Mubadalah.id – Ketika mendengar kata difabel, banyak orang langsung membayangkan sosok yang duduk di kursi roda, berjalan dengan tongkat, atau menggunakan bahasa isyarat. Pandangan itu membuat difabel seolah-olah menjadi kelompok yang berbeda, seakan kondisi mereka adalah sesuatu yang jauh dari kita. Padahal, kenyataannya tidak demikian.
Difabel bukanlah “mereka” yang asing, melainkan “kita” dalam kemungkinan hidup yang lain. Sejak lahir, seseorang bisa hadir dengan kondisi tertentu. Kecelakaan bisa terjadi kapan saja dan mengubah jalan hidup seseorang.
Proses menua juga tidak dapat kita hindari, dan seiring bertambahnya usia, tubuh kita perlahan kehilangan kemampuan. Pada satu titik dalam hidup, kita mungkin akan mengalami keterbatasan penglihatan, pendengaran, gerak tubuh, atau daya ingat. Semua itu menunjukkan bahwa difabel adalah bagian dari perjalanan manusia.
Difabel adalah Bagian dari Kita
Kesadaran ini sering kali luput dari perhatian kita. Difabel kerap ditempatkan di pinggiran masyarakat, dianggap minoritas yang jauh dari keseharian. Padahal, mereka adalah cermin yang menunjukkan bahwa manusia itu rapuh, tidak pernah sempurna, dan selalu bergantung pada dukungan lingkungan.
Seorang bayi yang lahir dengan cerebral palsy, seorang remaja yang kehilangan pendengaran karena penyakit, seorang pekerja yang lumpuh akibat kecelakaan lalu lintas, atau seorang lansia yang penglihatannya kian kabur, semua ini adalah realitas yang sangat mungkin terjadi dalam lingkaran kehidupan siapa pun.
Jika kita menyadari bahwa suatu hari kita sendiri bisa menjadi difabel, maka cara pandang kita seharusnya berubah. Difabel bukan sekadar kelompok yang perlu dikasihani, melainkan sesama manusia yang berhak mendapat perlakuan adil. Empati yang lahir dari kesadaran ini seharusnya tidak berhenti pada rasa iba, tetapi mendorong kita untuk lebih siap, menyiapkan ruang hidup yang ramah, fasilitas yang memadai, serta sikap masyarakat yang terbuka dan inklusif.
Banyak difabel sesungguhnya mampu hidup mandiri dan berprestasi. Namun hambatan justru sering datang bukan dari tubuh mereka, melainkan dari lingkungan sekitar. Trotoar yang penuh lubang, gedung pelayanan publik tanpa jalur kursi roda, papan informasi tanpa teks atau bahasa isyarat, serta sistem pendidikan yang menutup pintu bagi anak berkebutuhan khusus, semua ini adalah bentuk ketidakadilan yang lebih melumpuhkan daripada keterbatasan itu sendiri.
Seorang pengguna kursi roda akan dapat kuliah dengan lancar jika ada jalur landai di kampus. Seorang teman Tuli bisa menikmati berita televisi jika tersedia penerjemah bahasa isyarat. Seorang lansia dengan daya ingat yang melemah tetap dapat berpartisipasi dalam masyarakat jika prosedur pelayanan publik sederhana dan jelas. Lingkungan yang ramah mampu mengubah pengalaman hidup secara drastis.
Bagaimana Jika yang Difabel itu Saya?
Dalam merenungi hal ini, pertanyaan reflektif yang patut kita ajukan adalah bagaimana jika suatu hari saya sendiri menjadi difabel? Apakah saya siap menghadapi dunia yang penuh penghalang, diskriminasi, dan stigma?
Jika suatu saat tubuh saya melemah, apakah saya rela dibiarkan tertinggal hanya karena kota, sekolah, atau kantor tidak menyediakan akses yang memadai? Pertanyaan semacam ini mengingatkan kita bahwa difabel bukanlah kondisi orang lain semata. Kemungkinan itu bisa terjadi pada diri kita sendiri, kapan saja.
Sayangnya, stigma sosial masih kuat melekat pada identitas difabel. Mereka sering dianggap tidak sempurna, menjadi beban, atau hanya bisa menerima bantuan. Pandangan ini tidak hanya menyakitkan, tetapi juga keliru. Difabel bukanlah kekurangan, melainkan keragaman.
Banyak orang dengan keterbatasan justru menunjukkan prestasi luar biasa, mulai dari atlet paralimpiade, musisi Tuli, penulis netra, hingga akademisi dengan kondisi fisik terbatas. Mereka berhasil bukan karena keterbatasannya hilang, melainkan karena ada dukungan lingkungan yang memberi kesempatan. Artinya, prestasi mereka menjadi bukti nyata bahwa keterbatasan bukanlah akhir, melainkan bagian dari kehidupan yang sah dijalani.
Mendorong Perubahan Cara Pandang
Perubahan cara pandang masyarakat memang menjadi kunci penting. Difabel tidak butuh belas kasihan, tetapi butuh kesempatan yang sama. Difabel tidak harus dilihat sebagai orang yang selalu ditolong, melainkan sebagai bagian masyarakat yang setara.
Perubahan sikap ini dapat lahir dari hal-hal sederhana, seperti memberikan ruang bagi pengguna kursi roda di tempat umum, menghargai cara komunikasi teman Tuli dengan belajar isyarat sederhana, atau mengingatkan pihak berwenang ketika fasilitas umum tidak ramah bagi semua orang. Meski tampak kecil, sikap ini bisa menumbuhkan budaya baru: budaya inklusif yang memandang manusia secara utuh, apa pun kondisinya.
Tentu saja, kesadaran individual harus diikuti oleh tanggung jawab kolektif. Negara, institusi pendidikan, dunia kerja, dan media memiliki peran besar dalam menjamin hak-hak difabel. Undang-undang perlindungan difabel tidak boleh berhenti sebagai dokumen hukum, melainkan harus diwujudkan dalam kebijakan nyata dengan pembangunan fasilitas publik yang ramah, layanan pendidikan yang inklusif, serta peluang kerja yang terbuka.
Namun, kebijakan saja tidak cukup. Masyarakat pun harus terlibat aktif agar regulasi tidak berhenti di atas kertas. Lingkungan sosial yang mendukung akan membuat difabel tidak sekadar “dibiarkan ada”, melainkan benar-benar kita libatkan dalam kehidupan bersama.
Inklusivitas untuk Kita Semua
Pada akhirnya, membangun dunia yang ramah difabel bukan hanya tentang memberi ruang bagi kelompok tertentu. Lebih dari itu, ini adalah upaya untuk memanusiakan diri kita sendiri. Sebab cepat atau lambat, kita akan sampai pada titik ketika tubuh tidak lagi sekuat sekarang.
Mungkin penglihatan kita kabur, pendengaran kita melemah, langkah kita melambat, atau pikiran kita tidak lagi setajam dahulu. Pada saat itu, lingkungan yang inklusif akan menjadi penopang yang membuat kita tetap bisa hidup dengan bermartabat.
Masyarakat yang ramah difabel adalah masyarakat yang ramah bagi semua. Trotoar landai yang memudahkan kursi roda juga membantu ibu mendorong stroller. Informasi yang terdapat teks atau bahasa isyarat bukan hanya bermanfaat bagi Tuli, tetapi juga membantu orang yang berada di keramaian. Layanan publik yang sederhana bukan hanya memudahkan lansia, tetapi juga meringankan siapa saja yang kesulitan dengan birokrasi. Inklusivitas, dengan kata lain, adalah kebaikan bersama.
Karena itu, mari kita hentikan cara pandang yang memisahkan difabel dari kita. Kita semua bisa menjadi difabel, hari ini, besok, atau di masa tua nanti. Kesadaran ini seharusnya menumbuhkan empati, tanggung jawab, dan tekad untuk menciptakan ruang hidup yang adil dan ramah. Dengan demikian, kita tidak hanya menolong orang lain, tetapi juga sedang menyiapkan dunia yang lebih manusiawi bagi diri kita sendiri. []