi narasi yang membunuh. What an ironi!
Perempuan, Cinta dan Hubungan yang Sehat
Sejak kecil, perempuan tumbuh dengan dicekoki cerita-cerita cinta yang manis nan indah melalui dongeng-dongeng princess, animasi Barbie, hingga drama romantis di layar kaca seolah cinta selalu tergambarkan sebagai sesuatu yang indah dan penuh kebahagiaan. Tapi seiring waktu, banyak perempuan mulai menyadari bahwa cinta tidak selalu seperti di film—dan justru karena itu, penting untuk memahami apa itu hubungan yang sehat.
Cinta yang sehat bukan soal seberapa sering pasangan bilang “sayang”, atau seberapa banyak hadiah yang diberikan. Lebih dari itu, cinta yang sehat adalah ketika dua orang bisa saling menghormati, saling mendukung, dan tumbuh bersama. Sebagaimana quotes yang sering beredar bahwa dicintai adalah hal terendah dalam hubungan, pastikan kita dihargai dan dihormati.
Maka, perempuan berhak dicintai tanpa harus mengorbankan diri. Ia tidak perlu menahan pendapat, menyembunyikan perasaan, atau merasa bersalah hanya karena ingin dihargai. Dalam hubungan yang sehat, perempuan bebas menjadi diri sendiri—dengan segala mimpi, pendapat, dan keunikannya.
Namun, juga harus kita garis bawahi bahwa hubungan yang sehat juga tidak selalu mulus. Akan ada perbedaan dan akan ada konflik. Tapi cara menghadapinya lah yang membedakan. Komunikasi yang terbuka, empati, dan saling percaya adalah kunci utamanya.
Cinta tidak boleh membuat seseorang merasa kecil atau lelah secara emosional. Cinta yang benar justru menguatkan. Dan yang paling penting: perempuan tidak harus memiliki pasangan untuk merasa utuh. Mencintai diri sendiri adalah fondasi dari semua hubungan yang baik. Ketika seorang perempuan sudah nyaman dengan diri sendiri, ia tidak akan mudah terjebak dalam hubungan yang tidak sehat, hanya karena takut sendiri.
Dear, perempuan..
Cinta memang penting, tapi kualitas cinta jauh lebih penting daripada sekadar status. Setiap perempuan layak mendapatkan cinta yang tulus, sehat, dan membebaskan. Bukan yang membatasi atau melukai.
Ibaratkan ribuan bunga di taman, bagi mereka yang mencintai bunga mereka tidak akan memetiknya sebelum waktunya. Mereka akan menyiram, merawat dan memupuk hingga bunga-bunga itu mekar sempurna.
Sama seperti mereka yang mengaku mencintai kita, mereka tidak akan merusak apa yang mereka cinta. Karena apa yang disebut dengan cinta seharusnya merangkul, bukan membunuhmu. []