“Woman possess the same potential as men and are capable of achieving what men have achieved.”
“As they live in a disabled body, let them know they don’t live in a disabled world”
Mubadalah.id – Dua kalimat itu menjadi main thread bagi saya untuk membaca hari itu. Sekaligus menandai bahwa percakapan di forum internasional ini bertumpu pada kesetaraan dan keadilan, dari gender dan disabilitas sampai anak muda dan kelompok yang sering luput.
Hari itu, saya datang sebagai peserta undangan di forum 2R: Ruang Riung. Hall lantai lima UNU Yogyakarta sudah ramai sebelum pukul sembilan dan terdengar bisik-bisik singkat di antara peserta yang baru saling bertemu di forum ini.
2R: Ruang Riung ada bukan semata sebagai aktivitas akademik, namun ruang kolaborasi, dialog, tempat berbagi cerita, dan saling mendengarkan. Mereka yang datang pun berasal dari ragam latar belakang, baik mahasiswa, peneliti, komunitas (yang juga perempuan pimpin), jejaring lintas iman baik dalam dan luar negeri, dengan perhatian pada inisiatif perdamaian.
Pagi hingga siang, forum internasional ini dibingkai oleh dua panel. Sesi pertama memiliki topik besar “When Faiths Meet: Muslim–Buddhist Stories from Indonesia & Thailand” dan lanjut dengan sesi kedua dengan pembahasan yang tak kalah memberikan banyak insight, dengan tajuk “Voices of Peace: Stories of Collaboration from Southeast Asia”.
Perjumpaan Iman: Kisah Muslim dan Buddhis dari Indonesia dan Thailand
Pemaparan dari seorang Bhikkhunī yang menyoroti equity di tubuh komunitas Theravāda menjadi pembuka panel pertaman dengan tajuk “When Faiths Meet: Muslim–Buddhist Stories from Indonesia & Thailand” . Tiap slide, ia menampilkan proses yang mungkin jarang terlihat. Momentum ordinasi, dukungan kelembagaan, dan kesempatan memimpin. Intinya jelas, equal potential dan leadership roles.
Bhikkhunī mengajar, memandu praktik, dan bekerja untuk komunitas, dengan dukungan sejumlah Bhikkhu serta dampak sosial yang terasa pada akses belajar dan ruang aman. Kesetaraan di sini tidak berhenti sebagai konsep, melainkan kebijakan dan teladan yang membuka pintu bagi generasi berikutnya.
Alur berlanjut ke Buddhism for SDGs. Bhikkhu menjelaskan bagaimana Buddhism for SDGs menghubungkan keyakinan dengan tindakan nyata. Salah satu kalimat yang meninggalkan kesan mendalam bagi saya adalah “Peace in one’s heart starts in one’s hands.” Kalimat ini menggambarkan bahwa belas kasih tidak hanya terwujud dalam perasaan, tetapi juga dalam tindakan konkret.
Program-program yang berkaitan dengan lingkungan, kesehatan, dan pemberdayaan komunitas menjadi bentuk nyata dari belas kasih tersebut. Dampaknya juga meluas hingga skala global, regional, dan nasional. Dalam hal ini, bahasa iman dan kebijakan saling mendukung dan menerjemahkan niat menjadi tindakan yang dapat diuji, diukur, dan diterapkan secara berulang.
Gagasan mengenai Spiritual Architects juga tak luput dari pembahasan. Di banyak bagian Asia Tenggara, agama sering bersinggungan dengan identitas nasional, sejarah, dan memori kolektif.
Oleh sebab itu, dialog Muslim dan Buddhis tidak cukup bertumpu pada teologi. Perlu perancang ekologi moral yang menyiapkan ruang perjumpaan, tata cara, dan imajinasi bersama. Urutannya terasa utuh, dari kesetaraan yang terwujud, ke nilai yang menjadi aksi, lalu ke arsitektur yang semuanya berdiri dalam konteks keberagaman.
Mendengar Suara-suara Damai: Kolaborasi Lintas Iman di Asia Tenggara
Pada sesi kedua “Voices of Peace: Stories of Collaboration from Southeast Asia”, sorotan bergeser ke kerja batin dan praktik yang menyertainya. Amarah berakar dari takut, luka, dan rasa tidak aman. Alih-alih menekan emosi, jalur yang ditempuh mengubahnya menjadi empati yang menggerakkan. Empati kemudian melahirkan alat, sistem, kebijakan, dan lingkungan yang menjaga kolaborasi tetap bertahan.
Satu pepatah Buddhis menjadi pengingat tenang, “He who refuses to return anger conquers the hardest war of all”.
Setelah membincangkan bagaimana cara merubah emosi ke empati, fokus berpindah ke pendidikan. Dari Malaysia, saya melihat praktik yang konkret dan konsisten. Kunjungan ke rumah ibadah sebagai bagian kurikulum, tugas dialog yang menuntut mahasiswa bertemu dan mendengar, riset atau tesis lintas tradisi, serta proses mediasi bagi pemuka komunitas muda.
Dampaknya terasa jelas, menumbuhkan empati, memperkaya literasi keagamaan, dan menguatkan kohesi sosial. Satu lingkar kecil merangkum benang yang mengikat, respect, friendship, listening, learning, compassion.
Pembacaan mengenai ruang digital kini, juga tak lepas dari sorotan. Medan hari ini dinamai tanpa berputar. Polarisasi yang memengaruhi politik, ekonomi, dan kohesi sosial, echo chamber (ruang gema) memperkuatnya. Begitu pula bias seleksi dan disinformasi. Kabar baiknya, echo chamber ini masih memiliki tandingan, yakni brave space (ruang yang berani).
Brave space menawarkan toolkit yang lugas. Berangkat dari kepedulian bersama, yang mengedepankan sikap saling memahami alih-alih hanya mempertahankan posisi masing-masing. Di ruang ini, pihak yang berbeda dipandang sebagai lawan bicara, bukan musuh.
Menantang pikiran biner dan mencari irisan di balik label menjadi hal yang diperlukan untuk menjaga percakapan tetap berkembang. Selain itu, mendengarkan kisah hidup seseorang membuka ruang untuk memahami lebih dalam tentang latar belakang dan pengalaman mereka, yang memperkaya pandangan kita.
Benang Merah yang Menyambungkan Dua Panel
Dua panel yang saling berurutan ini, tampak seperti anyaman. Kesetaraan memberi siapa pun kursi untuk duduk dan berbicara. SDGs memberi jalur agar nilai menjelma tindakan yang nyata. Gagasan arsitek spiritual menjaga bangunan itu tegak di atas konteks keberagamaan Asia Tenggara, sehingga langkah tidak lepas dari sejarah dan memori yang menyertainya.
Di sisi lain, empati menyediakan bahasa untuk mengelola emosi yang sering sulit diucapkan. Pendidikan menumbuhkan kebiasaan yang tahan lama melalui kunjungan, dialog, dan tugas yang berulang. Toolkit dialog menjaga kanal percakapan tetap terbuka, termasuk di ruang digital yang berisik, dengan cara menolak pikiran biner, memeriksa sumber, dan kembali pada kepedulian bersama.
Kolaborasi, Inklusi, Refleksi
Dua panel memberi cermin yang saling melengkapi. Kisah kesetaraan di komunitas Buddhis membuka pintu yang sebelumnya tertutup. Gagasan belief to action menegaskan bahwa manusia perlu membentuk nilai-nilai tersebut.
Konsep arsitek spiritual mengingatkan manusia untuk tidak mengabaikan konteks sejarah dan akulturasi yang menyertai. Peralihan amarah menjadi empati, praktik pendidikan berulang kali, dan cara manusia menata percakapan di ruang digital menunjukkan bagaimana perhatian kecil dapat menjaga agar ruang diskusi tetap aman, meski terkadang tidak selalu sepakat dalam segala hal.
Di sini, judul di awal menemukan hakikatnya. Kolaborasi tampak pada kerja bersama UNU Jogja, Center for GEDSI, Fakultas Ilmu Pendidikan, Indika Foundation, dan jejaring mitra yang saling menguatkan peran.
Inklusi hadir sebagai kursi dan akses yang adil bagi banyak latar, dari perempuan, difabel, anak muda, hingga lintas agama. Refleksi muncul sebagai jeda yang membuat saya menata ulang cara memandang. Terutama ketika perbedaan terasa dekat dan suara-suara rentan berusaha mendapatkan perhatian.
Sesudahnya yang tinggal bukan tagline semata, melainkan arah yang terasa, Memulai dari kepedulian bersama, memberi tempat bagi pengalaman, lalu merawat percakapan agar bertahan di luar acara. Mungkin itu makna sederhana dari 2R: Ruang Riung sebagai forum internasional untuk kolaborasi, inklusi, dan refleksi, cara tinggal bersama yang tenang dan teguh di tengah perbedaan. []